Majalahnabawi.com – Sebagaimana hubungan tanpa status dalam percintaan yang tidak mengenakkan bagi seorang pencintanya, begitu juga status Ilmu Geografi dalam kitab “al Thuruq al-Shahihah fi Fahmi al Sunnah al Nabawiyyah” karya kiai Ali seakan tidak diberi status yang jelas bagaimananya. Akan tetapi sebelum menyelami tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini adalah opini penulis yang berasal dari bacaan penulis, oleh karena itu kritik ini bisa benar, bisa juga tidak tepat.

Sekilas Ilmu Geografi dalam Memahami Hadis

Dalam bab ini, yaitu al-Jughrafiyyah fil Hadis adalah bab keempat dari kitab al Thuruq al-Shahihah fi Fahmi al Sunnah al Nabawiyyah. Sesuai dengan nomor bab, cara ini adalah cara keempat dari banyak cara yang beliau sodorkan dalam memahami pola tingkah bahasa, tindakan dan kehidupan kenabian secara menyeluruh, terpola dan tersistematis. Namun entah mengapa saya kurang setuju dengan narasi awal yang beliau bawa dalam menjelaskan bab ini.

Dalam kitab tersebut beliau menyatakan:

  لا خلاف بين العلماء في أن الجغرافية ليست مصدرا من مصادر التشريع الإسلامي. ومع ذلك، الجغرافية التي هي علم خريطة الأرض تساعد المسلم في فهم الحديث النبوي. المسلم الذي لا يعرف الجغرافية قد يخطئ في فهم بعض الأحاديث النبوية. فلا شك أن الجغرافية مما يحتاج إليه في فهم الحديث النبوي.

Tidak ada khilaf di antara ulama bahwa ilmu geografi bukan sumber dari sumber-sumber dalam pensyariatan Islam. Walau demikian, Ilmu Geografi adalah ilmu mengenai peta bumi, ilmu ini membantu seorang muslim memahami hadis Nabi saw. Seorang muslim yang tidak mengenal ilmu geografi terkadang bisa salah dalam memahami beberapa hadis Nabi saw. Maka, tidak diragukan lagi, bahwa ilmu Geografi termasuk ilmu yang dibutuhkan dalam memahami hadis Nabi saw.

Itu adalah paragraf dan kalimat pembuka dari bab keempat yaitu cara memahami hadis melalui ilmu geografi. Dan yang jadi permasalahannya adalah, mengapa Kiai Ali megantarkan narasi tentang ilmu itu sebagai salah satu cara dengan narasi yang tidak menekankan akan pentingnya. Tetapi, beliau malah seakan mengalihkan fokus bahasan yang dari awal kitab ini diperuntukkan kepada pengkajinya menyadari semua pemetaan pola pikir hadis dengan segala kekhasannya tetapi entah mengapa beliau malah seakan dengan mengatakan diawal bahwa ilmu ini bukan “mashdar” sementara bagi kami pengkaji awal yang namanya mashdar atau sumber itu merupakan hal esensial dan kalau bukan sumber berarti nilainya kurang. Kami, dari awal juga tidak menyadari pentingnya pembahasan itu, sehingga saya mempertanyakan ini kiai Ali Ingin memberi kesadaran akan pentingnya ilmu geografi sebagai salah satu bentuk memahami hadis atau bagaimana kok seperti tidak sejalan kalau memang tidak perlu mengapa dicantumkan dipembagian-pembagian awal? Dan kritik ini didasari atas beberapa hal.’alah, mengapa Kiai Ali megantarkan narasi tentang ilmu itu sebagai salah satu cara dengan narasi yang tidak menekankan akan pentingnya. Tetapi, beliau malah seakan mengalihkan fokus bahasan yang dari awal kitab ini diperuntukkan kepada pengkajinya menyadari semua pemetaan pola pikir hadis dengan segala kekhasannya tetapi entah mengapa beliau malah seakan dengan mengatakan diawal bahwa ilmu ini bukan “mashdar” sementara bagi kami pengkaji awal yang namanya mashdar atau sumber itu merupakan hal esensial dan kalau bukan sumber berarti nilainya kurang. Kami, dari awal juga tidak menyadari pentingnya pembahasan itu, sehingga saya mempertanyakan ini kiai Ali Ingin memberi kesadaran akan pentingnya ilmu geografi sebagai salah satu bentuk memahami hadis atau bagaimana kok seperti tidak sejalan kalau memang tidak perlu mengapa dicantumkan dipembagian-pembagian awal? Dan kritik ini didasari atas beberapa hal.

