Islam dan Demokrasi, Adakah Hubungannya?

Majalahnabawi.com – Demokrasi merupakan sebuah istilah yang sangat populer. Tidak ada pengertian lain dalam lingkup politik yang menjadi bahan perbincangan orang, aktivis, politisi, maupun mahasiswa, melebihi istilah demokrasi itu sendiri. Istilah ini juga membuat orang agar mempunyai kesadaran politik untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa demokrasi akan lebih banyak membawa kemaslahatan manusia ketimbang implikasi negatifnya.

Pengertian Demokrasi

Secara simpel, demokrasi mempunyai arti sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, lalu adakah hubungan antara demokrasi dan agama?

Jika berbincang mengenai Islam dan demokrasi tentu ini adalah dua unsur yang berbeda dan sangat aksiomatis, sebab Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur masalah ibadah, akhlak, dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja sama antar masyarakat atau pun organisasi serta memiliki simbol yang diyakini membawa nilai-nilai positif. Problematika atau masalah dalam hubungan demokrasi dengan Islam berakar hanya pada sebuah teologis antara rasa kehausan memahami doktrin yang telah mapan oleh sejarah dinasti-dinasti muslim dengan tuntutan untuk memberikan sebuah pemahaman baru pada doktrin tersebut, sebagai responsi atas timbulnya fenomena sosial yang kini kian berkembang.

Lantas, Adakah Hubungan Antara Agama dengan Demokrasi?

Jika berbincang mengenai hubungan antara agama dan demokrasi, dalam hal ini ada 3 sudut pandang yaitu:

1. Model paradoksal atau model negatif. Bahwa antara agama dan demokrasi tidak dapat bersatu bahkan berlawanan. Adapun tokoh penganut pandangan ini adalah Karl Marx, Max Weber, Nietzche, dan Satre. Paling tidak ada 3 argumen tentang tidak sejalannya antara agama dan demokratisasi. Pertama, argumen historis-sosiologis yang menjelaskan bahwa sejarah agama memberikan gambaran peran agama tidak jarang hanya para penguasa politik yang mempraktikannya dan pimpinan organisasi keagamaan untuk mendukung kepentingan kelompok mereka. Kedua, argumen filosofis yang menyatakan bahwa keterikatan pada doktrin agama akan menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Ketiga, argumen teologis yang menggeser bahwa agama bersifat deduktif, metafisis dan menjadikan rujukannya pada Tuhan, padahal Tuhan tidak hadir secara empiris, sementara demokrasi lahir dari adanya empiris. Maka dari itu, agama tidak mempunyai kompetensi menyelesaikan persoalan demokrasi.

2. Model netral. Bahwa hubungan agama dan demokrasi bersifat netral. Dalam artian, agama berjalan dengan adanya norma di dalamnya termasuk persoalan pribadi dengan tuhannya dan tidak masuk kedalam rotasi pemerintahan publik atau negara, begitu pun negara tidak mengurus agama.

3. Model teo demokrasi atau model positif menyatakan bahwa agama dan demokrasi memiliki kesesuaian atau kesamaan.

a. Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda. Kelompok yang berpendapat seperti ini disebut kelompok Islamis atau Islam ideologis, yang memandang bahwa Islam sebagai sistem alternatif demokrasi, sehingga demokrasi sebagaimana konsep Barat tidak tepat untuk menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Logika mereka pakai adalah pemerintahan demokrasi yang berasal dari Barat dan Barat bukanlah Islam melainkan kafir. Segala sesuatu yang kafir tentunya berdosa jika diikuti sehingga mengikuti demokrasi bagi seorang muslim adalah dosa.

Artinya, bahwa memang antara agama dan demokrasi adalah dua unsur yang berbeda. Sehingga jika agama memang datang dari Tuhan sedangkan demokrasi adalah hasil dari buah pikir makhluk. Namun terlepas dari itu, ada beberapa pendapat mengenai adanya kesamaan antara demokrasi dan agama, yaitu:

b. Islam membenarkan dan mendukung adanya demokrasi. Kelompok ini sering disebut dengan kelompok moderat atau liberal. Menurut kelompok ini Islam merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi seperti yang sekarang dipraktikan di negara-negara maju. Penerimaan ini disebabkan nilai-nilai demokrasi sesungguhnya juga terkandung dalam ajaran Islam seperti keadilan, persamaan, musyawarah, dan lain-lain.

Jika Demokrasi Sejalan dengan Islam

Jika demokrasi sebagai sebuah gagasan yang mendasarkan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia untuk menentukan hal-hal yang berkaitan dengan urusan publik, maka secara tidak langsung sejalan dengan Islam. Hal ini paling tidak akan timbul 2 hal.

Pertama, ajaran Islam tentang nilai-nilai kehidupan sebagai acuan, yaitu:

a. Al-Musawah atau persamaan derajat kemanusiaan di hadapan Allah Swt. Dalam konsep Islam, semua manusia sama dalam hal martabat dan kedudukannya. Allah berfirman dalam Surat al-Hujurat (49) ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

b. Al-Hurriyah, kemerdekaan atau kebebasan dalam pertanggungjawaban moral dan hukum, baik di dunia atau pun di akhirat. Prinsip ini berawal dari konsep yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang memandang bahwa manusia adalah makhluk terhormat dan mulia yang diberikan kemudahan oleh Allah Swt untuk mempunyai kebebasan memilih. Dalam Islam itu sendiri prinsip ini adalah ayat perjanjian ketika manusia mempercayai ke-rububiyyah-annya Allah Swt. Allah berfirman dalam Surat al-`A’raf (7) ayat 172:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ ١٧٢

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.”

c. Al-Ukhuwwah, persaudaraan sesama manusia yang tercipta dari bahan baku yang sama. Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah (2) ayat 213:

كَانَ النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ اِلَّا الَّذِيْنَ اُوْتُوْهُ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًا ۢ بَيْنَهُمْ ۚ فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِاِذْنِهٖ ۗ وَاللّٰهُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ٢١٣

Artinya: “Manusia itu (dahulunya) umat yang satu (dalam ketauhidan). (Setelah timbul perselisihan,) lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak ada yang berselisih tentangnya, kecuali orang-orang yang telah diberi (Kitab) setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka, dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.”

d. Al-`Adalah atau keadilan yang berintikan kepada pemenuhan hak-hak manusia sebagai individualis maupun sebagai warga masyarakat. Allah berfirman dalam Surat al-Ma’idah (5) ayat 8:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ٨

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

e. Al- Syura, atau musyawarah. Bahwa setiap manusia berhak berpartisipasi dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama. Dalam hal ini mengutamakan prinsip musyawarah sebagaimana Allah berfirman dalam Surat al-Syura (42) ayat 38:

وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ ٣٨

Artinya: “(Juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”

Kedua, ajaran Islam tentang hak-hak yang harus diusahakan pemenuhannya oleh diri sendiri maupun masyarakat atau negara, yang meliputi:

a. Hifdz al-nafsi, hak hidup

b. Hifdz al-din, hak beragama

c. Hifdz al-`aqli, hak untuk berpikir

d. Hifdz al-mal, hak milik individu

 e. Hifdz al-`irdh, hak mempertahankan nama baik

f. Hifdz al-nasl, hak untuk memiliki dan melindungi keturunan

Maka kesimpulannya bahwa memang jika kita berbincang mengenai agama dan demokrasi akan banyak sekali perbedaan dari berbagai sudut pandang dan pada intinya adalah bahwa antara demokrasi dan agama itu adalah dua unsur yang berbeda tetapi saling melengkapi.

Similar Posts