Majalahnabawi.com – Mengamati semarak Ramadan di Korea Selatan yang begitu kontras perbedaannya dengan Indonesia, membuat kami tergelitik untuk melihat wajah Islam di sana. Seperti apa kehidupan Islam di sana dari masa ke masa? Bagaimana ia tumbuh dan mendapatkan haknya di negara tersebut?

Salah Satu Agama Minoritas

Hingga hari ini, Islam masih menjadi agama minoritas di negeri Gingseng. Dari 52-an juta populasi penduduknya, hanya sekitar 0,2 persen atau 100 sampai 200 juta saja yang memeluk agama pengikut Rasulullah Saw ini. Itu pun sebagian besarnya merupakan penduduk imigran. Mayoritas penduduknya merupakan umat Kristiani yang konon prosentasenya mencapai 29,4 persen. Lalu agama Buddha yang mencapai 22,9 persen dan kemudian Islam di peringkat setelahnya. Sisanya justru menjadi mayoritas adalah ateis atau tak beragama yang jumlahnya mencapai hampir 50-an persen.

Beberapa asumsi yang menjadi alasan maraknya penganut ateis di sana adalah adanya sistem super ketat pendidikan yang harus dilewati para generasi muda. Mereka seakan tak memiliki waktu selain untuk belajar. Belum lagi budaya menuntut mereka eksis dalam pergaulan yang membuat mereka tak memiliki waktu untuk melakukan ritual keagamaan. Mereka yang tidak update dengan hal kekinian bisa di-bully habis-habisan.

Sejarah Peradaban Islam di Korea Selatan

Dalam sejarah, Islam diperkirakan masuk ke Korea sejak abad ke-9 Masehi bersamaan dengan datangnya pelayar dan pedagang Arab-Persia. Mereka membawa serta ahli geografi Islam yang kemudian bermukim di wilayah itu dan membentuk perkampungan Islam. Tidak hanya bermukim, mereka juga menikah dengan perempuan lokal. Dari sana, Islam perlahan bercampur baur dengan masyarakat setempat.

Pada awal abad ke-11, para pedagang Arab yang bermukim di Korea membangun sebuah masjid di Kota Kaesong, ibu kota Dinasti Goryeo yang berkuasa di Korea bagian utara saat itu. Pasca penaklukan Mongol atas Korea pada 1270, arus masuk orang-orang Islam kembali terjadi secara signifikan. Pada era Dinasti Joseon, pemerintah Korea melakukan penyeragaman identitas, yaitu identitas kecinaan, serta melarang menampilkan identitas lain. Komunitas muslim pun kian terbatas.

Pada awal abad ke-20, Islam mengalami kebangkitan kedua di Korea, terlebih pasca terjadinya perang saudara yang merupakan perseteruan kekuasaan dua kubu: Korea bagian utara dengan Korea bagian selatan. Selama perang, pihak Korea bagian selatan mendapat bantuan tentara perdamaian dari Amerika Serikat, Turki, dan beberapa negara sekutu lainnya. Turki menjadi pengirim tentara terbanyak setelah Amerika. Orang-orang Turki yang beragama Islam juga banyak membantu mengurus sekolah-sekolah di bagi anak yatim akibat perang. Dari situ, mereka mengajarkan Islam kepada masyarakat setempat.

KMF dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam

Pada tahun 1955, umat Islam di Korea Selatan membentuk Korea Muslim Society. Komunitas ini semakin berkembang, lalu berganti nama menjadi Korean Moslem Federation (KMF) pada tahun 1967. Masjid pun didirikan di Itaewon dengan nama Seoul Islamic Center pada tahun 1960. Seiring berjalannya waktu, Islam terus bertahan dan berkembang secara perlahan. Hal itu dibuktikan dengan berdirinya lima masjid pada tahun 1990, yang terus bertambah hingga menjadi sekitar 8 atau 9-an masjid besar dengan bangunan mandiri dan permanen. Sisanya yang lebih banyak adalah masjid-masjid kecil.

Keberadaan KMF di Korea Selatan teramat penting. Lembaga itu menjadi wadah pengembangan pendidikan dan dakwah Islam di negara tersebut. Pemerintahan Korea Selatan memberi kebebasan bagi warganya untuk memeluk agamanya masing-masing. Untuk itu, strategi dakwah yang dikembangkan oleh umat Islam perlu menggunakan pendekatan moderasi Islam yang mengedapankan saling menghargai antar-umat. Pendekatan ini memberikan dampak yang positif, dibuktikan dengan bertambahnya jumlah muslim di setiap tahunnya.

