Dalam memahami suatu teks, tak cukup dengan cara tekstual dan melihat secara leterlek saja, diperlukan berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk memahaminya, karena ada berbagai sebab dan latar belakang dari munculnya suatu teks, salah satu ilmu yang diperlukan adalah ilmu geografi.

Geografi adalah ilmu tentang permukaan bumi, iklim, penduduk, flora, fauna, serta hasil yang diperoleh dari bumi. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa geografi bukanlah termasuk sumber dalil dalam menetapkan suatu hukum Islam.

Namun demikian, ilmu ini dapat membantu seorang muslim (khususnya ulama) dalam memahami hadis nabawi.

Seseorang yang tidak paham geografi terkadang salah paham terhadap pengamalan hadis. Maka tidak dapat dipungkiri lagi, geografi termasuk salah satu ilmu yang dibutuhkan untuk memahami hadis nabawi.

Ada paham yang tersebar di kalangan masyarakat muslim, bahwa ketika hujan terus-menerus turun, hendaknya berdoa dengan: اللهم حوالينا ولا علينا “Ya Allah, turunkanlah (hujan) di sekitar kami saja dan jangan membahyakan kami.”

Doa ini dikutip dari hadis riwayat Imam Bukhari dari jalur Anas Ibn Malik radhiallahu ‘anhu:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَحَطَ الْمَطَرُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يَسْقِيَنَا فَدَعَا فَمُطِرْنَا فَمَا كِدْنَا أَنْ نَصِلَ إِلَى مَنَازِلِنَا فَمَا زِلْنَا نُمْطَرُ إِلَى الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ قَالَ فَقَامَ ذَلِكَ الرَّجُلُ أَوْ غَيْرُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَصْرِفَهُ عَنَّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا قَالَ فَلَقَدْ رَأَيْتُ السَّحَابَ يَتَقَطَّعُ يَمِينًا وَشِمَالًا يُمْطَرُونَ وَلَا يُمْطَرُ أَهْلُ الْمَدِينَةِ

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Ketika Rasulullah Saw sedang berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi beliau seraya berkata, “Wahai Rasulullah, hujan sudah lama tidak turun, berdo’alah kepada Allah agar menurunkan hujan buat kita.”

Maka Rasul pun berdoa hingga hujan pun turun, dan hampir-hampir kami tidak bisa pulang ke rumah kami. Dan hujan terus turun hingga hari Jum’at berikutnya.

Anas bin Malik berkata, “Laki-laki itu atau lelaki lain berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar hujan segera dialihkan dari kami.”

Maka Rasulullah Saw. berdoa: “Ya Allah turunkanlah hujan di sekitar kami saja dan jangan membahyakan kami.” Anas bin Malik berkata, “Sungguh aku melihat awan berpencar ke kanan dan kiri, lalu hujan turun namun tidak menghujani penduduk Madinah.”

Bagi orang yang tidak mengetahui aspek geografis ketika hadis ini diucapkan oleh Rasulullah Saw., terkadang akan keliru  dalam memahami dan mengamalkan hadis ini.

Karena bila doa yang sama diatas diucapkan secara tekstual untuk daerah lain, Jakarta misalanya, maka Jakarta akan diterpa hujan lebat bahkan banjir. Hal itu karena daerah di sekitar Jakarta seperti Bogor dan lainnya merupakan daerah yang terletak di dataran tinggi. Maka ketika hujan lebat turun, penduduk Jakarta akan berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan, karena akan terkena banjir.

Berbeda halnya dengan Madinah Al-Munawwarah, tempat hadis ini diucapkan Rasulullah Saw. Daerah di sekitarnya adalah padang pasir yang bila di sana turun hujan, hujan tersebut tidak akan memberi madarat terhadap penduduk Madinah, maka penduduk Madinah akan tetap aman.

Berdasarkan hal ini, doa “Allahumma hawaalainaa walaa ‘alainaa” tidak cocok untuk diamalkan di Jakarta secara tekstual, tetapi berdasarkan konteks hadis tersebut. Misalnya “Allahumma ‘ala al-bahr, laa ‘alainaa walaa hawaalainaa” (Ya Allah, turunkanlah hujan di laut, jangan di wilayah kamu, juga jangan di wilayah sekitar kami).

Doa ini tidak bertentangan dengan teks hadis. Sebab inti atau tujuan dari doa dalam hadis tersebut adalah menghindarkan bahaya dari penduduk Madinah sebab hujan yang turun menimpa mereka. Dan meilhat letak geografis Jakarta, tujuan ini dapat tercapai bila berdoa dengan makna doa di atas.

Wallahu A’lam

Sumber: Al-Thuruq Al-Shahihah fi Fahmi Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, karya Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub