Majalahnabawi.com – Dalam kita Al-Iqtishād fī al I’tiqād Imam Al-Ghazali menjelaskan kepada kita perihal beberapa klaim golongan Ahlussunnah wa al Jamā’ah khususnya Asya’ariyyah yang berkaitan dengan Ilmu Kalam, permasalahan tentang ketuhanan. Dalam tulisan singkat ini, penulis mencoba untuk menguraikan pendapat Imam Al-Ghazali perihal penglihatan akan Zat Tuhan yang menurut klaim beliau dapat dilihat oleh makhluk-Nya atas kehendak dan kekuasaan-Nya dan eksistensi-Nya.

Imam Al-Ghazali mengklaim atau berpendapat bahwa sesungguhnya Tuhan yang kita sembah selama ini dapat dilihat oleh panca indra manusia secara real dan langsung tanpa adanya penghalang atau suatu pengantar tertentu. Hal ini berlawanan dengan pandangan mazhab teologi Mu’tazillah yang menurut mereka mustahil untuk Tuhan bisa dilihat.

Pandangan Mu’tazillah pun tidak semata ada tanpa adanya dalil yang kuat. Mereka berargumen bahwa seandainya Tuhan bisa dilihat, maka wujud zat Tuhan tersusun berdasarkan materi (berupa jauhar & ‘aradh) dan hal ini mustahil bagi zat Tuhan itu sendiri.

Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih mendalam, penting sekiranya di sini kami jelaskan secara singkat tentang esensi segala sesuatu bisa dikatakan ada (maujud) dalam epistimologi pembahasan ilmu Kalam.

Pada dasarnya, segala zat yang ada (maujud) dapat dibagi menjadi dua pembagian besar. Ada zat yang bertempat (mutahayyiz) dan ada yang tak memerlukan tempat (ghairu mutahayyiz). Zat yang memerlukan tempat disebut dengan jauhar atau atom dalam bahasa simpel kita, kumpulan dari beberapa atom ini disebut jism. Contoh simpel dari jism adalah kita sebagai manusia yang tersusun atas beberapa partikel hingga membentuk wujud keberadaan kita.

Sedangkan zat yang tidak bertempat dibagi kembali menjadi dua, ada yang memang benar-benar tidak memerlukan tempat dan tidak tergantung pada zat lain untuk merealisasikan eksistensinya ada pula yang masih tergantung pada wujud dari zat lain untuk merealisasikan keberadaannya. Zat tak bertempat yang masih membutuhkan ta’alluq (keterkaitan) dengan zat yang lain disebut ‘arudh (sifat yang menempel pada jism) seperti warna suatu benda, bentuknya, dan lain sebagainya. Sedangkan zat yang berdiri sendiri, tak membutuhkan tempat dan keterkaitan dengan yang lainnya adalah yang kemudian kita sebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Kembali lagi pada dalil Mu’tazillah yang menganggap bahwa Tuhan tak dapat dilihat, adalah karena Tuhan tak memerlukan tempat untuk merealisasikan eksistensinya. Maka segala sesuatu yang tidak bertempat , mustahil pula untuk dapat dilihat secara indrawi oleh mata telanjang manusia yang serba terbatas.

Berangkat dari kerangka berpikir tersebut Al-Ghazali mula-mula menjelaskan argumen-argumennya atas argumen Mu’tazillah, dengan menjelaskan mengapa dia menaruh penjelasan tentang bab ini pada bab (qutb dalam bahasa beliau) النظر في ذات الله تعالى  atau pembahasan tentang Zatiyyah Tuhan. Karena pada dasarnya kitab al Iqtishād fī al I’tiqād tersusun atas empat qutb yang berbeda pembahasan pada setiap qutb-nya.

