hadis

Majalahnabawi.com – Dalam memahami pesan dari hadis terdapat suatu disiplin yang disebut sebagai ilmu matan hadis. Ilmu matan hadis terdiri dari empat cabang ilmu yaitu studi aspek kontradiksi hadis-hadis Nabi, kajian redaksi asing, studi konteks sabda Nabi dan nāsikh wa mansūkh. Sebagian besar ilmu matan hadis menggunakan paradigma positivis dengan berfokus pada teks kecuali studi konteks sabda Nabi atau dengan nama lain, sebab datangnya suatu hadis yang memiliki paradigma konstruktivis.

Positivis-Empiris

Beberapa contoh dari pemahaman hadis lewat paradigma positivis-empiris adalah sebagai berikut:

عن ابن عباس قال توضأ النبي صلى الله عليه وسلم مرة مرة

“Dari Ibn `Abbas berkata bahwasanya Rasulullah saw. berwudu dengan masing-masing satu kali.”

عن حمران مولى عثمان بن عفان أن النبي توضأ ثالثا ثالث

“Dari Humran Mawla ‘Uthmān bin ‘Affān bahwa Nabi saw. berwudu masing-masing tiga kali.”

عن عمرو بن يحيى المازني عن أبيه أنه سمع رجلا يسأل عبد الله بن زيد هل تستطيع أن تريني كيف كان رسول الله يتوضأ فدعا بماء ثم ذكر أنه غسل وجهه ثالثا ويديه مرتين مرتين ومسح رأسه وغسل رجليه

Dari ‘Amr bin Yahya al-Māzini dari ayahnya bahwa dia mendengar seorang laki-laki bertanya kepada ‘Abdullah bin Zayd apakah Anda bisa memperlihatkan kepadaku cara Rasulullah saw. berwudu? Kemudian ‘Abdullah minta dibawakan air wudu, lalu dia menyebutkan bahwa Nabi saw. membasuh wajahnya tiga kali, kedua tangannya masing-masing dua kali dan mengusap kepala dan membasuh kedua kakinya (masing-masing satu kali).

Ketiga hadis di atas menunjukkan bilangan yang berbeda-beda dalam ritual berwudu. Al-Syāfi‘ī menempatkan pemahaman ketiga hadis tersebut dalam konteks kebolehan. Seseorang boleh membasuh sekali, dua kali atau tiga kali. Sekali basuh merupakan bilangan minimal dan tiga kali merupakan bilangan maksimal. Paradigma yang digunakan dalam memahami kontradiksi dalam hadis ini adalah paradigma positivis yang berfokus kepada teks hadis.

Kontruktivis

Penggunaan paradigma konstruktivis dalam memahami hadis bisa terlihat dari diferensiatif peran Nabi melalui maqāṣid al-syāriʻat yang Ibnu ʻAsyūr contohkan dalam mengkategorikan peran nabi ke dalam tiga kecenderungan yaitu teologis (tasyrīʻ dan fatwā), sosiologis (imārah, qaḍā’, hadyu, ṣulḥ) dan etis (muṣālaḥah, isyārah, naṣīḥah, takmīl. taʻlīm, taʻdīb, tajarrud). Contoh dari pemahaman hadis berdasarkan paradigma ini yaitu bisa terlihati dalam hadis berikut,

حَدَّثَنَا ‌الْحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ: حَدَّثَنَا ‌أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنِ ‌الْأَشْعَثِ، عَنْ ‌مُعَاوِيَةَ بْنِ سُوَيْدٍ قَالَ ‌الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: «أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ: ‌أَمَرَنَا ‌بِعِيَادَةِ ‌الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَنَهَانَا عَنْ خَوَاتِيمِ الذَّهَبِ، وَعَنْ آنِيَةِ الْفِضَّةِ، وَعَنِ الْمَيَاثِرِ، وَالْقَسِّيَّةِ، وَالْاسْتَبْرَقِ، وَالدِّيبَاجِ.

