hadis

www.majalahnabawi.comKerajaan Majapahit di Jawa runtuh pada tahun 1400 M, (Sirna Ilang Kertaning Bumi). Pada seputar waktu itu disebut-sebut agama Islam masuk ke Tanah Jawa. Ini berarti, agama Islam sudah masuk ke Tanah Jawa pada abad ke 14 M. Islam yang masuk di Jawa tentulah membawa al-Qur’an, Hadis, dan Ilmu Hadis. Namun tidak ada catatan sejarah, siapa putera Jawa yang dapat disebut Ahli Hadis pada masa itu.

Kajian Hadis di Indonesia tampaknya tidak dapat dilepaskan dari peran Syekh Muhammad Mahfudh al-Tirmasi. Beliau yang di Indonesia akrab disapa dengan Kiai Mahfudh, adalah putra Indonesia yang disebut-sebut sebagai ulama Hadis bertaraf internasional. Sebutan ini tampaknya disebabkan oleh karya beliau yang mensyarahi kitab Mandhumat ‘Ilm al-Atsar karya Imam al-Suyuthi (w. 911 H) yang kondang disebut dengan Alfiyah al-Suyuthi, dalam kitabnya yang benama Manhaju Dzawi al-Nadhr. Kata al-Tirmasi (ada yang menyebut al-Turmusi) dinisbahkan kepada nama desa Termas di Kabupaten (Distrik) Pacitan Provinsi Jawa Timur. Di desa ini pula lahir Presiden Republik Indonesia sekarang, Bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam literatur ilmu Hadis tampaknya kita belum dapat menemukan seorang putra Indonesia yang memiliki reputasi ilmiah setaraf dengan Kiai Mahfudh, apalagi yang melebihi beliau. Syekh Abu al-Faidh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, yang akrab dipanggil Syekh Yasin Padang, juga disebut-sebut sebagai Ahli Hadis asal Padang Sumatera Barat. Beliau mensyarahi kitab Sunan Abi Dawud, dan sampai sekarang masih berupa manuskrip, belum dicetak. Namun tampaknya beliau tidak sekondang Kiai Mahfudh. Kiai Mahfudh yang bermukim di Makkah dan selesai menulis kitab Manhaju Dzawi al-Nadhr pada tanggal 14 Rabiul Akhir 1329 H adalah guru besar dari ulama-ulama hadis di Indonesia. Salah satu dari ulama hadis yang pernah berguru kepada Kiai Mahfudh adalah Hadratussyekh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren (Ma’had Islam) di Tebuireng, Jombang Jawa Timur pada tahun 1899 M dan pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M.

Institusi Bukan Formal

Metode pengajaran yang dilakukan oleh Kiai Mahfudh adalah melalui metode Halaqat (pengajian). Metode Halaqat terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

  1. Metode al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh, di mana murid membaca kitab di hadapan guru (Syekh) kemudian guru menerangkan arti kalimat-kalimat yang dibaca itu. Di lembaga pendidikan Islam tidak formal, yaitu yang lazim disebut pesantren di Indonesia, metode ini dikenal dengan sebutan sorogan.
  2. Metode al-Sama‘, yaitu guru membacakan kitab hadis kepada murid-muridnya, sedangkan murid-murid mendengarkannya. Di pesantren-pesantren di Indonesia, metode ini dikenal dengan sebutan bandongan.

Setelah Hadratussyeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pulang ke Indonesia, beliau mendirikan pesantren di Tebuireng seperti disebutkan di atas tadi dan mengajarkan Hadis dan ilmu Hadis kepada murid-muridnya. Di antara murid-murid Hadratussyeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah KH. Idris Kamali yang juga kemudian menjadi menantu beliau, KH. Muhammad Syansuri Badawi, dan KH. Shobari. Setelah Hadratussyeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 M, ketiga murid beliau itu melanjutkan pengajaran Hadis dan ilmu Hadis di Pesantren Tebuireng.

KH. Idris Kamali rahimahullah mengajarkan kitab-kitab Hadis dan ilmu Hadis antara lain Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Syarh al-Mandhumah al-Baiquniyah. Metode yang ditempuh oleh KH. Idris Kamali adalah metode sorogan, yaitu murid membaca kitab di hadapan guru. KH. Muhammad Syansuri Badawi rahimahullah juga mengajarkan kitab-kitab Hadis kepada muridnya, yaitu Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dengan metode al-Sama‘ atau bandongan, yaitu guru membacakan dan menerangkan kitab-kitab Hadis kepada murid-muridnya. Sedangkan KH. Shobari rahimahullah mengajarkan Hadis dan ilmu Hadis dengan kitab al-Tajrid al-Sharih, yaitu ringkasan kitab Shahih al-Bukhari dan kitab Manhaju Dzawi al- Nadhr karya Kiai Mahfudh yang disebutkan tadi dengan metode bandongan.

