Bismillah

Majalahnabawi.com – Sebagaimana sudah jamak diketahui bahwa basmalah atau mengucapkan bismilâhirrahmânirrahîm merupakan sunnah Nabi yang sangat penting dan memiliki keutamaan yang luar biasa. Hanya dengan satu kata ini, amal kita menjadi bernilai atau tidak di mata Allah. Hanya dengan ucapan sedetik itu, perbuatan kita menjadi berkah atau tidak.

Ya, berkah atau tidaknya perbuatan ditentukan oleh kata bismillâh. Sekali lagi, berkah atau tidaknya perbuatan ditentukan oleh kalimat ini. Bukan, masalah sukses atau tidak suksesnya, tapi berkah atau tidak berkahnya. Tanpa bismillah, perbuatan apapun bisa sukses, dalam artian hasilnya bisa sesuai dengan yang kita maksud-inginkan.

Seseorang bisa saja menjadi sukses usahanya, bisnisnya, melejit omsetnya tanpa bismillah. Tapi entah berkah atau tidaknya, hanya Allah yang tau. Lalu apa bedanya berkah dan sukses? Mana yang lebih penting untuk kita?

Tentu, bukan kapasitas kita untuk memastikan lebih penting mana. Dua-duanya penting. Secara manusiawi, kita semua pasti ingin sukses. Sukses itu keinginan. Tapi berkah itu kebutuhan. Masalahnya adalah tidak banyak orang yang sadar akan kebutuhannya. Makan dan minum itu kebutuhan. Jadi, ingin atau tidak ingin, makan dan minum tetap harus dilakukan, karena ia dibutuhkan oleh tubuh kita.

Disadari atau tidak, tubuh kita akan menuntut makanan dan minuman. Meskipun, makan dan minum itu juga bisa berubah menjadi keinginan. Ini terutama jika kebutuhan itu sudah mulai dirasakan, misalnya ditandai dengan lapar dan haus. Tapi bisa juga ia menjadi keinginan bukan karena kesadaran akan kebutuhan, melainkan karena penasaran, ketagihan, kesukaan, dan selainnya. Yang jelas, dasarnya adalah kebutuhan.

Begitu pula dengan keberkahan. Ia adalah kebutuhan kita. Hidup kita ini butuh keberkahan dari Allah. Meskipun boleh jadi akal dan hati kita tidak menginginkannya. Orang yang tidak menginginkan kaberkahan lebih karena tidak memahami esensi dan kedudukan keberkahan dalam hidup itu apa. Ia tidak menyadari bahwa keberkahan itu kebutuhan dirinya. Seandainya ia tahu dan sadar, pasti akan menginginkannya.

Sedangkan kesuksesan, itu sudah pasti diinginkan oleh setiap manusia. Tidak ada orang yang tidak ingin sukses, tapi boleh jadi ia tidak butuh sukses untuk saat tertentu. Anak balita misalnya, tidak butuh sukses dalam hal bisnis. Seandainya ia sukses dalam dunia bisnis misalnya, maka justru akan membahayakannya. Tapi disadari atau tidak, anak balita pun butuh keberkahan. Karena itu, orangtuanya harus mengajarinya agak hidup si balita bisa berkah sampai akhir hayatnya. Misalnya, dengan mengajari doa-doa, menjamin kehalalan makanan, minuman, dan pakaiannya, atau membiasakannya dalam lingkungan yang baik.

Begitulah perbedaan antara sukses dan berkah. Keduanya berbeda, tapi tidak dapat dipastikan mana yang lebih penting atau lebih utama. Dua-duanya penting dan utama, dalam posisinya masing-masing. Suskes tanpa berkah itu juga tidak enak. Berkah tanpa sukses itu juga rawan mengurangi rasa syukur.

Kembali ke urusan bismillah, dalam kaitannya dengan pendidikan santri di Darus-Sunnah. Kiai Ali sangat jeli dalam hal bismillah. Hal yang paling umum diingatkan oleh orangtua kepada anaknya megenai basmalah ini adalah dalam urusan makan dan minum. Sering sekali kami melihat para orangtua mengingatkan anak-anaknya untuk membaca bismillah saat hendak makan-minum. Hal lain yang hampir selalul diingatkan oleh orangtua adalah saat anaknya membaca al-Quran dan lupa membaca basmalah. Hampir dipastikan orangtua akan mengingatkannya.

