Majalah Nabawi – Ketika mendengar kata sains, pasti yang terbayang dan tergambar dalam pikiran kita adalah hal-hal yang bersifat pengetahuan alam. Yang terlintas di benak adalah bahwasanya sains itu adalah ilmu yang berbicara tentang alam, tubuh manusia, rumus-rumus fisika dan kimia, matematika dan rumus hitungannya dll. Tentu semua gambaran tersebut ada benarnya. Karena pada faktanya memang sains yang kita kenal hari ini adalah suatu ilmu yang cakupan bahasannya antara lain adalah demikian. Namun, jika kita mau mencermatinya dengan baik, ternyata ada beberapa hal yang perlu kita kritisi dari penggunaan kata sains hari ini. Yang penggunaannya seolah menyempitkan pada hal-hal ilmiah, yang bisa dinalar oleh indera manusia saja dan mengabaikan hal-hal yang sifatnya metafisik.

Bagaimana Sains dalam Pandangan Barat?

Istilah sains berasal dari bahasa latin, Scire yang berarti mempelajari, mengetahui . Terma sains sendiri merupakan adaptasi dari bahasa Inggris, science, yang erat kaitannya dengan objek-objek yang indera manusia dapat mengetahui dan mengamatinya. Dari sini terdapat kesimpulan bahwa sains menurut bahasa ialah mencakup seluruh pembelajaran dan pengetahuan.

Menurut Ehsan Masood, ia menyebutkan bahwa kata “sains” berasal dari bahasa latin “scientia” yang berarti “mengetahui “. Kata ini dalam konteks modern mengarah pada upaya sistematis tentang alam dunia menggunakan metode observasi, eksperimen, pengukuran dan verifikasi.

Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa makna sains ialah untuk menyebut suatu pengetahuan yang sifatnya dapat diindera. Hal ini tentunya sejalan dengan paham positivisme ala  Barat. Yakni yang mengatakan bahwa mereka hanya mengakui hal-hal yang sifatnya fisik, serta dapat dibuktikan melalui indera dan pengalaman. Pengertian Istilah science yang demikian menjadikan Barat memandang bahwa ajaran-ajaran agama sebagai suatu yang bukan ilmu. Menurut mereka ajaran-ajaran agama itu sifatnya metafisik, dan indera tidak dapat membuktikannya secara langsung. 

Di dunia Barat ada dua istilah populer sekaligus untuk menyebut kata pengetahuan, yaitu Science dan Knowledge. Kata yang pertama menunjukkan kepada bidang pengetahuan yang dapat diindera. Sementara kata yang kedua penggunaannya untuk pengetahuan yang sifatnya metafisik, dan tidak terjamah oleh indera. Dalam bahasa Indonesia, kata science biasanya populer dengan makna ilmu pengetahuan, sementara knowledge maknanya adalah pengetahuan. Dari sini kita melihat seolah istilah pertama itu ilmu yang sesungguhnya, yang sifatnya saintifik. Sementara istilah yang kedua sifatnya hanya sekedar pengetahuan semata, yang tiada artinya. 

Adanya pemisahan-pemisahan semacam ini, tentunya terjadi baru-baru ini , pada abad modern. Karena sebelumnya, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat sendiri, belum mengenal pemisahan ini. Salah satu yang memandai lahirnya pemisahan semacam ini adalah adanya positivisme di Barat. Orang-orang Barat memisahkan hal-hal yang sifatnya metafisik dari hal-hal yang sifatnya fisik.

Maka menjadi tak  aneh jika hari ini banyak orang yang ketika mendengar kata sains, pasti langsung mengingat pada hal-hal yang sifatnya dapat diterka. Mereka langsung ingat konsep-konsep fisika, matematika, biologi, kimia, astronomi dan lain-lainnya. Hal semacam ini terjadi karena hari ini kita sudah tercuci otaknya dengan pengajaran-pengajaran keilmuan yang ada di sekolah-sekolah. Yang mana lembaga pendidikan itu banyak yang merujuk pada model pendidikan dan kurikulum pengajaran dari Barat. Secara tidak langsung doktrin tersebut masuk sedikit demi sedikit pada alam bawah sadar kita. Akhirnya kita latah menyebutkan hal tersebut dan akhirnya pengajaran-pengajaran semacam itu tersampaikan kepada generasi-generasi selanjutnya. 