Apabila KH. Idris Kamali dan KH. Muhammad Syansuri Badawi mengajarkan Hadis dan ilmu Hadis kepada para santrinya dengan halaqat tidak formal, yaitu pengajian tidak klasikal, maka KH. Shobari mengajarkan Hadis dan ilmu Hadis dengan metode formal klasikal di Madrasah Aliyah (MA) Pesantren Tebuireng. Di antara murid-murid atau santri-santri ketiga ulama Hadis di atas adalah kami sendiri (Ali Mustafa Yaqub), yang belajar di Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, antara tahun 1969-1976 M.

Pesantren pada saat itu (sebelum era 1970-an) merupakan lembaga pendidikan Islam yang sangat berpengaruh di Indonesia dan merupakan pendidikan Islam bukan formal. Pesantren yang terambil dari kata santri adalah berarti tempat para santri atau tempat mendidik orang menjadi santri. Terdapat berbagai pendapat tentang makna santri, di antaranya adalah pendapat yang mengatakan santri adalah kata yang terdiri dari san dan tri. San terambil dari kata insan dan tri berarti tiga, dan yang dimaksud dengan tiga adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Maka dari sudut kebahasaan, pesantren adalah lembaga pendidikan yang membina manusia untuk menjadi orang-orang yang memiliki Iman, Islam, dan Ihsan.

Tidak Ada Di Negeri Arab

Di Indonesia, tidak semua perguruan Islam dapat disebut pesantren. Sebuah perguruan Islam dapat disebut pesantren, apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat berikut:

  1. Ada guru yang ahli dalam bidang agama Islam dan siap mengajarkan ilmunya setiap saat
  2. Ada murid atau santri yang bermukim dan selalu berinteraksi dengan guru, baik dalam menerima pelajaran ataupun mencontoh perilaku guru
  3. Ada masjid yang dipakai oleh guru dan santri untuk kegiatan pembelajaran dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam
  4. Pelajaran yang diajarkan di pesantren adalah pelajaran agama islam.

Lembaga pendidikan Islam seperti ini, tampaknya menjadi ciri khas pendidikan di Indonesia dan mungkin juga di negeri-negeri Melayu. Di negara-negara Arab, seperti Saudi Arabia, Mesir, Syiria, dan lain-lain, kami tidak menemukan lembaga pendidikan Islam yang sama dengan pesantren.

Periwayatan Hadis

Di lembaga-lembaga pendidikan pesantren di Indonesia, pengajaran Hadis didominasi oleh pengajaran atau periwayatan Hadis dengan metode sorogan dan bandongan seperti disebut di atas, sementara pengajaran ilmu Hadis tampaknya tidak begitu dominan. Di pesantren Tebuireng seperti tersebut di atas, kitab tertinggi yang dipakai untuk pengajaran ilmu Hadis adalah kitab Manhaju Dzawi al-Nadhr karya Kiai Mahfudh. Sementara kitab ini hanya banyak membahas tentang Mustalah al-Hadis seperti pengertian Hadis sahih, hasan, daif, metode penyebaran Hadis (Tahamul al-‘Ilm), dan sebagainya. Kitab ini sama sekali tidak membahas tentang metode takhrij Hadis, juga metode memahami Hadis, kecuali sedikit saja yaitu yang berkaitan dengan al-Nasikh wa al-Mansukh, Ikhtilaf al-Hadis dan Gharib Alfadh al-Hadis. Padahal seorang ulama (utamanya ahli Hadis), perlu mengetahui Mustalah al-Hadis, metode takhrij Hadis, dan metode memahami Hadis.

Orang yang hanya mengetahui matan Hadis saja tanpa mengetahui metode takhrij Hadis dan metode memahami Hadis, ia dapat menyampaikan dan menjelaskan maksud sebuah Hadis, tetapi ia tidak mengetahui apakah Hadis yang ia sampaikan dan terangkan itu adalah Hadis sahih, hasan, daif, atau mungkin maudlu’ (palsu). la terkadang juga terjebak pada pemahaman Hadis yang kaku, bahkan ekstrim, karena ia hanya memahami Hadis dari satu riwayat saja. Karenanya dapat dimaklumi di pesantren-pesantren di Indonesia, di samping diajarkan kitab-kitab yang berisi Hadis-hadis sahih seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, namun juga diajarkan kitab-kitab kuning yang berisi Hadis-hadis lemah sekali dan palsu. Sementara para ustadz yang mengajarkan kitab-kitab itu sama sekali tidak mengetahui bahwa Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut adalah Hadis-hadis yang lemah sekali bahkan Hadis-hadis palsu. Pada gilirannya ketika para santri pulang ke kampung halamannya atau berdakwah di tempat lain, mereka mengajarkan Hadis-hadis yang dipelajari di pesantren itu. Dari sinilah Hadis-hadis yang lemah sekali dan palsu itu menyebar di kalangan masyarakat muslim Indonesia.

