Dalil Mi’raj Dalam Surat al-Najm
majalahnabawi.com – Ada salah satu kanal situs berita yang mengutip kalimat Gus Baha: “Orang yang ingkar Mi’rajnya Nabi Saw adalah Siti Aisyah”. Dari kutipan kalimat ini, lalu muncul lah pengalihan maksud dengan liar, sehingga bisa menimbulkan salah paham.
Sebenarnya, kalimat Gus Baha ini tidak akan menjadi masalah ketika sudah menyaksikan dengan lengkap video kajiannya. Walaupun begitu, penggalan kalimat beliau ini juga memang ada salah nya sedikit.
Setelah mendengar dengan utuh kajian beliau, seharusnya kalimat kesimpulan beliau bukanlah kalimat: “Orang yang ingkar Mi’raj adalah Siti Aisyah”, tapi cukuplah beliau bilang (misalnya): “Orang yang ingkar bahwa nabi Muhammad Saw melihat Allah saat Mi’raj adalah Siti Aisyah”. Jika kalimatnya lebih lengkap seperti ini, tentu tidak akan menimbulkan salah paham dan pemahaman yang liar. Karena memang permasalahan “Melihat Allah” ini sudah lama berkembang di kalangan ulama. Itu lebih bisa dimaklumi dari kalimat bahwa Sayyidah Aisyah mengingkari mi’raj Nabi Saw.
Sedikit Gambaran Rangkaian Mi’raj
Rangkaian peristiwa mi’raj itu panjang, mulai dari bertolaknya Nabi Saw dari Qubbah al-Shakhra, lanjut ke langit 1-7, hingga sampai ke Sidratul Muntaha. Sayyidah Aisyah tidak pernah mengingkari semua peristiwa tersebut. Sayyidah Aisyah hanya mengomentari yang lebih hati-hati berkaitan dengan peristiwa saat Nabi Saw mendapat wahyu langsung dari Allah Swt ketika berada di Sidratul Muntaha. Yakni, masalah apakah Nabi Saw melihat Allah Swt atau tidak. Jadi, dari hal tersebut, tentu tidak tepat rasanya jika digeneralisir bahwa Sayyidah Aisyah mengingkari mi’raj (keseluruhan peristiwanya).
Terlepas dari itu, berkaitan dengan peristiwa isra-mi’raj ini, kita sering mendengar bahwa dalil tentang peristiwa “isra” (perjalanan malam hari dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha) jelas tertera dalam al-Quran surat al-Isra ayat 1. Tapi ketika mencari dalil “mi’raj” (perjalanan ruhani Nabi Saw dari Qubbah al-Shakhra sampai Sidratul Muntaha) kebanyakan ulama tidak memastikan sumbernya dari al-Quran. Peristiwa mi’raj banyak bersumber dari hadis Nabi Muhammad Saw. Hanya beberapa ulama saja yang kemudian menafsirkan beberapa ayat dalam al-Quran dengan peristiwa mi’raj. Salah satunya adalah Imam Ibnu Arabi.
Perbedaan Penafsiran Tentang Bertemu Allah
Berbeda dari kebanyakan mufasir lainnya, Imam Ibnu Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makiyyah (juz ke 7, halaman 57 dan 58), beliau menawarkan tafsir dzauqy/tafsir isyari. Beliau mengupas surat al-Najm khususnya pada ayat 8 dan 9 berkaitan dengan hijab dua busur panah dalam peristiwa bertemunya Nabi Saw dengan Allah Swt saat mi’raj.
Allah Swt berfirman dalam surat al-Najm ayat 7-9;
وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَکَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى
Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), bertambah dekat, lalu sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi).
Dalam tafsir Ibnu Katsir, 3 ayat ini diartikan bahwa Malaikat jibril berada pada ufuk yang tinggi, lalu mendekati Nabi Saw, dengan kedekatan yang berjarak dua busur panah. Sedangkan versi Ibnu Arabi, ayat ini bukan menceritakan kedekatan antara Nabi Saw dengan jibril. Melainkan kedekatan antara Nabi Saw dengan Allah Swt saat mi’raj di Sidratul Muntaha.
Kedekatan Makhluk Dengan Allah
Sangat berbeda jauh. Ibnu Katsir menceritakan kedekatan tersebut adalah antara makhluk dengan makhluk. Sedangkan Ibnu Arabi menceritakan kedekatan tersebut adalah antara makhluk dengan khalik nya. Kedekatan inilah yang kemudian membawa Ibnu Arabi pada suatu kesimpulan bahwa Nabi Muhammad Saw melihat Allah Swt walaupun dengan hijab yang berjarak dua busur panah. Wallahua’lam..
Senada dengan yang diungkapkan oleh Ibnu Arabi. Ada sebuah penggalan syair shalawat yang saya belum ketahui siapa penciptanya, yakni shalawat “Hayyul Hadi“. Shalawat ini dengan jelas menceritakan bahwa Nabi Saw saat di Sidratul Muntaha menaiki tangga Arsy dan berjarak sangat dekat saat berdialog dengan Allah Swt:
هَذَا الَّذِيْ سَرَى لَيْلًا، ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّی فَهُوَ عِمَادِيْ يَوْمَ الْمَعَادِ، نَبِيُّنَا طَهَ الْمُخْتَار
عَلَى الْعَرْشِ رَقَى الْجَمِيْل، وَكَلَّمَهُ الْمَوْلَى الْجَلِيْل فَهُوَ عِمَادِيْ يَوْمَ الْمَعَادِ، نَبِيُّنَا طَهَ الْمُخْتَار حَيُّوا الْهَادِيْ
Inilah yang berjalan (isra) pada suatu malam, kemudian Beliau mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Beliau sandaranku pada hari kembali (kiamat), yaitu Nabi kami Sayyidina Thaha al-Mukhtar (yang terpilih). Berilah penghormatan kepada al-Hadi (Muhammad Saw), Nabi kita yang elok rupawan menaiki arsynya Allah. Allah Yang Maha Mulia mengajaknya bicara.
Kembali pada al-Quran, jika ditafsirkan lebih lengkap, sebenarnya surat al-Najm dari ayat 1 sampai 18 inilah dalil mi’raj Nabi SAW. Ayat-ayat ini menceritakan lebih lengkap bagaimana Nabi Saw saat di Shidratul Muntaha.