Kesucian Sebuah Akad

Majalah Nabawi – Sebagai manusia, membangun hubungan dengan Allah ﷻ (hablu minallah) wajib kita jaga dengan baik. Menjaga hubungan yang baik dengan Allah ﷻ salah satunya adalah dengan menjaga hubungan baik dengan manusia (hablu minannas). Dalam berkehidupan sehari-hari setiap manusia pasti berinteraksi dengan manusia lainnya dan terkadang interaksi tersebut berupa akad.

Nabi Muhammad ﷺ seorang yang menjadi teladan bagi manusia telah mencontohkan bagaimana cara berinteraksi antar sesama manusia dengan cara yang ma’ruf sehingga tidak menimbulkan kedengkian, kebencian dan kerugian terhadap lawan interaksinya. Nabi Muhammad ﷺ juga telah memberikan contoh bagaimana agar terciptanya kesempurnaan dalam berakad.

Demi tercapainya kesempurnaan akad hendaknya kita mengikuti apa yang telah Allah ﷻ gariskan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Selain kesempurnaan, juga pasti akan mendapatkan keberkahan sehingga akad-akad yang timbul menjadi bunga yang indah sebagai hasil dari pengaplikasian sunnah-sunnah Nabi Muhammad ﷺ.

Akad Yang Suci

Akad merupakan kata serapan dari bahasa Arab “al-‘aqd” yang menurut etimologi bermakna ikatan atau janji. Sedangkan menurut istilah lebih populer dengan perjanjian atau kontrak [1]. Akad dalam pengertian hukum positif merupakan sebuah perjanjian antara seseorang atau lebih yang berbentuk badan usaha bukan badan hukum ataupun berbadan hukum mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu atau berbuat sesuatu dan atau tidak berbuat sesuatu kepada orang atau badan usaha tidak berbadan hukum atau badan hukum lain.

Sebuah akad biasanya terjadi apabila seluruh pihak yang terlibat di dalamnya saling aktif memenuhi kewajiban. Apabila terdapat dua pihak dalam akad maka kedua pihak aktif saling memenuhi kewajiban. Contohnya dalam pernikahan, mempelai pria menyerahkan mahar kepada mempelai wanita dan mempelai wanita menyerahkan diri untuk dirawat oleh sang laki-laki menggantikan ayahnya. Begitupula apabila ada tiga pihak, maka ketiganya harus aktif. Contohnya si A meminjam hutang kepada B dan yang menjamin hutang si A adalah si C. Maka si A aktif sebagai pihak yang menerima pinjaman, B aktif sebagai pihak yang memberikan pinjaman, dan C aktif sebagai pihak yang menjaminkan hutang.

Berbeda halnya apabila hanya seseorang saja yang aktif. Perjanjian yang hanya melibatkan satu pihak yang aktif lebih tepat kita artikan sebagai sebuah pernyataan (al-‘ahd) yang isinya menyatakan bahwa ia akan menyerahkan sesuatu atau berbuat sesuatu dan atau tidak berbuat sesuatu [2].

Sedangkan suci dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara etimologi adalah jujur, bersih, murni, putih [3]. Suci bermakna tidak terdapatnya sebuah kotoran, kejelekan atapun apapun yang dapat membuat kotor suatu.

Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa sebuah akad yang suci adalah yang di dalamnya tidak mengandung kotoran (hal yang haram). Ketentuan akad tidak menuju kepada kemurkaan Allah ﷻ dan yang berakad juga beritikad baik. Akad yang suci harusnya memenuhi rukun dan syaratnya. Sebuah akad yang tidak memenuhi rukun ataupun syarat maka tidak dapat diterima keberadaannya ataupun bisa dibilang akad tersebut sebenarnya tidak terjadi.

Rukun dan Syarat Sahnya Akad

Kesempurnaan akad baik dalam hukum positif maupun hukum Islam pasti memliki rukun dan syarat. Dalam hal ini apabila ada kekurangan salah satu rukun dan atau syarat, maka cacatlah sebuah akad dan pasti menimbulkan kerugian.

Syarat merupakan sesuatu yang harus ada sebelum mengerjakan sebuah pekerjaan. Apabila tidak ada sesuatu tersebut maka pekerjaan tidak akan bisa dilakukan. Sedangkan rukun merupakan sesuatu yang harus ada dalam melakukan pekerjaan. Apabila sesuatu tersebut tidak ada, maka pekerjaan tersebut menjadi batal atau dianggap tidak pernah ada pekerjaan [4].

Adapun rukun dan syarat agar tercapainya kesempurnaan syarat harus memenuhi ketentuan-ketentuan. Pertama, adanya para pihak, di mana syarat para pihak di sini minimal dua orang dan orang tersebut harus tamyiz. Kedua, adanya kesepakatan (shigat al-‘aqd), di mana syarat terpenuhinya kesepakatan harus dalam kesatuan majelis dan terdapat ijab dan qabul di dalamnya. Ketiga, adanya objek akad (mahallu al-‘aqd). Di mana syarat objek tersebut harus bisa diserahkan, dapat ditentukan dan dapat ditransaksikan. Keempat yaitu tujuan akad yang halal(maudhu’ al-‘aqd). Di mana tujuan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam [5].