Alasan Pertama

Bahwa sesungguhnya menafikan akan melihat Zat Tuhan merupakan hal yang niscaya akan menafikan bahwa Tuhan itu tak bertempat. Maka dari sini, beliau mencoba untuk mensinkronkan bahwa penafikan atas Zat Tuhan itu tidak berkontradiksi dengan melihat Zat Tuhan

Alasan Kedua

Tuhan Semesta Alam bagi penganut Asy’ariyyah itu bisa dilihat dikarenakan Dia ada dan Dia berzat. Dengan kata lain tidaklah permasalahan mengenai Tuhan itu bisa dilihat melainkan memang karena Zat-Nya itu ada (maujud). Adapun yang menjadi alasan sekarang mengapa kita tidak dapat melihat-Nya disebabkan karena perkara lain. Karena pada dasarnya segala sesuatu yang memiliki zat maka seyogyanya dia bisa dilihat dan diketahui.

Al-Ghazali memaksudkan dalam dalilnya di atas bahwa penglihatan tentang suatu zat yang ada, itu ada kalanya secara real time/aktual/langsung terjadi (bi al fi’li) dan adakalanya suatu zat bisa dilihat itu secara potensial atau ada indikasi yang menunjukkan bahwa zat itu bisa benar-benar dilihat (bi an nazhar).

Analogi sederhana yang beliau contohkan adalah analogi tentang air di sungai yang menyegarkan dan khamr di dalam botol yang memabukkan. Kedua minuman tersebut bisa dirasakan efeknya (menyegarkan & memabukkan) hanya jika keduanya diminum. Adapun ketika didiamkan tanpa adanya perlakuan, maka efek yang ada hanyalah sebatas potensial belaka.

Dalil ‘Aqli bahwa Tuhan Dapat Dilihat

Ketika sudah memahami arah pembicaraan dari pendahuluan di atas. Al-Ghazali mengajak kita untuk merenungi dan menelisik dalil di mana pada hakikatnya Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala makhluk-Nya atau dalam konteks ini adalah manusia. Beliau menjabarkan dengan jelas perihal dalil ini menggunakan pendekatan akal dan nash (teks) atau syara’, namun pada kesempatan kali ini penulis hanya akan menjabarkan sedikit-melihat banyak dan kompleksnya penjelasan beliau, tentang dalil akal yang beliau jabarkan dalam kitabnya.

Kita semua meyakini bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, berzat, tsubut (tetap-lawan dari nafyun yang berarti tidak ada), dan hakikat wujudnya itu ada. Meskipun begitu, eksistensi Tuhan itu tidak bisa serta-merta disamakan dengan makhluk atau ciptaan-Nya. Tuhan harus sebagaimana disifati layaknya Tuhan yang qadim (terdahulu), berdiri sendiri tanpa memerlukan zat lain sebagai penyongsong, dan lain sebagainya. Pada intinya, Tuhan tidak bisa disifati dengan selain sifat yang melekat pada diri-Nya.

Walaupun begitu tidak dipungkiri bahwa beberapa sifat yang ada pada makhluk sejatinya melekat pula pada Zat-Nya, contoh mudahnya adalah sifat maujud (keberadaan). Asalkan sifat-sifat yang melekat pada-Nya tidak menunjukkan akan kebaruan Tuhan yang terdahulu dan tidak pula menyalahi seluruh sifatnya, maka hal ini bisa dan boleh terjadi pada diri-Nya. Melihat Tuhan masuk dalam hal ini (sesuatu yang ada pasti dapat dilihat ditambah tidak adanya pengingkaran hal ini akan zat maupun sifatnya. Begitulah kurang lebih argumen Al-Ghazali.

Dalil yang Al-Ghazali angkat untuk menguatkan argumennya ini adalah adanya keterkaitan pengetahuan kita dengan-Nya. Telah maklum bahwa ketika kita mengkaji ilmu tauhid sendiri, kita secara tidak langsung berbicara perihal ketuhanan dan segala sesuatu yang menyangkutnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hal itu boleh saja terjadi asalkan tidak menafikan, tidak menyamakan, atau tidak menyalahi seluruh sifat-Nya. Dan pada dasarnya melihat Tuhan itu merupakan bagian dari keterkaitan pengetahuan kita tentang-Nya. Dan tidak ditemukan dalam kajian tentang melihat Tuhan ini berarti menafikan sifatnya, atau dengan melihat Tuhan kita menyamakan Tuhan dengan makhluk dan lain sebagainya. Tidak ditemukan indikasi yang mengarah pada hal tersebut, kata Al-Ghazali.