  1. Bagaimana narasi awal pak kiai membawa bab ini dengan menyatakan bahwa cara ini bukan sumber. Hemat dan baiknya bagi kami, mengapa tidak dibilang dengan kalimat “pembahasan ini penting atau dalam bahasa arabnya هذا المنهج في فهم الحديث مهم. Tetapi dengan catatan, bahwa dalam beberapa konteks. Yang pertama itu terkait narasi awal.
  2. Kiai Ali membilang dengan kata-kata “bukan sumber” yang itu mengalihkan pandangan pembaca akan pentingnya memahami pembahasan ini. Tetapi, di sisi lain, Kiai Ali menyebutkan salah satu contoh yang esensial. Apa itu? Yaitu, hadis tentang arah kiblat. Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah (w. 57 H):

“أن الرسول الله قال ))ما بين المشرق والمغرب قبلة((. وقال الإمام الترمذي ))حديث حسن صحيح((.كما صح ذلك عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه موقوفا عليه.”

Bahwa Rasulullah saw. bersabda “antara timur dan barat ada kiblat”. Dan berkata Imam al Tirmidzi “itu hadis hasan sahih”. Sebagaimana ada riwayat sahih yang mauquf dari Ibnu Umar juga meriwayatkan hadis demikian.”

Bagaimana bisa, kiblat yang menjadi arah salat dan salat itu adalah tiang agama yang bila tanpa tiang bangunan saja bisa runtuh dan narasi yang dipakai dalam kitab beliau kurang menekankan pentingnya mempelajari ilmu geografi itu. Bukankah dalam wudhu saja ketika membasuh itu wajibnya membasuh wajah, juga tangan yang menjadi rukun wudhu wajibnya adalah melebihkan sedikit karena ihtiyath atau hati hati yang fardhu atau rukun tersebut tidak terbasuk sehingga ada kaidah dalam fikih “ما ليس به واجب الا به فهو واجب” “Kewajiban, yang apabila ada suatu kewajiban tanpa sesuatu yang lain kewajiban itu tidak terlaksana, maka sesuatu yang lain itu menjadi wajib juga”.

Dan kaidah itu menandakan betapa pentingnya melebihkan dalam berwudhu dan malah diwajibkan melebih sebagai bentuk ihtiyath atau kehati-hatian, bukan konsep hatimu merasa memiliki tapi dianya enggak ya itu beda konsep wkwk. Nah narasi yang pak kiai dengan sebagai pembantu memahami hadis sementara contohnya adalah arah kiblat seakan-akan akan mengalihkan pokus bagaimana kiblat itu tidak terlalu penting. Sepertinya maksud beliau kata saya bukan seperti itu tetapo beliau kurang tepat menarasikan atau mengibaratkannya.

Dan untuk pujian yang saya rasakan langsung, bahwa sebagaimana bacaan saya yang sedikit betapa indah dan menakjubkannya pak kiai bisa mensistematiskan sedemikian rupa pola-pola memahami hadis yang saya rasa cukup bangat, dan lumayan dibilang sempurna –untuk tidak menyebut sempurna sebab sedikitnya bacaan penulis terkait ini- untuk memahami konteks dan bagaimana memposisikan teks hadis pada zaman dahulu sebelum dikontekstualisasikan dalam keseharian umat muslim.

Beliau memberikan pola sistematis dalam memahami kehidupan Nabi saw. sebagai manusia sempurna yang harus dijadikan contoh secara aplikatif, dengan mendatangkan riwayat langsung dari rujukannya, rasionalisasi dan penjabaran yang mudah dipahami juga secara sederhana dan menyeluruh. Dan menurut pernyataan ustaz kami Ust. Hasan Shobari yang akrab dengan panggilan Ust, Acan pembagian ini diambil dari kitab Syekh al-Qardhawi dalam kitabnya “Kayfa Nata’amal Maa’ al Sunnah al Nabawiyyah”. Tetapi, setelah penulis cross check ulang kok engga sama? Apakah ini penyimpulan beliau langsung? Kalau memang demikian, sepertinya kita sebagai muridnya patut bangga dan harus menyebarkan pemahaman-pemahaman ini dalam memahami hadis agar Ummat Islam jangan salah dalam memahami hadis secara sahih dan benar secara rasionalisasi kebenaran kenabian.

Dan mengenai dua hadis yang lain terkait geografis hadis yaitu:

Hadis pertama, tentang buang hajat atau buang air jangan membelakangi dan menghadap kiblat dalam konteks dahulu yang tempat buang air bisa di ruang terbuka semnetara kita sudah lebih rapih dan tertutup.

Yang kedua, tentang di mana arah kiblat ini.

Dan yang ketiga, bagaimana hujan yang dipindah turunkan sebab doa Nabi di mana hujan itu jadinya dan akhirnya menjadi titik pertanyaan dan penting diketahui. Silahkan kritik dan masukannya dari para pembaca.

Masyaallah cerdasnya dan indahnya kitab ini. Semoga menarik kesadaran kita untuk terus mengkaji agama. Semangat semua ya ges ya , semoga bermanfaat!

Wallahu a’lam bi al Shawaaab.