Pesantren memang memiliki keunggulan dalam bidang pendidikan Islam, bahkan tampaknya di Indonesia tidak ada lembaga pendidikan Islam yang lebih baik dari pesantren. Karena para santri yang bermukim di pesantren dapat setiap hari meniru dan mencontoh perilaku para Kiai yang mengasuh mereka. Namun demikian pesantren memiliki kelemahan karena tidak memiliki lembaga penelitian ilmiah, sehingga para santri tidak memiliki kemampuan untuk meneliti dan mengkritisi apa yang mereka terima di pesantren. Di dunia pesantren ada kecenderungan bahwa apa yang terdapat di dalam kitab-kitab kuning itu adalah benar sehingga tidak perlu diteliti, dikritisi, dan sebagainya.

Metode Takhrij Hadis

Pada era tahun 1950-an, di Indonesia didirikan Pendidikan Islam Tinggi (الجامعة الإسلامية). Misalnya di Jakarta didirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah pada tahun 1957 M. Institut ini pada tahun 2002 berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (جامعة الشريف هداية الله الإسلامية الحكومية). Universitas Islam Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan lembaga pendidikan Islam formal dan memiliki lembaga penelitian ilmiah.

Selepas kami kembali ke tanah air pada tahun 1985 sesudah belajar di Riyadh Saudi Arabia, kami mengajar ilmu takhrij Hadis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (pada waktu itu masih IAIN). Kitab yang digunakan untuk pengajaran metode takhrij Hadis adalah kitab Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid karya Prof. Dr. Mahmud al-Tahhan. Kami juga mengajar metode takhrij Hadis dan metode memahami Hadis di Institut Ilmu al- Qur’an (IIQ) Jakarta pada peringkat Sarjana (Bachelor) dan peringkat Pascasarjana (Dirasat ‘Ulya). Sebagaimana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IIQ Jakarta juga merupakan lembaga pendidikan formal yang memiliki lembaga penelitian. Di Indonesia, UIN dan IAIN banyak terdapat di setiap daerah di Indonesia, demikian pula Perguruan Tinggi Islam Swasta seperti IIQ tadi juga banyak tersebar di pelosok negeri Indonesia.

Dengan pengajaran metode takhrij dan sekaligus studi sanad (dirasat al-asanid), diharapkan setiap lulusan dari perguruan tinggi Islam yang formal itu mampu mengkritisi hadis-hadis yang beredar di masyarakat. Ia diharapkan mampu mengetahui di mana terdapat sebuah hadis dan mampu memberikan penilaian tentang hadis tersebut, apakah hadis tersebut sahih, hasan, daif, atau maudhu’ (palsu).

Namun harapan ini tidak sepenuhnya tercapai. Penyebabnya adalah satu dari dua hal. Pertama, sebagian dari lulusan pendidikan tinggi Islam formal di atas tidak memiliki latar belakang (background) studi Islam yang kuat, misalnya ia tidak pernah belajar di pesantren atau tidak pernah belajar di Madrasah Aliyah (MA). la hanya pernah belajar di sekolah- sekolah umum. Kedua, institusi-institusi formal seperti tersebut di atas, umumnya tidak memperkenalkan langsung para mahasiswanya kepada kitab-kitab hadis, karena dalam Institusi- institusi tersebut tidak ada pembelajaran hadis dengan menggunakan kitab-kitab hadis baik melalui metode sorogan maupun bandongan. Inilah salah satu kelemahan pengkajian Hadis di Institusi-institusi formal di Indonesia.

Sejak awal tahun 1970-an, pesantren-pesantren di Indonesia juga banyak mendirikan institusi pendidikan Islam yang formal sejenis IAIN. Misalnya di Pesantren Tebuireng yang tersebut di atas, pada tahun 1970 mendirikan Universitas Islam Hasyim Asy’ari. Dengan demikian, lulusan institusi formal yang didirikan oleh pesantren dapat menjadi sarjana Islam yang mengetahui ilmu Hadis secara komprehensif. la dapat meriwayatkan kitab-kitab hadis yang muktabar, dapat mentakhrij hadis dan sekaligus mampu memberi penilaian tentang sebuah hadis. Namun kenyataannya harapan ini juga tidak sepenuhnya tercapai. Penyebabnya adalah:

  1. Lembaga pendidikan Islam tinggi yang formal dan didirikan oleh pesantren itu juga dimasuki oleh pelajar-pelajar yang tidak memiliki latar belakang pendidikan Islam yang kuat
  2. Perguruan Tinggi Islam yang didirikan oleh Pesantren-pesantren, kurikulumnya banyak mengikuti IAIN
  3. Banyak dipengaruhi oleh karakter Pesantren, yang tidak memiliki lembaga penelitian.