Dari Mu’awiyah bin Suwaid bahwa al-Bara’ bin ‘Azib raḍiyallāhu ‘anhuma berkata, “Nabi saw. telah memerintahkan kami tujuh perkara dan juga melarang kami dari tujuh perkara. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, menjawab orang yang bersin, menunaikan sumpah, menolong orang yang terzalimi, menebarkan salam dan memenuhi undangan. Kemudian beliau melarang kami untuk mengenakan cincin emas, memakai bejana perak, mencabut uban, mengenakan al-Qassiyyah (pakaian yang bercampur dengan bahan sutera), al-Istibraq (kain yang terlapisi dengan bahan sutera) dan al-Dibaj (sejenis pakain dari kain sutera). (HR al-Bukhārī)

Al-Barra’ bin ‘Azib mengatakan bahwa Nabi saw. memerintahkan “kami”. Kata “kami” dalam narasi hadis di atas berarti para sahabat. Dari sini, Ibn ‘Āshūr memahami bahwa perintah itu hanya untuk para sahabat. Bukan untuk seluruh umat sebagaimana dipahami selama ini menggunakan pendekatan yang tidak memilah-milah posisi Nabi saw.

Analisis Wacana Kritis

Paradigma ketiga sebenarnya tidak jauh berbeda dengan paradigma kedua, yakni dengan menganalisa wacana secara kritis yang meliputi tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Contoh dari analisis wacana kritis bisa terlihat pada hadis yang mempunyai sebab khusus yang muncul dengan mempunyai karakter sebab yang spesifik dan bersifat universal. Contoh salah satu hadisnya yaitu tentang urusan dunia. Hadis tersebut berbunyi:

حَدَّثَنَا ‌أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ‌وَعَمْرٌو النَّاقِدُ كِلَاهُمَا عَنِ ‌الْأَسْوَدِ بْنِ عَامِرٍ ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ، حَدَّثَنَا ‌أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ ، حَدَّثَنَا ‌حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ ، عَنْ ‌هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ ‌أَبِيهِ ، عَنْ ‌عَائِشَةَ وَعَنْ ‌ثَابِتٍ ، عَنْ ‌أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ، فَقَالَ: لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلَحَ. قَالَ: فَخَرَجَ شِيصًا، فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ: مَا لِنَخْلِكُمْ؟ قَالُوا: قُلْتَ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: أَنْتُمْ ‌أَعْلَمُ ‌بِأَمْرِ ‌دُنْيَاكُمْ

“Dari Anas ra. menyebutkan bahwa Nabi saw. pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Beliau lalu bersabda, “Andai kalian tidak melakukan penyerbukan niscaya kurma itu menjadi baik.” Anas berkata: Pohon kurma itu ternyata menghasilkan kurma yang jelek. Lalu Nabi saw. suatu saat melewati lagi mereka dan bertanya, “Apa yang terjadi pada kurma kalian?” Mereka berkata, “Anda pernah berkata demikian dan demikian.” Beliau pun bersabda, “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” (HR. Muslim dari Anas).

Jika memahami secara tekstual, maka pemahaman yang terjadi adalah ketidaktahuan Nabi tentang urusan dunia. Dalam hal ini, nabi menyerahkan hal tersebut kepada umat Islam. Pendapat lain mengatakan hadis tersebut menunjukkan bahwa dikotomi terjadi dalam kehidupan Islam yaitu urusan dunia dan urusan akhirat. Pemahaman tersebut akan bermuara kepada keharusan sikap hidup yang sekuler.

Hadis tersebut sebenarnya tidak mengatakan bahwa Nabi benar-benar buta terhadap urusan dunia. Lebih tepatnya, dunia dalam hadis tersebut merupakan profesi atau bidang keahlian. Maksudnya adalah Nabi tidak memiliki keahlian sebagai petani sebagaimana yang tertera dalam sebab datangnya hadis. Maka dari itu, petani lebih memahami tentang dunia pertanian dari pada Nabi.

By Trisna Yudistira

Mahasantri Darus-Sunnah 2020 dan Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir 2021