nasehat nabi

Majalahnabawi.com – Semakin berkembangnya zaman, eksistensi agama di masyarakat mulai melemah. Hingga berbagai paham agama muncul, namun yang sangat harus dijadikan perhatian adalah tersebarnya aliran sesat yang tanpa disadari mampu membutakan orang lalu menghilangkan  istilah rahmatan lil ‘a’lamin pada agama Islam. Terorisme dan liberalisme, kata-kata yang tak asing pada zaman ini. Banyak kasus seperti pengeboman tempat peribadatan baik di dalam atau luar negeri yang dilakukan oleh teroris dan islam dijadikan tersangka oleh khalayak banyak. Bahkan sampai munculnya kata islamophobia di penjuru dunia. Ada hakikat ijtihad yang perlu masyarakat luas ketahui.

Karena secara tak langsung jika mengambil ijtihad dengan keputusan yang salah, maka jalan yang ditempuh akan serupa salahnya bahkan bisa melenceng dari apa yang disyari’atkan oleh islam. Pada buku kali ini, Pak Kiai menjelaskan ijtihad secara dasar juga terperinci agar masyarakat tak lagi salah paham pada pandangan ijtihad yang terlukis pada benak mereka. Makna ijtihad menurut Dr. Abdullah bin ‘Abd al-Muhsin al-Turki merupakan aktualisasi seorang mujtahid dalam mencurahkan seluruh kemampuannya untuk mencari hukum-hukum syara’ dengan cara yang dirinya merasakan tidak mampu untuk menambahkannya. Pentingnya berijtihad untuk menetapkan sebuah hukum dari permasalahan yang tidak ada dalam nash-nya. 

ijtihad Sudah Ada dari Zaman Nabi

Metode ijtihad ini sudah ada dari zaman Nabi Muhammad SAW oleh para sahabat baik sebelum maupun setelah Rasulullah wafat. Karena para sahabat tersadar betapa urgent-nya penerapan metode ijtihad ini, apalagi setelah sepeninggalnya Rasulullah yang ketika itu muncul beragam masalah, dimana masalah-masalah tersebut tidak ditemukan dalilnya dalam al-qur’an dan hadis. Dalil yang membuktikan tentang adanya ijtihad di masa Rasulullah ada dalam hadis Mu’adz bin Jabal :

Imam Abu Dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra. Bahwa Rasulullah Saw ketika hendak mengutusnya ke Yaman, beliau bertanya : “Bagaimana kamu mengadili jika kamu mendapat permasalahan hukum?” Mu’adz menjawab “Dengan Kitab Allah (al-Qur’an).” “Apa yang kamu lakukan jika kamu tidak mendapatinya dalam Kitab Allah?” ia berkata : “Aku akan adili dengan Hadis” Beliau berkata “Lalu jika kamu tidak juga menemukannya dalam Sunnah Rasulullah Saw dan Kitab Allah?” Mu’adz menjawab : “Aku akan menggunakan pendapatku dan aku tidak akan mengabaikannya.”

Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan bersabda : “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang Rasulullah kehendaki.”

Ada pendapat yang mengharuskan taklid bagi orang yang belum mencapai derajat ijtihad, berdampak pada pemahaman bahwa pintu ijtihad telah tertutup yang bermakna bahwa tidak akan ada lagi yang boleh berijtihad setelah ijtihadnya empat imam besar, yakni Imam Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hanbali. Namun, karena semakin berkembangnya zaman banyak masalah-masalah baru yang tidak lagi bisa berdasar pada hasil ijtihad empat imam ini. Maka tercetuslah ijtihad terbuka.

pintu Ijtihad Terbuka Lebar

Pintu ijtihad terbuka lebar : berpendapat bahwa semua setiap muslim memiliki hak nya dalam memahami nash-nash Syariah. Mengakibatkan orang yang tidak berkompetensi berani melakukan ijtihad yang berujung pada sesat menyesatkan. Contoh : membolehkan aksi terorisme atas nama jihad, meyakini semua agama adalah benar (pluralism agama), dan pemikiran lain yang bertentangan dengan teks Syariah dan keluar dari ijmak.

Tetapi di masa ini orang muslim dengan bebasnya berijtihad sesuai kehendaknya sendiri dengan berpikir pendek dalam suatu masalah atau karena mereka juga belum mencapai tingkat mumpuni dalam mengetahui ilmu yang tercantum pada syarat-syarat mujtahid, sebagaimana ketetapan ulama-ulama terdahulu :

  1. Baligh dan berakal.
  2. Mengerti al-Qur’an, hadis, ijma’, bahasa arab, ushul fiqih.

Sebagian ahli fiqih kontemporer menambahkan 2 syarat lagi, yaitu :

  1. Mujtahid harus merupakan seseorang yang kredibel (adil).
  2. Mujtahid harus seseorang yang berperilaku faqih.

Lalu, seorang mujtahid pun harus berijtihad sesuai dengan fase-fasenya :

  1. Melakukan penelaahan di dalam teks-teks al-Qu’an/ hadis mutawatir/ hadis ahad.
  2. Merujuk kepada makna zahir.
  3. Ijmak
  4. Qiyas dan Ijtihad

Jika masyarakat hanya memandang konsep ijtihad tanpa memahami juga mendalaminya, maka akan terjadilah keadaan yang melenceng dari syariat – syariat islam. Seperti “Terorisme” dan “Pluralisme”.

Terorisme, sebagaimana kita ketahui terorisme merupakan kelompok yang sangat fanatik dalam segi keagamaan dan lagi-lagi kita harus menghembuskan napas berat bahwa mereka ada sebab kesalahan mereka sendiri dalam berijtihad . Ijtihad mereka yang menghasilkan fatwa untuk membunuh orang Amerika atau orang selain islam. Mereka mengatakan bahwa Surah al-Baqarah ayat 191 merupakan landasan mereka untuk berbuat demikian. Padahal mereka tidak memahami ilmu al-Qur’an lantas salah dalam memaknai ayat tersebut.

Adapun Pluralisme yang mengusung pada faham liberal. Pluralisme yang berarti meyakini bahwa semua agama adalah benar dan semua pengikut agama akan masuk surga. Mereka mendasari hal tersebut dengan QS. Al-Maidah ayat 69, lagi-lagi mereka menutup mata pada penjelasan ayat lain yang bersebrangan pada ayat ini. Yaitu QS. Al-Bayyinah ayat 5 sampai 6.