Perkembangan teknologi menyebabkan adanya pergeseran makna dari syarat dan rukun sempurnanya akad. Misalnya saja pada syarat kesatuan majelis dalam akad. Pada jual-beli e-commerce yang biasa kita lakukan saat ini, penjual dan pembeli tidak harus dalam satu majlis. Sebagian besar ulama Maliki dan Hambali membolehkan adanya jarak dalam transaksi (tarakhi). [6]

Batal atau Hapusnya Akad

Batal atau hapusnya sebuah akad akan menyebabkan subjek-subjek hukum tidak memiliki hubungan hukum lagi. Hilangnya hubungan hukum tersebut ada yang menyebabkan kerugian bagi salah satu pihak, ataupun suka sama suka. Hilangnya hubungan hukum yang menyebabkan kerugian pada orang lain biasanya dilakukan oleh orang yang suka berkhianat. Rasulullah ﷺ mencirikan tanda orang munafik salah satunya adalah penghianat (…apabila diberikan kepercayaan dia berkhianat.), maka hendaknya hindarilah sifat khianat.

Banyak faktor yang menyebabkan sebuah kontrak batal atau hapus. Diantaranya karena pembayaran, perjumpaan hutang yang biasanya terjadi karena para pihak saling berhutang dengan besaran yang sama, pembebasan hutang oleh pemberi hutang, berlakunya syarat batal yang biasanya terjadi karena dalam akad ada klausul batal akad, kadaluwarsa, kebatalan atau pembatalan [7].

Kebatalan dan pembatalan sangat berkaitan dengan para pihak dalam berakad. Kebatalan artinya batal demi hukum sehingga para pihak berlaku pasif. Contohnya seperti akad yang melanggar ketentuan syara’ dan atau pihak yang berakad belum dewasa (tamyiz). Sedangkan pembatalan artinya akad tersebut dapat dibatalkan dan pihak yang berakad berlaku aktif, misal seperti salah satu pihak yang berakad melanggar point dalam akad.

Kesucian Akad

Sangat disayangkan apabila mendengar berita sebuah perceraian terjadi karena hal-hal sepele, seseorang keluar (resign) dari pekerjaan karena alasan yang tidak dibenarkan dalam kontrak, jual-beli yang disusupi tipu daya, dan kasus mengenai akad-akad lainnya. Padahal dalam Islam, pemenuhan akad-akad menjadi perintah langsung yang Allah ﷻ amanatkan kepada orang-orang beriman.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu)…” (Q.S. Al-Maidah [5]: 1). Makna yang terkandung dalam ayat tersebut memerintahkan kepada setiap orang beriman untuk memenuhi akad-akad yang timbul baik dengan Allah ﷻ maupun dengan sesama manusia. Orang-orang yang merusaknya, terutama akad-akad dengan Allah ﷻ maka tempatnya adalah di seburuk-buruknya tempat kediaman (Neraka Jahannam) (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 25)[8]. Hal ini tentu menunjukan kesucian sebuah akad yang Bani Adam lakukan terkhusus bagi mereka yang beriman.

Apabila sebuah akad sudah memenuhi kehendak syara’ maka hendaknya para pihak yang berakad memenuhinya. Akad bukanlah hal main-main karena ketika ia terbentuk di dalamnya ada janji-janji yang harus kita tepatii. Janji adalah utang dan utang akan Allah mintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Oleh sebab itu akad yang secara sempurna sesuai syariat hendaknya terpenuhi karena kesuciannya. Apabila kesuciannya ternodai karena perangai buruk nan jelek hendaknya bertaubat. Dan karena ini merupakan hubungan dengan makhluk makaharus beriringan dengan permintaan maaf yang tulus kepada pihak yang menjadi rugi sebab sifat buruk tersebut.

Referensi

[1]. KBBI, https://kbbi.kemendikbud.go.id/entri/Akad

[2]. Ahmadi Miru. Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2012. Hal. 5

[3]. KBBI, https://kbbi.kemendikbud.go.id/suci

[4]. Ratna Ruswidya Anwar. Pengertian Syarat, Rukun, Sah, Batal Menurut Islam, Muslim Wajib Tahu, https://zonabanten.pikiran-rakyat.com/khazanah/pr-233800271/pengertian-syarat-rukun-sah-dan-batal-menurut-islam-muslim-wajib- tahu#, Februari 2022

[5]. Ahmadi Miru. Hukum Kontrak Bernuansa Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2012. Hal. 49

[6] Syaiful. Hukum Jual Beli Online, https://www.ipmafa.ac.id/hukum-jual-beli-online/, Juni 2015

[7] Ahmadi Miru. Hukum Kontrak Bernuansa Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2012. Hal. 69

[8]. http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-maidah-ayat-1-2.html, May 2015.

Similar Posts