Pesantren Darus-Sunnah

Berangkat dari situasi kajian hadis di Indonesia yang seperti itu, di mana hasilnya sulit ditemukan seorang yang dapat disebut sebagai muhaddis, maka pada tahun 1997 di kampung Pisangan-Barat Ciputat Jakarta Selatan didirikan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah (معهد دارالسنة العالي لعلوم الحديث). Pesantren ini menggabungkan antara metode pendidikan formal dan pendidikan tidak formal dalam pengkajian hadis. Kitab-kitab yang diajarkan adalah kitab-kitab hadis yang enam (الكتب الستة), kitab-kitab ilmu hadis yang meliputi mustalah hadis, takhrij hadis, dan metode memahami hadis antara lain kitab Tadrib al-Rawi karya Imam al-Suyuthi, Taysir Mustalah al-Hadis dan Ushul al-Takhrij wa Dirasat al- Asanid karya Prof. Dr. Mahmud al-Tahhan, Ta’wil Mukhtalif al-Hadis karya Imam Ibnu Qutaibah, dan lain-lain. Di samping materi hadis dan ilmu hadis, di pesantren ini juga diajarkan Dirasat Islamiyah dan Lughah ‘Arabiyah. Sementara para santri diwajibkan menghafal al-Qur’an satu juz untuk setiap semester.

Sistem pengajaran yang diterapkan dalam Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah yang menggunakan kata pengantar bahasa Arab ini adalah sistem sorogan (al-qira’ah ‘ala al-syeikh). Dan sejak didirikan sampai hari ini, pesantren Darus-Sunnah telah meluluskan 106 (seratus enam) sarjana dengan ijazah Lisence (Bachelor) dalam ilmu hadis.

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan dan diberikan saran sebagai berikut:

  1. Kendati Islam sudah masuk di Indonesia sebelum jatuhnya Kerajaan Majapahit (1400 M), namun putra Indonesia pertama yang disebut-sebut sebagai ahli hadis bertaraf internasional adalah Syeikh Muhammad Mahfudh bin Abdullah al-Tirmasi (wafat sesudah 1329 H), yang di Indonesia kondang dengan panggilan Kiai Mahfudh
  2. Pengajaran Hadis dan Ilmu Hadis di Indonesia banyak dikembangkan oleh murid-murid Kiai Mahfudh, dan murid- murid mereka. Lewat Kiai Mahfudh mereka mendapatkan Sanad Hadis yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw.
  3. Pengajaran Hadis dan Ilmu Hadis di Indonesia dilakukan oleh institusi formal, seperti Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Perguruan-perguruan Tinggi Islam Swasta, seperti Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) dan lain-lain, juga oleh institusi tidak formal seperti pesantren-pesantren.
  4. Ditengok dari segi lahirnya, institusi tidak formal jauh lebih dahulu lahir dari pada institusi formal. Karenanya pesantren memiliki peran yang sangat besar dalam pengembangan Hadis dan Ilmu Hadis di Indonesia.
  5. Institusi formal seperti UIN memiliki keunggulan dan kelemahan, begitu pula institusi bukan formal seperti pesantren. Institusi formal unggul dalam pengajaran dan penelitian, tetapi ia lemah dalam periwayatan hadis dan pendidikan moral.
  6. Sementara institusi bukan formal unggul dalam periwayatan Hadis dan pendidikan moral, tetapi ia lemah dalam penelitian. Situasi ini berakibat secara umum institusi formal dan institusi bukan formal sulit melahirkan ahli Hadis yang berkualitas, baik secara ilmiyah maupun moral.
  7. Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah yang berdiri pada tahun 1417 H / 1997 M di Jakarta, mencoba mengisi kekosongan ini, dengan menggabungkan antara keunggulan metode pengajaran institusi formal dan tidak formal. Dari sini diharapkan lahir ahli-ahli Hadis yang berkualitas, baik ilmiyah maupun moralitas.
  8. Setiap institusi -baik formal maupun tidak formal- yang mengajarkan ilmu hadis, disarankan mengajarkan tiga komponen ilmu hadis, yaitu Mustalah al-Hadis, Metode Takhrij Hadis, dan Metode Memahami Hadis.