Jong Islamieten Bond (JIB) yang dipimpin oleh R. Sjamsoeridjal lahir pada 5 Jumadil Akhir 1343 H atau 1 Januari 1952 M. R. Sjamsoeridjal merupakan ketua Trikoro Dharmo atau Jong Java. Dirinya memilih keluar dari organisasi tersebut karena Jong Java telah melarang adanya diskusi tentang Islam. Jong Java adalah anggota Boedi Oetomo yang fokus dalam menegakkan Jawa Raya atau Djawanisme. Menurut Hadji Agus Salim, Jong Java hanya menjauhkan pemuda dari Islam dan politik.

Jong Islamieten Bond mengadakan kongres pertama di Jogjakarta pada Desember 1925 M lalu disusul dengan kongres kedua pada Desember 1926 M di Surakarta. JIB di Bandung dan Jakarta membangun Jong Islamieten Bond Dames Afedeeling (JIBDA) yang dipimpin oleh Nj. Soenarjo Mangoenpoespito.

Baik JIB ataupun JIBDA, keduanya membangkitkan perjuangan menegakkan nasionalisme Indonesia, melepaskan diri dari penindasan Barat dan berjuang menjadi tuan rumah di negeri sendiri. JIB dan JIBDA mendorong lahirnya Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) pada 1926 M. Di bandung, berdiri pula Jong Indonesia (Pemoeda Indonesia) pada 1927 M.

Jong Indonesia adalah kelanjutan dari Perserikatan Nasional Indonesia yang didirikan pada 4 Juli 1927 M. Jong Indonesia berbeda dengan PPPI yang mana Jong Indonesia beranggotakan pemuda yang pernah belajar di luar negeri sedangkan PPPI beranggotakan pelajar yang bersekolah di dalam negeri.

PPPI dan Jong Indonesia banyak berperan dalam Kongres Pemoeda II. Penyelenggaraan Kongres Pemoeda I dan Kongres Pemoeda II didahulu dengan Kongres JIB I. Saat itu JIB sudah memikiki 1000 anggota di 7 cabang.

Kongres Boedi Oetomo yang diadakan pada 6-7 April 1928 M menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Hasil keputusan kongres tersebut akhirnya dijawab dengan diselenggarakannya Kongres Pemoeda II pada 28 Oktober 1928 M di Kramat Raya 106 Jakarta yang dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito dari PPPI dan dihadiri sekitar 750 orang.

Pada hari pertama kongres, 27 Oktober 1928 M, S. M. Kartosoewiryo yang merupakan Penguru Besar Partai Sjarikat Islam menyatakan bahwa bahasa asing berfungsi sebagai bahasa pergaulan internasional dan Bahasa Indonesia harus menjadi bahasa penghubung persatuan pemuda. Ia juga menyampaikan bahwa pergerakan nasional harus diserahkan kepada perkumpulan yang berdasarkan nasionalisme.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah digunakan dalam dakwah agama Islam dan telah dituliskan dalam naskah lama dengan huruf Arab Melayu pada awal masuknya adama Islam ke Nusantara. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa ilmu di kalangan pesantren dan menjadi bahasa diplomatik di kalangam raja atau sultan. Ulama dan wirausahawan berperan penting dalam menghadirkan bahasa Melayu pada awal masuknya Islam di Nusantara.

Pada hari kedua Kongres Pemoeda II, 28 Oktober 1928 M, lahirlah keputusan yang dinamakan Soempah Pemoeda:

  • Pertama: Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
  • Kedoea: Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe Berbangsa Satoe, Bangsa Indonesia.
  • Ketiga: Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Kongres Pemoeda II juga menciptakan kongres untuk menerima dua peranti kemerdekaan yakni Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia dan Sang Saka Merah Putih sebagai bendera nasional Indonesia.