khuluk

majalahnabawi.com – Gugatan cerai dari pihak istri dengan menyerahkan suatu pemberian kepada suami, ini disebut khuluk. Diskusi akan seru. Emang khuluk boleh? Boleh mutlak atau bersyarat?

Mayoritas ulama membolehkannya. Dalilnya,

﴿… فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖ ۗ … ٢٢٩ ﴾ ( البقرة/2: 229-229)

Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan batas-batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) istri berikan untuk menebus dirinya.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً.

Dari Ibn Abbas (3 SH-68 H) radiyallahu ‘anhuma bahwasanya; Istri Tsabit bin Qais (w. 12 H) datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulallah, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Terimalah kebun itu (wahai Tsabit), dan ceraikanlah ia dengan talak satu.

Perbedaan dan Argumen Tentang Khuluk

Berbeda dengan jumhur, Bakr bin Abdullah al-Mazini (w. 108 H, ahli fikih) berpendapat, “Suami tidak boleh mengambil sesuatu pun dari istri.” Ia berargumen bahwa ayat di atas (2: 229) telah diganti hukumnya (mansukh) dengan al-Nisa’/4: 20,

﴿وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا ٢٠ ﴾ ( النساۤء/4: 20-20)

Jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar), janganlah kamu mengambilnya kembali sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan cara dusta dan dosa yang nyata?

Jumhur melanjutkan argumennya bahwa suami tidak boleh mengambil kembali apapun yang telah ia berikan kepada istrinya jika si istri tidak rela. Jika istri rela, maka boleh-boleh saja.

Imam Ibn Rusyd (520-595 H, filsuf, ahli fikih) menganalisis bahwa silang pendapat ini terletak pada pemahaman terhadap ayat, apakah 4:20 umum atau khusus? Jika khusus untuk istri yang tidak rela, maka boleh untuk istri yang rela (khuluk termasuk yang rela). Jika umum tanpa pengkhususan, maka tidak boleh sama sekali, baik rela maupun tidak.

Berbeda dengan Jumhur Terkait Khuluk

Abu Qilabah (w. 104 H, ahli fikih) dan al-Hasan al-Basri (21-110 H, ulama terkemuka dari kalangan tabi’in senior) juga berbeda dengan jumhur. Pendapatnya, pemberian dalam khuluk hanya boleh suami terima jika ia menyaksikan istrinya telah berzina. فاحشة (keji) pada ayat berikut ditafsirkannya sebagai zina.

﴿… وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ …﴾ ( النساء/4: 19)

Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.

Daud (201-270 H, seorang mujtahid yang terkenal tekstual) berpendapat bahwa khuluk tidak boleh kecuali dengan syarat: “Takut tidak mampu menjalankan batas-batas ketentuan Allahأن لا يقيما حدود الله berdasar teks secara tersurat dalam 2: 229 di atas.

Al-Nu’man (w. 363 H, seorang hakim) juga berbeda dengan jumhur. Ia membolehkan khuluk meskipun merugikan. Cara memahaminya, tebusan dibebankan kepada istri karena ia meminta khuluk sebagai ganti penjatuhan cerai yang ada di tangan suami. Talak dilakukan jika suami tidak suka istri, khuluk dilakukan bila istri tidak suka suami meskipun bisa jadi istri dirugikan.

Kesimpulannya, terkait boleh-tidaknya khuluk, terdapat lima pendapat: (1) Pertama, tidak boleh sama sekali; (2) Kedua, boleh di setiap keadaan meskipun menimbulkan kerugian; (3) Ketiga, tidak boleh kecuali istri terbukti telah berzina; (4) Keempat, boleh jika takut tidak mampu menjalankan batas-batas ketentuan Allah; dan (5) Kelima, boleh di setiap keadaan, kecuali menimbulkan kerugian pihak istri. Yang terakhir adalah pendapat yang masyhur. Lebih lanjut, baca Bidayat al-Mujtahid karya Imam Ibn Rusyd.

By Nurul Mashuda

Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences