Penjelasan Hadis Arbain Part 30
Majalahnabawi.com –Ketentuan syariat itu harus dipatuhi bagi siapa saja yang mengikatkan diri pada agama Islam. Ketentuan syariat secara garis besar bebicara boleh atau tidak, yang dipecah menjadi 5 macam hukum: Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. Kelima hukum ini telah mencakup kaitannya dengan aktivitas manusia secara dominan. Lalu bagaimana aktivitas yang tidak ada ketentuannya?
Konsep Fardu dalam Islam
Perhatikan hadis berikut:
عن أبي ثعلبة الخشَيْني جُرثوْم بن ناشر رضي الله عنه عن رسول الله ﷺ قال: إِنَّ ﷲ تَعَالى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوْهَا, وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلَا تَعْتَدُوْهَا, وَحَرَّمَ أشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوْهَا, وَسَكَتَ عَنْ أشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُ عَنْهَا. حديث حسن رواه الدارقطني وغيره.
Dari Abu Tsa’labah al-Khusyaini Jurtsum bin Nasyir ra, dari Rosulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka jangan kalian menyia-nyiakannya, Allah telah mewajibkan had maka jangan kalian melampaui batasnya, Allah telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian melanggarnya. Dan Allah diam tentang beberapa hal sebagai rahmat terhadap kalian, bukan karena lupa, maka jangan kalian membahas tentang hal-hal itu.
Hadis ini menegaskan empat hal. Pertama, kewajiban fardu. Kewajiban tersebut mencakup fardu ‘ain dan fardu kifayah. Fardu ‘ain yakni shalat maktubah, zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan haji bagi yang mampu. Fardu kifayah di antaranya adalah mengurus jenazah, menjawab salam saat berkelompok, amar ma’ruf nahi mungkar, dan banyak lagi. Fardu-fardu tersebut dimaksudkan agar dilaksanakan. Tidak patut ditingalkan apalagi diremehkan.
Konsep Had (Hukuman) dalam Islam
Penegasan kedua tentang Had (Hukuman). Secara etimologi, had itu pembatasan. Secara terminologi, had berarti hukuman syari’at yang memiliki ketentuan khusus—berbeda dengan ta’zir (sanksi)—dengan tujuan efek jera dan antisipasi kemaksiatan. Terdapat hadis lain tentang had, “Suatu Had yang dilaksanakan di muka bumi lebih baik daripada hujan empat puluh hari”. (Riwayat an-Nasa’i: 8/76).
Had ditentukan dalam kasus 4 pelanggaran syariat yakni Zina, Minum khomr, Qadzaf (menuduh zina), dan Mencuri.
- Hadd bagi pezina terbagi dua antara muhshan dan tidak muhshan. Muhshan itu orang yang telah jima’ di dalam pernikahan sah. Keluar dari kriteria ini maka bukan muhshan. Had atas pezina muhshan adalah dirajam (dikepung dan dilempar batu hingga mati). Had selain muhshan yaitu dicambuk 100x serta diasingkan selama setahun.
- Had meminum khomr yakni dicambuk 80x. Khomr terbuat dari perasan anggur yang telah difermentasi. Sesuatu yang memabukkan selain khomr dihukumi haram, namun tidak sampai dihadd karena mengkonsumsinya.
- Had qadzaf adalah cambuk 40x. Penuduhan harus ditujukan kepada orang baik-baik (‘afif), dengan kata lain tuduhan palsu.
- Had mencuri yakni potong tangan. Barang yang dicuri mencapai senilai ¼ dirham murni. Mencuri sekali dipotong tangan kanan seukuran pergelangan tangan. Mencuri kedua kali dipotong kaki kiri persendian tumit. Mencuri ketiga kali dipotong tangan kanan. Mencuri keempat kali dipotong kaki kanan.
Demikian sedikit perkara seputar had, lebih spesifiknya bisa diakses sendiri dengan kata kunci bab hudud dalam fikih. Had itu direalisasikan oleh pemilik wewenang dengan prasyarat berlaku. Prasyarat tersebut sangat ketat, dengan sekiranya menghilangkan semua keraguan dan kesamaran pelanggaran. Bila pelanggaran tersebut benar-benar nyata maka pemilik wewenang diwajibkan mengeksekusinya. Eksekusi tidak boleh keluar dari ketentuan di atas, begitupun tidak mengurangi dan tidak juga menambah.
Konsep Haram dalam Islam
Penegasan ketiga tentang keharaman. Keharaman itu ada banyak, di antaranya seperti bersaksi palsu, makan harta anak yatim, riba, durhaka kepada orang tua, dan banyak lagi. Larangan ini dibuat bukan untuk dilanggar. Karena keharaman pada dasarnya dilandaskan pada maslahat manusia sendiri, baik disadari maupun tidak.
Itulah tiga ketentuan yang sudah pasti dan wajib dijaga. Namun, di luar permasalahan dan persoalan hidup demikian kompleks. Dengan kata lain, ada berbagai hal yang tidak disinggung oleh syari’at. Atau lebih tepatnya, sengaja tidak disinggung. Allah menginformasikan tentang ini, bahwa sikap netral syar’i terhadap sesuatu bukan karena Allah lupa ataupun lalai. Dia Mahasuci dari lupa, “Dan tidaklah tuhanmu itu pelupa” [Q.S Maryam: 46]. Melainkan itu sebagai rahmat, bahwa kita banyak diberi ruang kebebasan mengeksplorasi pengetahuan, pengalaman, dan skill. Tentunya, selama tidak menyalahi prinsip dan aturan syari’at.
Dengan demikian, kita hanya perlu menjalani tanpa perlu membahas, apakah ini boleh menurut syari’at atau tidak? Maksudnya jangan memaksakan sesuatu dikaitkan dengan syari’at. Selaras dalam firmanNya, “Janganlah kalian menanyakan sesuatu yang ketika diangkat pada kalian maka kalian tidak menyukainya” [Q.S al-Maidah: 101]. Semakna dengan ayat tersebut, hadits Nabi “Sesunguhnya muslim yang paling besar dosanya itu orang yang bertanya sesuatu yang asalnya tidak haram lalu diharamkan setelahnya karena masalah pribadinya sendiri” (Riwayat bukhari: 13/264)
Perlu digarisbawahi, penegasan yang terakhir ini jangan dipahami mentah-mentah. Sekilas pemahaman kita bahwa syari’at memiliki ketetapan dan yang tidak ditetapkan menjadi kehendak bebas manusia. Sebelum itu, kita perlu mengetahui apa saja yang wajib dan apa saja yang haram. Dalam fan maqashidu as-syari’ah menekankan bahwa hukum diberlakukan berlandaskan prinsip, bukan sekedar format. Artinya, apapun tindak tanduk manusia selama tidak bertentangan dengan prinsip maka tidak sesat.