Majalahnabawi.com – Era modern ini memunculkan dinamika peradaban yang cukup menarik untuk dikaji oleh para sarjanawan Muslim pada umumnya. Salah satu isu yang cukup hangat menjadi perbincangan yaitu terkait hadis misoginis.

Kata misoginis sendiri bisa kita artikan sebagai kebencian terhadap perempuan, atau rasa benci terhadap kaum perempuan. Hadis misoginis berarti hadis-hadis yang mengandung kesan benci terhadap perempuan dan menyudutkan perempuan. Sebagaimana yang kita ketahui hadis menjadi sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran, baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat Nabi Saw.

Mungkinkan Rasulullah Membenci Perempuan?

Pertanyaannya sekarang, mungkinkah Nabi Saw sebagai seorang Nabi dan Rasul pembawa agama yang penuh cinta damai memiliki sifat misoginis? Ataukah memang pemahaman mereka saja yang keliru dalam memahami hadis Nabi Saw?

 Konsekuensinya, hadis yang berkesan membenci dan mendeskreditkan perempuan dituduh sebagai hadis misoginis serta menganggap hadis tersebut sebagai hadis dhaif (lemah) bahkan maudhu’ (palsu), yang padahal hadisnya sudah termuat dalam kitab Sahih al-Bukhari yang diakui keotentikannya sebagai kitab paling otentik kedua sesudah al-Quran. Bagaimanakah kelanjutannya? Mari kita bahas sambil ngopi-ngopi!

Rasulullah Saw sendiri, jika ada yang memahami sebagai sosok yang misoginis (membenci perempuan), ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi pada diri seorang Rasulallah Saw dan tidak ada satu hadis pun, kecuali benar-benar hadis maudhu’, yang menunjukan bahwa ada perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Saw yang menunjukan rasa kebencian terhadap perempuan.

Mengeliminasi Hadis Sahih karena Menganggap Membenci Perempuan

Yang mencengangkan adalah apa yang dipahami oleh Fatima Mernissi (tokoh Feminis Muslim pertama yang memuculkan isu hadis misoginis), dalam bukunya The Veil and Male Elite, ia beranggapan ada hadis misoginis dalam literatur Islam dan hadis tersebut harus dihilangkan dari literatur Islam, sekalipun hadis tersebut telah dipastikan bersumber dari Nabi Saw (shahih).

Ini berarti secara tidak langsung Mernissi mengeliminasi hadis-hadis yang ia anggap misoginis, meskipun hadis tersebut terdapat dalam sumber-sumber yang valid semisal shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Hadis Kepemimpinan Perempuan

Salah satu hadis yang dianggap misoginis yaitu terkait kepemimpinan perempuan. Hadis ini berbunyi:

عن أبي بكرة قال لقد نفعني الله بكلمة أيام الجمل لما بلغ النبي صلى الله عليه وسلم أن فارسا ملكوا ابنة كسرى قال لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة

“Dari Abu Bakrah mengatakan; ketika berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau tahu kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, beliau langsung bersabda: Tak akan baik keadaan sebuah kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin urusan mereka”. (HR. al-Bukhari).

Kalau kita pahami secara tekstual, memang betul hadis di atas terkesan misoginis sebagaimana pemahaman Mernissi bahwa di situ seakan-akan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Bagi Fatima Mernissi sendiri mempunyai kecurigaan yang mendalam terkait hadis di atas.

Oleh karena itu, dia pun mengajukan beberapa pertanyaan mengenai hadis tersebut, yaitu siapa perawi pertama dari hadis ini?, di mana, kapan, mengapa dan kepada siapa hadis ini diriwayatkan? Inilah pertanyaan-pertanyaan epistemologis yang Mernissi ajukan terkait hadis di atas.

Menelusuri Perawi Sahabat Abu Bakrah

Jika kita lihat jalur sanad hadisnya, maka Abu Bakrah adalah orang pertama yang meriwayatkan hadis ini dari Nabi Saw. Beberapa keterangan dari dan tentangnya sangat penting untuk dijadikan sumber informasi mengenai hadis ini. Abu Bakrah sendiri memberikan keterangan bahwa latar belakang Rasulallah Saw mengatakan hadis ini yaitu setelah mengetahui bahwa pasca wafatnya Kisra, putri Kisra lah yang memimpin bangsa Persia.

Berangkat dari keterangan ini, Mernissi kemudian melacak lebih lanjut tentang sejarah bangsa Persia, terutama yang berkaitan erat dengan informasi dari Abu Bakrah tadi.