Lalu, Bagaimana dengan Pandangan Islam?

Berbeda dengan konsep Barat, Islam tidak mengenal dikotomi dalam hal keilmuan. Istilah science, dalam bahasa Arab biasa memiliki padanan makna dengan kata ‘Ilm ( ilmu ). Merujuk pendapat Wan Daud, dari aspek linguistik, kata ‘ilm memiliki makna yang sangat luas. Wan Daud menjelaskan, merujuk pada kamus Arab – English Lexicon bahwa ‘ilm berasal dari kata ‘ain-lam-min yang berasal dari kata ‘alamah , yang mempunyai arti tanda, penunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dapat kita kenal.

Cakupan makna ilmu dalam Islam itu sangat luas, tidak seperti Barat yang menyempitkannya. Ketika hendak mendefinisikan ilmu, para ulama berselisih pendapat mengenai definisi Ilmu, apakah mungkin didefinisikan atau tidak. Mengingat cakupan ilmu dalam Islam itu luas, dan akan sulit jika memberikan batasan dalam mendefinisikannya.

Para ulama seperti Fakhruddin al-Razi, al-juwaini dan Imam al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu itu tidak dapat didefinisikan. Karena ia merupakan aksioma dan sulit juga untuk mendefinisikannya. Meskipun pada akhirnya para ulama ini pun mempunyai definisi ilmu tersendiri. 

Mengutip pendapat Syed Muhammad Naquib al-Attas, ketika beliau menyadari bahwa ilmu itu tidak dapat didefinisikan secara hadd, ia mengajukan definisi yang  sifatnya deskriptif. Ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang datangnya berasal dari Allah SWT, bahwasanya ilmu adalah datangnya makna sesuatu ke dalam jiwa pencari Ilmu (Hushul). Kedua, sebagai suatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, bahwasanya Ilmu adalah datangnya jiwa pada objek ilmu (Wushul).

Meskipun ada ulama yang berpendapat ilmu tidak bisa didefinisikan, banyak para ulama yang berpendapat bahwa ilmu itu bisa didefinisikan. Dalam kamus Mufradat Alfaz al-Quran, al-Raghib al-isfahani mendefinisikan ilmu sebagai persepsi suatu hal dalam hakikatnya. Imam Abdul Qohir al-Baghdadi mendefinisikan ilmu sebagai sifat yang dengannya menjadikan sesuatu yang hidup Mengetahui. Sementara imam al-Jurjani berpendapat bahwa ilmu adalah sifat yang melekat kuat yang dengannya dapat mengetahui hal-hal global maupun parsial. 

Dari beberapa definisi yang penulis paparkan, pada intinya adalah bahwasanya dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu. Karena pada hakikatnya semua ilmu itu sama. Dalam Islam, tujuan ilmu adalah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, untuk mengenal Allah SWT dan lain-lainnya. Hal inilah yang sebetulnya menjadi pembeda antara Islam dan Barat. Jika di Barat ilmu hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia semata, yang sifatnya duniawi bahkan demi uang. Namun dalam Islam ilmu-ilmu yang dan pengembangannya adalah sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT. Sebagai contohnya adalah pengembangan ilmu astronomi yang nantinya berguna untuk menentukan waktu-waktu ibadah dan lain sebagainya. 

Islamisasi Sains

Perlu penjelasan terlebih dahulu, bahwasanya maksud dari Sains di sini bukanlah makna sains dalam artian ilmu secara umum. Tapi sains di sini adalah pelajaran-pelajaran sains yang sering kita terima pelajarannya di bangku sekolah. Mencakup Biologi, fisika, kimia, biologi, matematika, astronomi dan ilmu-ilmu lainnya yang bersangkutan dengan makna sains Barat. 

