Dalil Naqli Qadariyah dalam Opini Ahlussunnah
MajalahNabawi.com – Sederhananya, Qadariyah adalah firqah yang menolak takdir. Mereka beranggapan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Akan tetapi, Pendapat mereka ini juga sebenarnya disandarkan kepada dalil naqli. Lantas bagaimana opini mufassir Ahlussunnah terhadap ayat-ayat tersebut? Simak penjelasan berikut!
Berdasarkan jurnal terbitan Mushaf Journal yang berjudul Pemikiran “Jabariah, Qadariah, dan Asy’ariah”, Ajaran Qadariyah berlandaskan beberapa dalil-dalil naqli. Disini penulis akan mencoba menjabarkan penafsiran ulama Ahlussunnah terkait dalil-dalil naqli tersebut. Ulama yang dijadikan rujukan penulis adalah dua ulama tersohor Ahlussunnah, Imam al-Qurthubi dan Syekh Wahbah Zuhaili.
Q.S. Ali Imran: 164
Nampaknya, sumber yang dipakai penulis salah mencantumkan nomer ayat karena tidak ditemukannya pembahasan tentang takdir sama sekali dalam ayat tersebut. Pembahasan takdir justru dikemukakan dalam penjelasan beberapa ayat sebelumnya yang berbunyi:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّۗ وَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
“Tidak layak seorang nabi menyelewengkan (harta rampasan perang). Siapa yang menyelewengkan (-nya), niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu. Kemudian, setiap orang akan diberi balasan secara sempurna sesuai apa yang mereka lakukan dan mereka tidak dizalimi.“
Imam al-Qurthubi dan Syekh Wahbah Zuhaili sepakat dalam penafsiran ayat berikut. Mereka menyatakan bahwa ayat ini menjelaskan akan keadilan Allah. Allah akan membalas segala perbuatan hambanya benar-benar sesuai apa yang mereka lakukan.
Kaum Qadariyah mungkin memahami keadilan disini dalam bentuk bahwa manusia dibebaskan dari kehendak Allah sehingga manusia dapat melakukan segala sesuatu dengan segala pertanggungjawabannya, padahal tidak harus demikian. Kaum Ahlussunnah tetap meyakini keadilan Allah tanpa menafikan takdirnya. Hal ini dikarenakan mereka meyakini bahwa walaupun Allah telah menakdirkan sesuatu, sang hamba masih diberi kesempatan untuk merubah hasilnya jika ia berusaha dengan sungguh-sungguh.
Q.S.An-Nisa ayat 111
وَمَنْ يَّكْسِبْ اِثْمًا فَاِنَّمَا يَكْسِبُه عَلٰى نَفْسِهۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Siapa yang berbuat dosa sesungguhnya dia mengerjakannya untuk merugikan dirinya sendiri. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.“
Imam al-Qurthubi dan Syekh Wahbah Zuhaili kembali satu suara terhadap penafsiran ayat berikut. Ayat tersebut tidak bermaksud Allah berlepas diri dari apa yang dilakukan manusia sebagaimana tafsiran kaum Qadariyah. Namun maksud dari ayat di atas adalah setiap dosa hanya akan mendatangkan bencana kepada pelaku dosa itu saja, tidak akan merembet kepada orang lain.
Q.S. Ar-Raad ayat 11
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
Perbedaan penafsiran antara kaum Qadariyah dengan mufassir Ahlussunnah seperti Imam al-Qurthubi dan Syekh Wahbah Zuhaili nampaknya terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap lafal (يُغَيِّرُوْا). Kaum Qadariyah menafsirkan lafal tersebut dengan maksud “Mengubah”. Sehingga arti ayat tersebut menjadi “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
Sementara kaum Ahlussunnah menafsirkan lafal tersebut dengan makna “Berusaha Mengubah” Sehingga arti ayat tersebut menjadi berikut “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum kaum hingga mereka berusaha mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
Misalkan terdapat seseorang yang miskin, kaum Qadariyah meyakini bahwa orang miskin tersebut dapat merubah takdirnya menjadi kaya. Sementara kaum Ahlussunnah meyakini bahwa yang dapat merubah kondisi menjadi kaya hanya Allah. Itu pun jika orang miskin tersebut ingin berusaha menghilangkan kemiskinannya.
Q.S. Al-Kahfi ayat 29
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.”
Kaum Qadariyah menafsirkan ayat berikut dengan bahwasannya keberimanan atau kekufuran seseorang disebabkan oleh orang tersebut, bukan karena takdir dari Allah. Penafsiran tersebut lain hal nya dengan penafsiran Imam al-Qurthubi dan Syekh Wahbah Zuhaili.
Dalam tafsir Imam al-Qurthubi, ayat di atas bukanlah bermakna Allah tidak mencampuri takdir hambanya, akan tetapi ayat tersebut merupakan ancaman. Imam al-Qurthubi berpendapat “Ini bukan keringanan dan bukan pula pilihan antara iman dan kufur, tetapi ini adalah hal yang mengerikan dan ancaman. Maksudnya, jika kalian kufur maka telah disediakan siksa api neraka dan jika kalian beriman maka bagi kalian adalah surga.”
Syekh Wahbah Zuhaili sependapat dengan pendapat Imam al-Qurthubi, dengan mengutip pendapat Imam al-Baidhawi, ia mengemukakan bahwa ayat di atas bukanlah tentang kebebasan memilih takdir, akan tetapi ayat tersebut merupakan ancaman. Hal ini terindikasi dari sambungan ayat yang berisi ancaman Allah bagi mereka yang lebih memilih kekufuran. Rangkaian ayat tersebut berbunyi:
اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًاۙ اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَاۗ
“Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang-orang zalim yang gejolaknya mengepung mereka.”
Q.S. Fushshilat ayat 40
اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْۙ اِنَّه بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“
Imam al-Qurthubi tidak menjelaskan lafal (اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْۙ) dalam penafsirannya ayat tersebut. Akan tetapi rangkaian ayat tersebut beliau tafsirkan sebagai ancaman bagi yang melawan perintah Allah. Tafsiran seperti itu selaras dengan apa yang dikatakan Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsiranya. Akan tetapi beliau memberikan penjelasan tambahan, yaitu penjelasan bahwa manusia akan mendapat ganjaran sesuai perbuatannya.
Penafsiran kedua imam tersebut berbeda dengan penafsiran kaum Qadariyah. Kaum Qadariyah menafsirkan potongan ayat tersebut dengan cara memisahkannya dari rangakaian ayatnya. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa Allah mempersilahkan manusia melakukan apapun Allah tidak terlibat di dalamnya perbuatan tersebut dan hanya mengawasi.