Majalahnabawi.com – Perkembangan kesadaran emansipasi perempuan bahwa perempuan itu manusia seutuhnya, ternyata berjalan sangat lambat. Banyak yang mengasumsikan makhluk lemah lembut itu tak ada apanya. Sebaiknya menjaga diri, pandangan, sekaligus suaranya agar tak menimbulkan fitnah bagi mereka ‘kaum adam’. Lantas, bagaimana sesungguhnya Islam dan para ulama menyikapi hal tersebut?

Suara termasuk Aurat Wanita

Menjaga diri dan pandangan bagi perempuan wajar saja diimani, karena ayat yang secara gamblang memerintahkan hal tersebut kepada kaum wanita,

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya:
“Katakanlah kepada perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan, dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Nur: 31)

Namun di sisi lain, ada sebagian kalangan yang berpandangan buruk kepada perempuan. Mereka menganggap perempuan sebagai sumber fitnah dan malapetaka. Sehingga, suara perempuan pun adalah aurat yang sama sekali tidak boleh didengar. Mereka berpedoman kepada hadis sahih riwayat Ibn Abi Shaibah (235 H), al-Tirmizi (279 H), Ibnu Khuzaimah (311 H), sebagai berikut:

المَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat. Jika dia keluar, maka setan akan mengawasinya”.

Secara tekstual, hadis ini memberikan pemahaman bahwa semua bagian tubuh perempuan adalah aurat, termasuk suaranya. Lantas, apakah wanita tak berhak membuka suaranya? Apakah kaum hawa tak boleh mengekspresikan nikmat suara yang diberi, sehingga mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang berkaitan dengan suara?

Suara Wanita menurut Pendapat Jumhur Ulama

Jumhur ulama berpendapat bahwasanya suara wanita bukanlah termasuk aurat. Imam al-Nawawi salah satu ulama dalam Mazhab Syafi’iyah juga berpendapat sedemikian.

هَلْ ‌صَوْتُ الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ فِيهِ وَجْهَانِ (الْأَصَحُّ) أَنَّهُ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ قَالَ فَإِنْ قُلْنَا عَوْرَةٌ فَرَفَعَتْ صَوْتَهَا فِي الصَّلَاةِ بَطَلَتْ صَلَاتُهَا

“Apakah suara perempuan termasuk aurat?” Menurut qoul ashah suara perempuan bukanlah suatu aurat. Jika suara perempuan memang di asumsikan sebagai aurat maka ketika perempuan mengeluarkan suaranya pasti sholatnya akan batal”. (Al-Majmu’ Syarah al-Muhazhab, juz 3. Hal 390)

Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Zakaria al-Anshari yang juga ulama Mazhab Syafi’iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu al-Thalib yang menuliskan;

(1/ 176) « إنَّ ‌صَوْتَ ‌الْمَرْأَةِ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ»

Suara perempuan bukan aurat

Selain itu, juga ada keterangan lain seperti yang terdapat di dalam kitab I’anah al-Thalibin karangan Syekh Abu Bakar al-Dhimyathi, bahwa;

(قَوْلُهُ: وَلَيْسَ مِنَ الْعَوْرَةِ الصَّوْتِ) أَيْ ‌صَوْتِ ‌الْمَرْأَةِ، وَمِثْلُهُ ‌صَوْتُ الْأَمْرَدِ فَيَحِلُّ سَمَاعُهُ مَا لَمْ تَخْشَ فِتْنَةٌ أَوْ يَلْتَذَّ بِهِ وَإِلَّا حَرُمَ

“Suara perempuan, dan semisal amrad (pemuda tampan) halal untuk didengar suaranya selama tidak menimbulkan fitnah dan pendengar  tidak merasa nikmat ketika mendengar suaranya. Namun, jika khawatir terjadi  fitnah dan merasa nikmat ketika didengar maka hukumnya menjadi haram.”(3/303)

Syarat Suara Wanita Tidak termasuk Aurat

Pada keterangan hadis sebelumnya, terdapat penjelasan bahwa suara perempuan bukanlah aurat. Dengan syarat tidak menimbulkan fitnah dan merasa nikmat ketika didengarkan. Sementara itu, di zaman sekarang sangat jarang kaum adam yang merasakan hal sedemikian-merasa nikmat ketika didengarkan-, sehingga dapat membuat mereka terlena dengan nafsu birahi. Kalaulah seorang laki-laki mendengarkan perempuan yang bukan mahramnya bercakap lalu ia bersyahwat, sementara perempuan tersebut tidak memanjakan suaranya. Apakah layak dia menyalahkan seorang perempuan tersebut? Padahal pembicaraannya  bukanlah hal yang lantas memancing nafsu para pendengar, melainkan hanya sebagai ucapan semata. Oleh karenanya, kaum lelaki itulah yang seharusnya menetralisir birahinya. Serta tidak mengkambinghitamkan suara perempuan.

Namun, ketika seorang wanita sengaja mendayu-dayu dan membuat gemulai suaranya, sehingga dapat memancing birahi para pendengar khususnya kaum lelaki, maka jelas sekali hukum suara perempuan tersebut akan menjadi haram baginya. Hal ini sebagaimana keterangan yang ada pada firman Allah swt.

يَانِسَآءَ ٱلنَّبِىِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ ۚ إِنِ ٱتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِٱلْقَوْلِ فَيَطْمَعَ ٱلَّذِى فِى قَلْبِهِۦ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا

Artinya:“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu berlembut dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (QS. Al-Ahzab: 32)

Dalam keterangan ayat di atas, sudah jelas bahwa kaum perempuan tidak boleh bersikap terlalu lembut dan terlalu lunak dalam bertutur, sehingga dapat menarik perhatian orang yang hatinya kotor. Dan hendaknya berbicara secara wajar dan tidak dibuat- buat. Sebagaimana perintah Allah swt. terhadap istri-istri Nabi Saw. (Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab)

Oleh karenanya, perempuan sah-sah saja berbicara secara langsung dengan lawan jenis, sejauh tidak membawa dampak negatif. Dengan menjauhi membuat-buat bunyi suara saat berbicara, atau ‘mendesah-desahkannya’, untuk menghindari fitnah dan mudarat atau efek negatif lainnya.

Rasulullah Mengizinkan Aisyah Ra Melakukan Komunikasi Verbal terhadap Kaum Laki-laki

Kebolehan ini dapat terbukti dari banyaknya perawi hadis perempuan. Bahwa jumlah sahabat perempuan yang meriwayatkan hadis adalah 132 orang. Di antaranya, Asma binti Abi Bakar meriwayatkan hadis sejumlah 209 hadis, Zainab binti Abi Salamah meriwayatkan 177 buah hadis dalam Kutub al-Tis’ah dan lain sebagainya. Selain itu, Aisyah ra. sebagai perawi hadis yang menduduki rangking ke-empat yang terbanyak meriwayatkan hadis, juga melakukan komunikasi verbal, baik kepada wanita atau pun laki-laki. Kalaupun memang suara wanita adalah aurat, tentu Rasulullah Saw. tidak akan membiarkan Ibunda kita tetap mendiami kesalahan, pula beliau tidak akan mau meriwayatkan hadis dan memperdengarkan suaranya kepada laki-laki ajnabi.

Dengan mengikuti pendapat jumhur ulama, maka dapat dikatakan bahwa suara perempuan bukan termasuk aurat. Karena bukan aurat, maka boleh saja perempuan memperdengarkan suaranya, dan tak seharusnya bungkam. Sepanjang hal tersebut tidak menimbulkan fitnah.