Gambar: www.amazonaws.com

Biarkanlah hari-hari berbuat sesukanya

Dan lapangkanlah dada jika takdir sudah menentukan

Dan janganlah berputus asa karena suatu keburukan

Karena suatu keburukan di dunia ini tidaklah kekal

Imam Syafi’I R.A

Sering kali kita mengeluhkan tentang nasib yang tidak bersahabat, rencana yang tak tercapai, keadaan yang memilukan, perjuangan yang melelahkan dan semacamnya. Meskipun wajar, karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah, sebagaimana disebutkan dalam firmannya di surat An-Nisa ayat 28:

وَخُلِقَ الْإِنْسَانِ ضَعِيْفاً

“Dan manusia diciptakan (bersifat) lemah.”

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً * إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً * وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً *

“ Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.Q Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesahQ dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikirQ

Akan tetapi hal itu tidak semestinya meruntuhkan semangat dan tekad kita, malah seharusnya memotivasi kita agar lebih giat berusaha dan tentunya menerima segala konsekuensi atas perjuangan kita, entah kemenangan atau pun kegagalan.

Dalam kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i, dijelaskan bahwa “segala sesuatu itu ada waktunya”. Dalam kitab tersebut, Imam Syafi’i menerangkan pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis menuju Ka’bah, sehingga tidak diperkenankan bagi seseorang untuk shalat fardu menghadap Baitul Maqdis selamanya setelah terjadinya pemindahan tersebut, juga tidak diperbolehkan shalat fardu menghadap selain Ka’bah.

Imam as-Syafii juga menjelaskan bahwa segala sesuatu itu ada waktunya, maka menghadap Baitul Maqdis sebelum turun ayat nasakh adalah kebenaran. Akan tetapi setelah Allah menasakhnya, kebenaran itu berubah dan berpindah ke arah Ka’bah selamanya. Kecuali dalam keadaan tertentu seperti shalat khauf atau shalat sunah dalam perjalanan sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Quran dan hadis.

Kalimat “segala sesuatu itu ada waktunya”,  jika disesuaikan dengan bahasa anak zaman sekarang yang sangat akrab di telinga kita, yaitu “semua akan indah pada waktunya”. Kalimat tersebut memiliki makna bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang ia perjuangkan dan usahakan pada waktu yang tepat. Dengan usaha dan kesabaran, maka ia akan mendapatkan apa yang dicita-citakan.

Imam As-Sa’di dalam Mandzumah fiqihnya menyebutkan:

مَعَاجِلُ الْمَحْظُوْرِ قَبْلَ آنِهِ * قَدْ بَاءَ بِالخُسْرَانِ مَعْ حِرْمَانِهِ

“Orang yang menyegerakan sesuatu yang masih terlarang sebelum waktunya * sungguh ia akan kembali dengan membawa kerugian dan keharamannya (tidak mendapatkannya.”

Atau seperti yang disebutkan para ulama:

“من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه”

“Barang siapa yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan keharamannya”

Kaidah ini, selain berlaku dalam masalah fikih, juga dapat berlaku dalam masalah umum yang seringkali kita alami. Seperti dalam sebuah kisa tentang satu keluarga yang hendak pulang ke kampung halaman. Mereka begitu tidak sabar ingin segera sampai di kampung halaman mereka. Untuk menuju kampung halamannya terdapat dua jalur, salah satunya jalur umum sebagaimana kendaraan bermotor menggunakannya, dan jalur yang lainnya adalah jalur desa pedalaman.