Setelah keputusan awal puasa itu disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kudus, maka dipukullah bedug yang seolah berbunyi dang…dang…dang. Konon, dari suara beduk itulah, istilah Dandangan lahir

Kudus, kota yang mendapat julukan kretek dahulu bernama Tajug. Tajug merupakan sebentuk atap arsitektur tradisional yang sangat kuno dan dikeramatkan. Dahulu banyak Tajug yang dijadikan tempat bersembahyang warga Hindu di kawasan Kudus.

Dengan demikian kota Tajug dulunya sudah memiliki sifat kekeramatan tertentu, kota ini di anggap suci bagi warga setempat yang beragama Hindu. Adalah Sayyid Ja’far Shadiq, atau yang lebih kita kenal dengan Sunan Kudus, orang yang mengakulturasi kota Tajug dari segi makna. Salah satu Wali Songo ini mengganti nama Tajug menjadi Kudus, terambil dari bahasa Arab, qudus, yang berarti Suci.

Kudus bukan satu-satunya kabupaten yang menyandang nama Arab di Tanah Jawa. Di beberapa daerah yang lain di pulau Jawa, kata serapan dari bahasa Arab pun dipakai, seperti Demak dan Kendal. Tentu hal itu bukan sebuah kebetulan melainkan terdapat filosofi yang melatarinya.

Pada mulanya Sunan Kudus yang sedang mencari ilmu di Arab, tepatnya di kota Yerusalem Palestina, menghadapi sebuah wabah, lalu ditugaskan pemimpin daerah itu untuk menghentikannya, dan berhasil memusnahkan wabah tersebut.

Atas nama balas budi, pemimpin daerah itu memberi tanah kepadanya, tapi ia menolak. Sunan Kudus lebih suka membina tanah di tanah Jawa. Lalu pemimpin itu memberi sebuah piagam batu, sebagai tanda hadiah kepemilikan tanah.

Setelah pulang ke Jawa, Sunan Kudus berdakwah di Kota Tajug dan membangun masjid di sana. Kini masjid itu dikenal sebagai Masjid Menara Kudus, dan piagam kepemilikan tanah itu ditempatkan di atas mihrab yang menandai berdirinya kota Kudus.

Di masa sekarang, Kudus menjelma sebagai tempat wisata religius bagi umat muslim Indonesia. Di sana terdapat makam dua orang yang menjadi anggota Wali Songo, yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria.

Selain dua makam tersebut kita dapat menikmati hidangan makanan khas Kudus, seperti Soto dan Jenang, serta kesenian-kesenian Kudus, seperti Terbang Papat, kesenian Barongan, yang hingga hari ini senantiasa dilestarikan. Dan tentunya tradisi yang menjadi ciri khas kota Kudus setiap menjelang datangnya bulan Ramadan, yakni Dandangan.

Sejarah Dandangan

Sejak dulu hingga hari ini,  masyarakat Indonesia di beberapa daerah memiliki cara tersendiri untuk menyambut  datangnya bulan Ramadan. Sebut saja di antaranya Nyorog di Betawi, sebuah tradisi menyambut Ramadan dengan membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua. Adapula Balimau di Padang, Jalur Pacu di  Riau, Megengan di Surabaya, Meugang di Aceh, Dugderan di Semarang dan masih banyak lagi.

Bagaimana dengan Kudus? Di sana selalu rutin digelar perayaan Dandangan, salah satu tradisi lokal penyambutan bulan Ramadan yang berasal dari masa Kanjeng Sunan Kudus. Antusiasme masyarakat Kudus dalam meramaikan tradisi yang satu ini biasanya dimulai sejak 15 Sya’ban hingga sehari sebelum masuknya bulan Ramadan. Gegap gempita perayaan ini dirasakan oleh berbagai kalangan, mulai dari santri, masyarakat kelas menengah ke bawah hingga lapisan atas.

Sejatinya, jika ditelusuri melalui kaca mata sejarah, Dandangan mulanya adalah peristiwa pengumuman tentang awal bulan Ramadan yang disampaikan oleh Sunan Kudus yang ditandai dengan pemukulan bedug. Dandangan pertama kali digelar sekitar tahun 1459 M / 867 H.

Awalnya Dandangan bermula dari tradisi kalangan santri yang berkumpul di depan Menara Masjid Al Aqsha -yang kini lebih populer dengan sebutan Masjid Menara Kudus- setiap menjelang Ramadan, menunggu pengumuman awal puasa dari Sayyid Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus.

