Hukum Merayakan Dandangan

Sebagai tradisi penyambutan bulan Ramadan merupakan hasil karya cipta umat Islam nusantara, serta merupakan bagian dari ciri khas Indonesia. Tidak ada satupun teks agama yang menjelaskan prosesi penyambutan tersebut. Dalam bingkai yang agak puritan, tradisi penyambutan Ramadan ini bisa dibilang bid’ah, meski perlu dipertimbangkan pula mana bidah hasanah dan bidah sayyi’ah.

Namun  yang mesti ditekankan dalam kaitannya dengan adat adalah menjaga keharmonisan di tengah masyarakat. Meski beberapa adat dan tradisi di lingkungan kita sepintas terlihat bertentangan dengan sunah Nabi secara eksplisit, perlu diperhatikan terlebih dahulu apakah itu bertentangan dengan kaidah agama secara keseluruhan atau tidak.

Misalnya penggunaan peci hitam sebagai ciri keberislaman nusantara, dalam Hadis-Hadis Nabi Saw tidak pernah disebutkan bahwa beliau menggunakan peci hitam dalam beribadah atau untuk menunjukan identitas keislaman. Namun di Indonesia, peci hitam memiliki makna tersendiri di mata masyarakat, yang menunjukan identitas keislaman.

Tradisi menyambut Ramadan, apapun jenis tradisinya, seperti Dandangan, tidak boleh dianggap sebagai kewajiban agama karena tidak ada satu sunah pun yang mewajibkan atau menganjurkan tradisi semacam itu baik secara implisit maupun  eksplisit. Berbagai varian penyambutan bulan Ramadan ini hanyalah adat Islam nusantara yang dilakukan sebagai bentuk ekspresi rasa syukur dan bahagia umat Islam dalam menyambut Ramadan.

Selayaknya sebagai muslim tidak menjadikan tradisi tersebut sebagai kewajiban agama sehingga memberatkan diri untuk melakukannya. Kita harus membedakan mana aspek agama dan aspek budaya yang ada dalam Islam. Menghukumi sesuatu dilarang atau dipebolehkan dalam agama bukan berdasarkan atas nama perbuatan tersebut tapi substansi perilaku yang dilakukan mukallaf.

Dalam hal ini, istilah Dandangan hanyalah nama dan bukan substansi perbuatan. Kita tidak bisa menghukumi bid’ah pada nama tersebut, tapi klaim bid’ah ditujukan pada substansi perbuatan (af’aal al-mukallaf) yang berada di balik nama-nama tersebut.

Jika perayaan menyambut bulan Ramadan tidak ada dasarnya pada zaman nabi maka kita lihat apa praktik yang dilakukan di balik nama tersebut. Jika sesuai dengan anjuran nabi seperti bentuk rasa syukur dan dan menumbuhkan semangat keberagamaan, maka hal itu tidak masalah. Namun jika praktiknya mengandung syirik dan menyekutukan Allah, tentu dilarang.

Wallahu A’lam

 

Similar Posts