Majalahnabawi.com – Imam, secara bahasa adalah seorang pemimpin yang dijadikan sebagai role model dalam beberapa aspek, bahkan seluruh aspek. Imam sering kali tergambarkan sebagai orang yang memimpin salat. Ketika salat berjemaah kita sebagai makmum akan mengikuti gerakan imam dengan tertib. Begitu pun, ketika menjadi imam tentunya kita akan memimpin salat makmum kita.

Jangan Memberatkan Makmum

Fenomena keluhan berjemaah yang kurang sesuai cukup sering kita lihat bahkan rasakan. Hal itu tentunya menjadi pembahasan klasik yang dari masa ke masa akan tetap kita temukan. Tingkat lama atau pendeknya salat kita juga diatur dalam Islam. Walaupun kita sebagai imam, kita tidak bisa egois dalam memimpin salat. Kendati bacaan kita lebih bagus, fasih dan lebih sempurna, tetap tak boleh egois saat menjadi imam.

Sebagai role model, imam harusnya hadir dengan kepribadian yang humble. Hal ini bertujuan untuk mencontohkan hal yang baik. Namun dalam prakteknya, terdapat imam yang terlalu memanjangkan bacaan salatnya, sehingga makmum merasa keberatan. Bahkan ada riwayat yang menggunakan diksi “menyiksa”. 

Dalam suatu riwayat Imam at-Tirmidzi dalam Kitab Sunan-nya, terdapat sahabat Anshar yang biasa mengimami di Masjid Quba—masjid yang pertama kali dibangun oleh Nabi—ia selalu membaca surat al-Ikhlas dan melanjutkan dengan surah yang lain di setiap rakaat. Hingga suatu saat, ada sahabat yang mengkritiknya untuk membaca seperlunya saja, sesekali baca surah yang lain saja. Namun sahabat Anshar ini tetap ingin membaca surah al-Ikhlas dan melanjutkan dengan surah yang lain. Karena para makmum menilainya sebagai orang yang paling mulia, mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak ingin diimami oleh selain dirinya. 

Sampai suatu ketika Nabi mengunjunginya, lalu ada yang mengadukan perihal tentangnya kepada Nabi. Lalu nabi bertanya padanya, “apa yang menyebabkanmu tidak ingin menuruti keinginan teman-temanmu dan apa yang menyebabkanmu ingin membaca surah ini di setiap rakaatnya?” Lalu dia menjawab, “kecintanku terhadap surah ini yang membuatku tidak mau meninggalkannya.” Kemudian Nabi memberitahukan bahwa kecintaannya terhadap surah al-Ikhlas ini akan membuatnya masuk surga. (Lihat HR. at-Tirmidzi, No. 2901).

Teguran Nabi pada Imam

Hadis sebelumnya memang bertujuan membicarakan keutamaan surah al-Ikhlas, tapi sedikit menyinggung tentang imam yang dinilai tidak mendengarkan saran dari para makmumnya. Dalam hal ini memang tidak ada larangan atau terguran langsung dari Nabi. Namun, jika kita lihat dalam riwayat yang lainnya, ada satu cerita hadis yang cukup fenomenal, yakni:

أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رضي الله عنه كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمُ الصَّلَاةَ، فَقَرَأَ بِهِمُ الْبَقَرَةَ، قَالَ: فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيفَةً، فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ: إِنَّهُ مُنَافِقٌ، فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا، وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ، ‌فَقَرَأَ ‌الْبَقَرَةَ، ‌فَتَجَوَّزْتُ، فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: (يَا مُعَاذُ، أَفَتَّانٌ أَنْتَ – ثَلَاثًا – اقْرَأْ: {وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا}. وَ {سبح اسم ربك الأعلى}. ونحوها)

Alkisah, Mu’adz pernah salat bermakmum kepada Nabi Muhammad Saw. Setelah itu, dia lalu mendatangi kaumnya dan mengimami mereka salat dengan membaca surah al-Baqarah. Jabir berkata, “Saat itu lalu ada seorang makmum yang memutuskan diri dari berjemaah, lalu mengerjakan salat sendirian secara ringkas.” Kejadian ini pun lalu sampai kepada Mu’adz. Ia pun berkata, “Sungguh dia itu munafik,”

Perkataan Mu’adz ini lalu sampai kepada laki-laki tersebut. Laki-laki itu lalu mendatangi Nabi Muhammad Saw dan mengadukan hal itu pada beliau. Ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami ini adalah orang yang bekerja dengan tangan kami sendiri dan kami menyirami sendiri tanah kami dengan bantuan unta, dan sesungguhnya semalam Mu’adz mengimami kami salat dengan membaca surah al-Baqarah, kemudian aku memisahkan diri, kemudian dia mengatakan bahwa aku munafik (bagaimana ini?).”

Rasulullah Saw yang mendengar kisah dari lelaki tersebut pun mendatangi Mu’adz. Beliau pun menegurnya dengan lembut mengingatkan Mu’adz untuk mempertimbangkan kondisi makmum dalam salat.

“Wahai Mu’adz, apakah engkau seorang yang suka menimbulkan kesulitan kepada orang lain? Apakah engkau seorang yang suka menimbulkan kesulitan kepada orang lain? Apakah engkau seorang yang suka menimbulkan kesulitan kepada orang lain? Oleh karena itu, bacalah surah Asy-Syams dan Al-A’la atau surah lain yang kurang lebih sama panjangnya.” (HR. Bukhari)

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ketika mengimami ada baiknya untuk mengerti kondisi makmum. Jika memang keadaan menuntut cepat selesai, maka jangan dipanjangkan sampai menyiksa makmum. Kita sangat tidak boleh egois dalam hal ini, karena ini bisa berakibat buruk. Seperti yang awalnya dia sangat ingin salat, kemudian karena perlakuan imam yang kurang mengenakkan, dia menjadi enggan lagi salat. Masih selamat jika ia masih mendirikan salat sendirian. Namun bagaimana dengan yang kabur dan tidak mengerjakan salatnya kembali?!

Allahu wa Rasuluhu A’lam.