KMF melayani segala aspek pelayanan Islam, mulai dari kajian keilmuan, pernikahan sampai pada pengurusan jenazah muslim Korea Selatan. Tak ketinggalan juga pendidikan Islam, pelayanan ibadah haji, sertifikasi halal, dan lain-lain yang berkaitan dengan hajat hidup umat Islam. Tidak hanya untuk warga pribumi, tetapi juga warga muslim dari negara asing seperti Indonesia.

Sebagai contoh, awal Ramadan kemarin KMF memberikan sosialisasi pelayanan haji di Masjid Ammar bin Yasir, tempat kami berdakwah di Iksan. Lembaga ini siap melayani siapapun, termasuk warga negara asing yang ingin beribadah haji melalui Korea Selatan. Realitanya, dalam penuturan Kang Iman, salah seorang pengurus, tidak sedikit TKI yang berhaji melalui KMF.

Bekerja Sama dengan Muslim Warga Asing

Kerja sama dengan warga muslim asing atau negara muslim menjadi salah satu kunci untuk menguatkan KMF sebagai lembaga, juga warga muslim di Korea Selatan pada umumnya, mengingat jumlah umat Islam di sana justru banyak dari warga negara asing, seperti Indonesia. Di kota-kota tertentu yang tidak dijangkau oleh masjid besar, umat Islam berinisiatif untuk mendirikan masjid sendiri-sendiri. Dua minggu awal Ramadhan kemarin kami menyinggahi masjid Sejong Islamic Center yang diinisiasi pendiriannya oleh warga Uzbekistan. Dua minggu sisanya kami berada di Masjid Ammar bin Yasir yang kelola oleh warga Indonesia.

Bahkan hingga hari ini, warga muslim Indonesia setidaknya mengelola 60 sampai 70-an masjid atau musholla di banyak kota yang menjadi titik keberadaan mereka. Hampir keseluruhan masjid tersebut menggunakan amaliah dalam beribadah sebagaimana di Indonesia, yakni amaliah NU. Sebagian masjid-masjid tersebut masih nomaden karena menggunakan tempat yang statusnya sebatas sewa di satu lantai dari sebuah gedung atau ruko. Sebagian yang lain sudah permanen dengan membeli satu tempat berbekal iuran bersama warga muslim. Bahkan ada yang sudah dibina KMF dengan tetap dikelola oleh muslim Indonesia.

Di Korea Selatan juga terdapat mufti, yaitu Dr. Abdul Wahab Zahid Haq yang berasal dari Syiria. Mufti ini menjadi rujukan dalam mengatasi segala dinamika dan problematika keummatan. Ada juga banyak pendakwah di kota-kota besar yang siap mendampingi dan membina umat Islam di sana.

Muslim yang Berpuasa Dianggap Tidak Mampu Bekerja

Secara umum, umat Islam tidak terlalu mengalami banyak masalah dalam pengamalan ibadah, termasuk di tempat kerja. Atasan-atasan mereka memahami akan kebutuhan waktu untuk shalat Dzuhur misalnya. Lebih-lebih jika sudah ada senior muslim sebelumnya yang menjadi semacam garansi bagi juniornya di mata atasan. Demikian halnya kebebasan puasa di bulan Ramadhan. Meskipun ada juga yang meragukan kemampuan bekerja mereka di saat puasa. Seperti yang dialami Bilal dari Uzbekistan dan beberapa kawannya yang diminta untuk tidak bekerja selama puasa. Atasannya menganggap mereka tidak mampu bekerja jika tidak makan.

Sedikit bisa dipahami sih, mengingat budaya kerja di sini memang ketat, berat, dan disiplin. Bahkan di kalangan warga pribumi, iklim kerja yang berat ini menimbulkan resistensi yang lebih hebat dalam menghadapi problematika kehidupan yang sangat kompetitif. Untuk melepas penat kerja, mereka biasa menenggak minuman keras di malam hari. Absennya nilai spiritual, kesehatan mental, serta masalah keuangan kerap kali berujung pada tindakan bunuh diri. Wajar jika Korea Selatan selalu berada di papan teratas dalam hal indeks bunuh diri terbesar di dunia. Naudzubillah…

Pada titik inilah nilai-nilai Islam sebenarnya dapat masuk untuk mengisi ruang-ruang spiritual, baik untuk umat Islam atau pun non-Muslim. Nilai-nilai Islam dapat menjadi solusi positif dalam mengatasi permasalahan-permasalahan hidup di Korea Selatan, tergantung bagaimana strategi dalam pengimplementasiannya.