Istilah Islamisasi Sains ataupun Islamisasi ilmu tidak bisa terlepas dari sosok Syed Muhammad Naquib al-Attas. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, al-Attas adalah orang yang pertama kali menggagas ide Islamisasi ilmu pengetahuan/ sains. Ketika mencetuskan ide islamisasi keilmuan ini, al-Attas terlebih dahulu mengkritisi para pemikir muslim yang cenderung latah dengan ide westernisasi dan modernisasi ilmu. Menurut al-Attas, yang lebih penting dari itu adalah sebaiknya kita umat Islam memfokuskan pada gerakan pembenahan yang berkaitan dengan konsepsi ilmu yang benar, ketimbang menjiplak sistem pendidikan ala Barat. 

Setidaknya ada dua hal yang di jelaskan oleh al-Attas mengenai gagasan Islamisasinya. Keduanya saling berkaitan satu sama lainnya. Pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini, khususnya ilmu-ilmu humaniora. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.

Langkah-Langkah Islamisasi Sains versi Dr. Wendi Zarman

Melihat fakta di lapangan, ternyata banyak sekali kita dapati di banyak institusi pendidikan yang mengajarkan materi ajar sains ( baca; matematika, IPA, IPS dll) yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sebagai contoh adalah buku-buku ilmu pengetahuan alam yang masih mengajarkan bahwa asal mula manusia itu dari kera. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam yang tidak mengenal teori semacam itu. Masalah lainnya adalah buku-buku IPA  yang condong mengatakan bahwa perkembangan ilmu-ilmu alam, fisika, kimia matematika dan lainnya berasal dari peradaban Yunani, yang selanjutnya berkembang pada masa modern di Barat. Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa buku-buku ajar yang berkaitan degan sains itu seolah mengkerdilkan peran peradaban. Bahkan meniadakan sumbangsih peradaban Islam pada perkembangan sains. Tentu hal itu merupakan penggelapan sejarah oleh orang-orang Barat hari ini . 

Hal-hal yang penulis sebutkan di atas rasanya tidak begitu aneh. Karena prof al-Attas pun pernah mengatakan bahwa hari ini sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari sebuah filsafat modern yang telah menjadi alat penafsiran bagi sains hari ini. Bisa jadi Penulisan dan pengajaran sains yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, tidak sesuai dengan fakta sejarah, bahkan lebih condong menghilangkan peran peradaban Islam dalam perkembangan Sains. Ini terjadi sebab sains hari ini sudah banyak terpengaruh degan konsep filsafat modern. 

Tentu hal ini tidak bisa kita biarkan. Terkhusus bagi kita bangsa Indonesia yang dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 mempunyai tujuan untuk mencerdaskan bangsa dan melahirkan manusia-manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Jika dalam penulisan sejarah sains saja masih belepotan, bagaimana mungkin kita bangsa Indonesia bisa memberikan pemahaman ilmu yang sebenarnya kepada masyarakat. 

Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa umat Islam hari ini membutuhkan semacam ide-ide atau langkah-langkah yang mesti kita tempuh untuk keluar dari permasalahan ini. Dr. Wendi Zarman dan Dr. Wido Supraha dalam bukunya tentang panduan Islamisasi Sains telah menawarkan konsep untuk permasalahan tersebut, yakni sebagai berikut.

1. Memberikan pengantar yang berisikan nasehat-nasehat Islami
2. Menyisipkan ungkapan Kemahakuasaan Allah
3. Mengungkapkan hikmah penciptaan alam yang menumbuhkan Syukur
4. Memasukkan ayat al-Quran atau hadis yang relevan
5. Mengoreksi konsep IPA yang bertentangan dengan ajaran Islam
6. Memasukkan pengajaran sejarah sains ke dalam IPA, dan
7. Mengaitkan materi IPA dengan penerapan ajaran Islam.

Poin-poin di atas setidaknya dapat mewakili apa-apa yang mesti kita lakukan untuk menuju pada gerakan sains yang bernuansa Islami. Poin-poin penting ini setidaknya dapat kita lakukan sedikit demi sedikit, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat universitas. Tentunya hal ini tidak akan tercapai jika tidak ada peran pejabat negara sebagai pemangku jabatan dan wewenang tertinggi di suatu negara. Hal yang tak kalah pentingnya adalah peran guru yang memadai untuk mengajarkan keilmuan yang seusia dengan nilai-nilai keislaman. Jika yang jadi rujukan adalah poin-poin di atas, maka para guru mesti memenuhi syarat-syarat tersebut.