Majalahnabawi.comAda 4 kategori ulama dalam menentukan kualitas hadis, yakni Mutasyaddid, Muta’annut, Mutawassith, Mutasahil.

Apa yang terlintas di benakmu jika mendengar kata hadis sahih, daif, dan lain sebagainya? Dan bagaimana pula hadis itu dapat terklasifikasi?

Di zaman sekarang ini, yang sudah jauh dari peradaban Islam di masa awal salaf saleh dan ulama hadis terkemuka, banyak oknum entah dari kalangan pendai maupun masyarakat awam, apabila menyampaikan suatu hadis, tak jarang dari mereka yang tidak menyebutkan hukum daripada hadis tersebut. Hanya matannya saja. Sedikit di antara mereka yang menjelaskan suatu hadis termasuk sebagai hadis apa. Sahihkah?, hasan, atau bahkan daif.

Kini mayoritas dari sifat masyarakat muslim banyak yang tak ingin dipusingkan dengan seluk beluk keilmuan hadis yang merupakan sumber hukum Islam yang kedua. Padahal, tentu saja kita sebagai umat Islam, umat Nabi Muhammad ﷺ. Sangat penting untuk memahami dan mengamalkan hadis dengan baik sebagai pedoman hidup kita. Kebanyakan dari masyarakat itu hanya ingin instan dalam menerima suatu hadis yang dia dengar selama tidak merugikan kepentingan kelompok.

Standar Kesahihan Hadis

Umumnya kesahihan suatu hadis itu berdasarkan dengan standar syarat Sahih al-Bukhari dan Muslim. Dalam menentukan kualitas hadis, para ulama memiliki paradigma yang berbeda-beda dalam mensahihkan hadis yang diterimanya. Perlu ketelitian dan metode yang tepat dalam hal ini. Oleh karena itu, ada ulama yang mudah untuk mensahihkan hadis, ada juga yang sulit atau penuh dengan persyaratan dalam mengkategorikan suatu hadis tersebut.

Hadis yang menjadi objek penelitian ulama tentu membutuhkan proses yang panjang dan tidak bisa serta merta langsung diterima tanpa dilakukannya penelitian dalam kesahihannya. Berbeda halnya dengan al-Quran yang mutlak semuanya dapat atau bahkan wajib diterima, dan wajib diamalkan. Namun hadis tidak semuanya begitu. Ada hadis yang bisa dijadikan hujjah, ada pula hadis yang tidak bisa dijadikan dalil karena beberapa faktor, sehingga tidak termasuk dalam dalil hujjah untuk kaum muslimin. Akan tetapi, tidak menentu jikalau sanad yang sahih akan diiringi dengan matan yang sahih pula, atau sebaliknya. Karena terdapat ilmu Rijalul Hadis yang menjadi penunjang utama rantai sanad terdiri dari perawi yang tsiqah semuanya. Untuk mengetahui kondisi matan sahih tetapi sanadnya tidak sahih dapat dilihat pada keberadaan sebanyak 228 hadis mursal dalam kitab Muwattha’ Imam Malik (w. 179H).

Ada 4 kategori ulama dalam menentukan kualitas hadis, yakni sebagai berikut:

1. Mutasyaddid

Yakni ulama yang memiliki pertimbangan sangat ketat dalam metode jarh wa ta’dil. Para ulama mutasyaddid ini tentu tidak sembarangan dan sangat teliti dalam menyeleksi hadis dari berbagai sudut pandang di antaranya dari segi kualitas sanad, matan, dan perawi hadis. Jika tidak memenuhi kriteria hadis sahih, maka tidak termasuk dalil hujjah syar’iyyah.

Menurut al-Dzahabi, ulama yang termasuk mutasyaddid (ketat) adalah:

  1. Syu’bah ibn al-Hajjaj (82-160 H)
  2. Malik ibn Anas (93-179 H)
  3. Al-Syafi‘i (150-204 H)
  4. Sufyan ibn ‘Uyainah (107-198 H)
  5. Sufyan al-Tsauri (96- 161 H)
  6. Yahya ibn Ma‘in (158-233 H)
  7. Abu Hatim al-Razi> (240-327 H)

2. Muta’annut

Ulama muta’annut cenderung berlebihan dalam metode Jarh wa Ta’dil. Menurut mazhab ulama ini, jika suatu hadis tidak memenuhi kriteria hadis sahih, maka hadis tersebut tergolong hadis hasan. Ulama muta’annut ini berpegang pada tidak diterima jarh (celaan) tanpa penyebutan sebabnya, dan menerima ta’dil tanpa menyebut sebab penta’dilannya.

Ulama muta’annut di antaranya adalah:

  1. Ahmad ibn Hanbal (164-241 H)
  2. Imam al-Daruqutni (w. 911 H)
  3. Ibn ‘Adi

3. Mutawassith

Ulama yang moderat dalam menyeleksi kualitas perawi hadis. Aliran ini menyepakati bahwa kriteria hadis sahih memiliki unsur-unsur sebagaimana yang mayoritas ulama hadis sepakati.

Adapun ulama hadis mutawassith yaitu:

  1. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
  2. Imam Ad-Daruquthni (w. 365 H)
  3. Imam Abu Daud (w. 275 H)
  4. Ibn ‘Adi (w. 365 H)

4. Mutasahil

Mutasahil karena ulama hadis tersebut mudah mensahihkan suatu hadis. Tidak ketat (longgar) kriteria penyeleksiannya. Ketika terjadi pertentangan antara jarh wa ta’dil. Ulama mutasahhil ini bersepakat pada menerima tajrih dan ta’dil tanpa diterangkan sebab kecacatan atau pujiannya, asalkan ahli hadis lakukan pentajrihan dan penta’dilan tersebut.

Di antara ulama mutasahil ini ialah:

  1. al-Tirmidzi (w. 209-279 H)
  2. Al-Hakim (321-405 H)

Namun, di antara Imam Abu al-Hakim dan Ibnu Hibban di dalam kitab Tadrib al-Rawi fi Syarhi Taqrib al-Nawawi karya al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) tercantum bahwa Imam Abu al-Hakim lebih mutasahil daripada Imam Ibnu Hibban. Karena Ibnu Hibban lebih dalam ilmu hadisnya dibandingkan dengan Imam Abu al-Hakim.

Telah kita ketahui bahwa ulama hadis memiliki tipologi dan konsep yang berbeda-beda, sehingga berdampak signifikan terhadap berbedanya penggunaan hadis sebagai rujukan amaliah umat Islam hingga sekarang. Bahkan tidak jarang menimbulkan reaksi saling menyesatkan dan mengkafirkan satu sama lain.

Oleh karena itu, patutlah kita sebagai umat yang lurus dan pelajar yang baik hendaknya memilih guru yang jelas sanad keilmuannya, serta menyampaikan ilmu kepada muridnya secara jelas dan mendetail. Agar tidak terjadi salah faham dalam mengambil kesimpulan dari apa yang tersampaikan sehingga menyesatkan masyarakat yang ada. Na’udzubillahi min dzalik.