Hadis Palsu Ramadhan I: Berbahagia Menyambut Ramadhan

Setiap memasuki bulan suci Ramadhan, kita sering medengar nasehat dari ustadz, dai, atau penceramah, bahwa orang yang berbahagia menyambut datangnya bulan Ramadhan, Allah mengharamkan jasadnya dari api nereka. Nasehat ini selalu dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. Mereka menekankan, betapa mulianya Ramadhan, cukup dengan bahagia menyambutnya, kunci surga kita dipegang dan pintu neraka ditutup rapat-rapat.

Utsman al-Khubawi menyampaikan nasehat tersebut sebagai sabda Nabi Saw dalam kitabnya yang berjudul Durratun Nashihin. Dalam kitabnya, al-Khubawi menulis sebagai berikut:

مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ

Siapa yang berbahagia atas datangnya bulan ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka

Apakah benar ungkapan ini bersumber dari Rasulullah Saw yang kita kenal dengan hadis atau sunnah?

Banyak orang yang menuding bahwa kitab Durratun Nashihinadalah kitab palsu karena memuat banyak hadis-hadis palsu. Tidak hanya itu, kitab ini juga disebut sebagai salah satu kitab yang menjadi pangkal cerita-cerita fiktif yang beredar di masyarakat. Informasi ini sangat berharga agar kita tidak langsung menganggap ungkapan tersebut adalah sabda Rasulullah Saw. Bahwa ungkapan tersebut terindikasi hadis palsu itu mungkin dan sangat beralasan.

Dalam kajian hadis, ada dua pembahasan penting dan mendasar untuk menguji kebenaran suatu hadis, teks dan narator teks (dalam ilmu hadis dikenal dengan kajian sanad dan matan). Pertama kajian sanad, adalah tentang siapa saja yang menyampaikan teks hadis tersebut, benarkah hadis tersebut bersumber dari Rasulullah Saw? Apakah orang yang menyampaikan itu dapat dipercaya (tsiqah)? Dan bagaimana sikap, prilaku, dan akhlaknya?

Kedua adalah kajian matan, kajian matan adalah tentang redaksi atau ungkapan yang terdapat dalam suatu hadis. Apakah lafal hadis itu bermasalah atau tidak? Apakah makna hadis tersebut selaras dengan hadis yang memang sudah diakui kebenarannya atau tidak?

Baca Juga: Mengamalkan Hadis Dhaif dan Palsu 

Analisis Sanad

Setelah ditelusuri di dalam kitab-kitab hadis, tidak ada satupun kitab hadis yang menyebutkan hadis di atas. Seperti disampaikan di awal, hanyalah al-Khubawi saja dalam Durratun Nashihin yang menuliskan dan menisbatkannya kepada Rasulullah Saw. Tidak adanya hadis di atas dalam kitab-kitab hadis adalah isyarat pertama tentang kepalsuan hadis tersebut.

Kedua, al-Khubawi tidak mencantumkan rangkaian sanad atau perawi hadisnya. Tidak adanya sanad dalam hadis tersebut semakin memperkuat kepalsuan hadis tersebut. Sanad adalah unsur terpenting dalam hadis. Sebuah ungkapan tidak bisa disebut hadis jika mata rantai sanadnya tidak sampai kepada Rasulullah Saw. Apalagi ungkapan tersebut tidak ada sanadnya.

Dalam kajian ilmu hadis, model hadis seperti ini masuk ke dalam kategori hadis palsu yang dikenal dengan istilah la ashla lahu, laisa lahu ashlun, la sanada lahu, atau laisa lahu sanad, yang artinya tidak ada sumber dan asalnya. Dengan kata lain istilah ini berarti perkataan palsu di mana Rasulullah Saw tidak pernah menyampaikannya. Maka dari itu, berdasarkan kajian sanadnya, hadis di atas palsu dan tidak bisa diamalkan.

 

Analisis Matan

Setelah dipastikan kepalsuan hadis tersebut secara sanad, selanjutnya hadis tersebut akan diuji redaksi atau ungkapannya. Dalam kajian ilmu hadis, indikasi kepalsuan hadis dapat diteliti melalui lafal dan maknanya, apakah meragukan atau tidak? Apakah bermasalah atau tidak? Berikut akan dijelaskan permasalahan hadis tersebut berdasarkan dua indikator hadis palsu secara matan.

Pertama, indikator kepalsuan hadis berdasarkan lafalnya. Kata man fariha (من فرح) di dalam kitab-kitab hadis tidak pernah bersanding dengan kata Ramadhan. Akan tetapi hanya bersanding dengan tema berikut:

  • Tentang kebahagiaan para sahabat saat mereka shalat bersama Rasulullah Saw. Hadis tersebut terdiri dari tiga redaksi berikut:

(وَنَحْنُ فِي الصَّلَاةِ مَنْ فَرِحَ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… (رواه البيهقي في الكبرى

(وَنَحْنُ فِي الصَّلَاةِ مَنْ فَرِحَ بِرُؤْيَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… (رواه البيهقي في الكبرى

(وَنَحْنُ فِي الصَّلَاةِ مَنْ فَرِحَ بِخُرُوجِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… (رواه مسلم في صحيحه

  • Tentang hidup di dunia tidak lepas dari rasa bahagia dan sedih. Namun perlu dicatat bahwa ungkapan ini bukan hadis melainkan ungkapan Abu al-Fath ‘Ali bin Muhammad yang dinukil oleh imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab al-Iman sebagai berikut:

لَا بُدَّ لِلْإِنْسَانِ فِي دُنْيَاهُ مِنْ فَرْحٍ وَغَمٍّ

  • Tentang rumah surga adalah miliki orang yang berbahagia dengan keberadaan anak yatim (redaksi lain anak kecil bukan anak yatim) dan menyukainya. Hamzah bin Yusuf al-Sahmi dalam Mu’jam al-Syuyukh dan Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil fi al-Dhu’afa’ meriwayatkannya dengan redaksi sebagai berikut:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ دَارًا يُقَالُ لَهَا الفَرْحُ لَا يَدْخُلُهَا إِلَّا مَنْ فَرَّحَ يَتَامَى الْمُؤْمِنِيْنَ

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ دَارًا يُقَالُ لَهَا دَارُ الفَرْحِ لَا يَدْخُلُهَا إِلَّا مَنْ فَرَّحَ الصِّبْيَانَ

  • Kisah tentang sudah dekatnya ajal Rasulullah Saw dan akan disusul putrinya sayyidah Fatimah. Sayyidah Fatimah sampai menangis karena begitu sedihnya. Namun seketika, Rasulullah Saw membuat sayyidah Fatimah tertawa lebar dengan kata tanyanya, wahai Fatimah maukah engkau menjadi pemimpin istri-istri orang-orang beriman dan pemimpin kaum perempuan?. Penasaran tentang tangis sedih dan tawa bahagia sayyidah Fatimah itu, sayyidah Aisyah lantas berkata, “Aku tidak pernah melihat kesedihan yang lebih dekat dengan kebahagian seperti hari ini.” Dalam riwayat shahih Imam Muslim dan Abu Ya’la dalam Musnadnya, Sayyidah Aisyah berkata:

مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ حُزْنًا أَقْرَبَ مِنْ فَرَحٍ

 

Bersambung…

Similar Posts