Setelah keputusan awal puasa itu disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kudus, maka dipukullah bedug yang seolah berbunyi dang…dang…dang. Konon, dari suara beduk itulah, istilah Dandangan lahir.

Dandangan Sebagai Sebuah WarisanMahesa Agni, seorang peneliti pada Central Riset Manajemen Informasi (Cermin) memberikan catatan agar Dandangan sebagai sebuah khazanah warisan Nusantara senantiasa dilestarikan dan dikembangkan. Bahwa Dandangan tidak hanya sekedar kirab, melainkan perlu juga dipikirkan kedalaman substansinya. Di antaranya betapa pentingnya momentum 1 Ramadan bagi Kudus.

Untuk menyegarkan ingatan, bahwa penentuan hari jadi Kudus adalah menggunakan patokan peristiwa 1 Ramadan, di mana di dalamnya terdapat tradisi Dandangan. Pekan Dandangan yang digelar di sekitar kawasan Menara menjelang bulan puasa diharapkan dapat menjadi momentum bagi semua pihak khususnya pemerhati sejarah dan kebudayaan Kota Kretek, untuk merefleksi sisi kultural dan religi peninggalan Sunan Kudus.

Menurut Mahesa Agni, momentum Dandangan akan sangat berarti jika mampu menghasilkan penelusuran sejarah dan nilai budaya peninggalan Kanjeng Sunan Kudus yang belum tergali. Tidak hanya penggalian yang mendalam mengenai sejarah, namun juga nilai-nilai mulia, seperti bagaimana merefleksikan gaung tipologi Wong Kudus yang masyhur dengan “Gus Jigang” (Bagus budi pekertinya, tekun mengaji, dan ulet berdagang), serta mempublikasikan kekayaan warisan budaya Kudus, misalnya mengeksplorasi artefak di sekitar Menara yang belum semuanya terbaca beserta maknanya.

Pada realitanya, pelaksanaan tradisi Dandangan yang menjadi acara tahunan jelang Ramadan di kabupaten Kudus semakin meriah seiring dengan berjalanan waktu. Pasalnya, di samping acara penyambutan pelaksanaan bulan puasa yang telah masuk dalam kalender event wisata nasional itu, tidak hanya pasar malam dan tabuh bedug, tetapi juga dilengkapi dengan kegiatan kirab budaya, visualisasi sejarah dandangan, atraksi-atraksi seni yang bertema sejarah Wali Songo serta kiprah Sunan Kudus dalam menyambut bulan Ramadan dan memimpin Kudus.

Dandangan dan Geliat Ekonomi

Pelaksanaan gelar seni tradisi Dandangan membawa manfaat yang besar dan iklim religius yang kental bagi masyarakat,terutama spirit yang tinggi menyambut datangnya Ramadan. Terlebih di sekitaran Masjid Menara Kudus terdapat beberapa pesantren yang dihuni oleh para santri yang tidak hanya berasal dari Kota Kudus, tetapi juga dari daerah sekitarnya, seperti Kendal, Semarang, Demak, Pati, Jepara, Rembang, bahkan sampai Tuban, Jawa Timur.

Pada sisi lain, Dandangan juga membawa berkah bagi bangkitnya perekonomian, terutama kelas menengah ke bawah. Selama pekan Dandangan, sepanjang jalan Sunan Kudus menjadi pameran pusat niaga berbagai hasil karya kerajinan lokal, seperti kerajinan gerabah hingga berbagai jenis permainan anak-anak tempo dulu.

Tradisi Dandangan tidak lagi sekadar mendengarkan informasi resmi dari Masjid Menara Kudus perihal datangnya bulan Ramadan, tetapi juga dimanfaatkan para pedagang di sekitaran lokasi itu. Para pedagang itu tidak hanya berasal dari Kudus, tetapi juga dari berbagai daerah sekitar Kudus, bahkan dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Mereka biasanya berjualan mulai dua minggu sebelum puasa hingga malam hari menjelang puasa.

Kini, tradisi Dandangan bukan lagi hanya milik kalangan kaum santri saja, melainkan masyarakat Kudus pun ikut berbaur dalam perayaan ini. Selanjutnya, kesempatan ini juga dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan di sekitar masjid sehingga akhirnya tradisi itu kini juga dikenal masyarakat sebagai pasar malam yang ada setiap menjelang Ramadan.