Pada tahun 628 M, Kaisar Romawi, Heraklius menginvansi Persia dan menduduki Ctesiphon yang terletak sangat dekat dengan ibu kota Sassanid, dan ketika itu pula Khulasraw Pavis, raja Persia terbunuh. Setelah itu, Persia mengalami masa-masa kekacauan terlebih setelah putera Khusraw meninggal. Pada situasi ini banyak orang yang mengklaim hak atas tahta Sassanid, termasuk di antaranya dua wanita.

Bagian akhir dari catatan sejarah tersebut yang Mernissi duga berhubungan erat dengan keterangan Abu Bakrah di awal.

Tampaknya peristiwa perang unta yang ketika itu pasukan Ali berhasil mengalahkan pasukan Aisyah dan menyebabkan banyak orang Islam meninggal dunia mengingatkan Abu Bakrah pada hadis tentang kepemimpinan perempuan. Pada konteks inilah Abu Bakrah meriwayatkan kembali hadis tentang kepemimpinan perempuan yang pernah Rasulullah Saw sabdakan.

Menelisik Kredibilitas Abu Bakrah

Sementara untuk penilaian terhadap kredibilitas Abu Bakrah, Mernissi berbeda dengan para pengkaji hadis klasik. Status sahabat yang melekat pada diri Abu Bakrah tidak mengurungkan niat Mernissi untuk menyelidikinya. Mernissi pun kemudian menyatakan bahwa sejumlah ahli hadis dari awal telah curiga terhadap garis keturunan ayah Abu Bakrah, karena tidak terlalu meyakinkan (tidak jelas).

Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menghukum Abu Bakrah karena pernah memberikan kesaksian palsu dalam had qadzaf. Untuk faktor yang kedua, Mernissi mengembalikan kasus ini pada aturan-aturan yang telah dibangun oleh fuqaha, tepatnya Imam Malik tentang keabsahan seorang perawi hadis.

Di situ tercantum bahwa Imam Malik menolak perawi hadis yang pernah berbohong, dalam hal yang paling sederhana sekalipun, yaitu berbohong pada sesamanya dalam kehidupan sehari-hari meskipun itu tidak terkait dengan ilmu keagamaan. Berdasarkan aturan ini, maka Mernissi mengambil kesimpulan bahwa Abu Bakrah merupakan perawi yang tertolak dan hadisnya pun tidak dapat diterima.

Padahal menurut ahli hadis sendiri, hadis riwayat Abu Bakrah ini termasuk hadis yang shahih, baik jalur sanad maupun matannya. Pada umumnya ulama ahli hadis seperti Abu Hazm dan Muhammad al-Ghazali, setelah melalui penelitian takhrij, mereka sepakat terhadap kesahihan hadis tentang kepemimpinan perempuan riwayat Abu Bakrah ini, baik jalur sanad maupun matannya, demikian juga dalam kitab Fath al-Bari banyak menyebutkan tentang hadis tersebut.

Menelisik Kebenaran

Sebagian kritikus hadis, mengkritisi pemahaman Mernissi terkait rawi Abu Bakrah. Mereka menjelaskan; memang betul faktanya bahwa Abu Bakrah ini pernah dihukum cambuk oleh Umar bin Khattab terkait kasusnya yang dituduh memberikan kesaksian palsu dalam had qadzaf.

Sebenarnya Abu Bakrah bukan memberikan kesaksian palsu, melainkan dia kekurangan saksi  saja dalam had qadzaf. Sebagaimana yang kita ketahui, saksi yang dibutuhkan dalam kasus melihat orang lain berzina adalah empat orang saksi. Sementara Abu Bakrah kekurangan saksi, sehingga dia menerima konsekuensinya yaitu dihukum cambuk oleh khalifah Umar. Dengan demikian tuduhannya Mernissi tertolak dengan adanya kebenaran ini.

Kritik Matan

Feminis Muslim Indonesia, dalam memahami hadis ini mengemukakan pernyataan yang berbeda-beda. Husein Muhammad menyatakan bahwa hadis ini diungkapkan dalam bentuk kerangka pemberitahuan atau informasi, bukan dalam bentuk legitimasi hukum. Maka hadis ini tidak bisa dipahami apa adanya, akan tetapi harus dipahami dari esensinya dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus, karena hadis ini bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia.

Karena kenyataannya waktu itu bangsa Persia berada diambang kehancuran dan ketika dipimpin oleh perempuan yang ia tidak punya kapabilitas dan power dalam kepemimpinan, akhirnya kerajaan Persia benar-benar hancur.

Adapun untuk konteksnya saat ini, ya tidaklah masalah perempuan menjadi pemimpin, selama dia punya kapabilitas, skill, power dan berbagai elemen yang mendukung untuk dia menjadi pemimpin. Berarti pemahaman yang benar akan hadis tersebut yaitu harus dipahami secara kontekstual bukan secara tekstual.

By Taufik Hidayat

Mahasantri Darus-Sunnah angkatan Auliya 21