Kemudian pada paragraf-paragraf selanjutnya Al-Ghazali menjelaskan tentang bantahan-bantahan terhadap klaim Al-Ghazali yang mengatakan Tuhan itu bisa dilihat lengkap dengan penjelasan sanggahan beliau akan bantahan-bantahan tersebut. Yang gencar beliau kritisi adalah bantahan yang dilancarkan oleh kaum Mu’tazillah.

Perdebatan Al-Ghazali dengan Mu’tazillah

Bantahan Mu’tazillah:

Andai kata Tuhan bisa dilihat berarti Tuhan itu memiliki arah, karena setiap sesuatu yang dapat dilihat berarti dia punya posisi tertentu dari arah personal yang melihatnya (depan, belakang, samping, dan sebagainya).

Jawaban Al-Ghazali:

Beliau menjawab bantahan ini dengan bertanya balik dengan menanyakan kesimpulan bahwa segala yang dapat dilihat itu memiliki arah. Apakah secara apriori (otomatis ada dengan sendirinya), atau dengan suatu penalaran? Jika dikatakan pengetahuan didapatkan dengan cara apriori, buktinya ada banyak individu yang tetap menerima pendapat bahwasanya Tuhan dapat dilihat.

Jikalau secara penalaran yang nanti ujungnya hanya akan berpatok pada pengalaman empiris yang mengatakan segala sesuatu dapat dilihat pasti memiliki arah, maka belum tentu segala sesuatu yang belum pernah dilihat harus juga memiliki arah. Bisa saja ada sesuatu di luar pengalaman empiris yang tidak menerima hal itu. Maka rapuhlah analogi Mu’tazillah. Lebih dari itu beliau menanyakan perihal Zat pribadi Tuhan, apakah Tuhan bisa melihat diri-Nya sendiri atau tidak? Jikalau tidak  maka cacatlah sifat yang melekat pada-Nya berupa Maha Segalanya dan jikalau bisa maka sesungguhnya Dia memang bisa dilihat.

Pengandaian seperti itu juga berlaku ketika kaum Mu’tazillah di hadapkan pada pertanyaan tentang apakah Tuhan bisa melihat alam semesta ini? Jika tidak maka nafilah sifat Agung-Nya dan jika iya maka pada dasarnya Dia juga memiliki arah. Arah dari tempat di mana dia melihat alam seisinya. Maka lagi-lagi pemikiran Mu’tazillah menjadi rancu di sini.

Pada lain kesempatan beliau juga menjawab argumen ini dengan menganalogikan teori kaca. Ketika di hadapan kaca yang tipis itu kita dapat melihat diri kita sendiri padahal pada dasarnya seseorang tidak bisa melihat wujud dirinya sendiri tanpa adanya kaca, kita hanya bisa melihat wujud orang lain. Lalu pertanyaannya ketika kita bergerak bebas di hadapan kaca, wujud yang ada di dalam kaca akan senantiasa mengikuti kita padahal kita tahu bersama bahwa ketebalan kaca itu sangat tipis. Lebih jauh dari itu gambar yang ada di hadapan kaca adalah gambar kita, sementara gambar yang ada di dalam kaca tersebut tidak memiliki arah!

                Begitulah kurang-lebih penjelasan singkat tentang dalil Tuhan bisa dilihat dengan pendekatan rasional menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya al Iqtishād fī al I’tiqād. Pada dasarnya penjelasan yang Al-Ghazali jabarkan dalam sub-bab ini lebih dalam dan kompleks dari yang penulis tulis. Misalkan selain dalil akal beliau juga menjelaskan dalil-dalil syara’ yang bersumber dari Alquran. Di lain sisi Al-Ghazali juga menjelaskan bantahannya bagi siapa yang meragukan atau menyerang pendapatnya dengan pendekatan yang rasionalis pula. Namun dengan segala keterbatasan yang ada, penulis hanya dapat meringkas sampai pada titik ini. Semoga yang sedikit ini membawa keberkahan bagi kita semua. Wallahu A’lam bi ash Shawab.