Dalam selain kedua urusan di atas itu, agak jarang kami melihat para orangtua mengingatkan anak-anaknya untuk membaca basmalah saat anaknya hendak mengenakan pakaian, atau memakaikan pakaian kepada anaknya. Lebih jarang lagi adalah dalam urusan belajar, membaca buku atau teks selain al-Quran. Biasanya para orangtua kurang ngeh dalam masalah ini ketika anaknya hendak belajar, menulis, membaca, bepergian ke sekolah, keluar rumah untuk bermain, atau untuk hal-hal lain. Tampaknya, kita lebih sering tidak mengingatkan baca bismillâh dalam berbagai aktifitas selain makan, minum, dan baca al-Quran.

Lalu, bagaimana kebutuhan kita dan anak-anak kita bisa terpenuhi, jika kita tidak pernah mengingatkannya atau memberikan asupan bismillâh kepada mereka? Ya, mereka bisa kenyang, segar, selesai sekolahnya, selesai baca bukunya, selesai menulisnya, selesai bermainnya. Mereka bisa sukses dalam urusan-urusan itu. Tapi belum tentu beljarnya berkah, makannya berkah, sekolahnya berkah, bacaannya berkah, tulisannya berkah, mainnya juga belum tentu berkah, karena tidak ada upaya untuk memenuhi kebutuhannya itu.

Di situlah, kiai Ali Mustafa Yaqub, mengajari kami dalam urusan yang boleh jadi kami anggap “itu urusan sepele.” Pada akhir 2013, saat beliau menugaskan kami menjadi Khuwaidim (pelayan junior) Madrasah Darus-Sunnah yang beliau dirikan pada tahun 2014, di antara hal pertama yang beliau pesankan adalah masalah bismillah.

“Nurîd an nu’idda kawâdir al-ulamâ’. Ulamâ’ yaqra’ûn al-kutub al-shofrô’, ulamâ’ yattabi’ûna sunnata Rasûlillâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam wa yansyurûnah. [Kita kepingin mempersiapkan kader-kader ulama. Ualama yang bisa membaca kitab-kitab kuning. Ulama yang komitmen pada sunnah-sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ulama yang giat mengajarkan sunnah-sunnah beliau.]” Begitulah kata beliau menjelaskan visi beliau tentang Madrasah Darus-Sunnah, pagi itu di ruang tamu seraya memperlikan kami menikmati hidangan yang telah disuguhkan.

“Lidzâlik allimhum al-hadîts wal kutub al-shofrô’, waaddibhum al-akhlâq al-karîmah. Addibhum kaifa ya’kulûn, wa kaifa yasyrabûn, wa kaifa yamsyûn, wa kaifa yatakallamûn. [Karena itu, nanti mereka harus diajari hadis-hadis Nabi. Didik mereka dengan akhlakul karimah. Didik mereka bagaimana cara makan, cara minum, cara berjalan, dan cara berbicara]” Lanjut beliau menjelaskan deskripsi singkat tentang misi dan strategi serta gambaran kurikulumnya saat itu. Sepele, bukan? Tapi itulah yang banyak disepelekan.

“Wa lâbudda hunâka musyrif. Matsalan, li kulli ‘isyrîna tilmîdzan, musyrif wâhid. Idzan, musyrif wahid yurâ‘î al-‘isyrîn. Wal isyrôf arba’ wa isyrîna sâ’ah. Wa lâ budda an ya’kul ma’ahaum hattâ ya’rif hal abnâ’uh ya’kulûn bil basmalah, wa ya’kul bil yamîn, lâ bil yasâr, wa ya’kul qô’idan, lâ qôiman, wa lâ mâsyiyan.”

[Harus ada musyrif/pembinanya. Misalnya, setiap dua puluh santri harus dibimbing oleh satu musyrif. Jadi, satu musyrif harus menangani (maksimal) dua puluh santri.  Pembinaan harus dilakukan 24 jam. Musyrif harus ikut makan bersama mereka. Musyrif harus memastikan apakah anak-anak (asuhnya) itu makan dengan baca basmalah atau tidak, memastikan bahwa mereka makan pakai tangan kanan, bukan tangan kiri. Memastikan bahwa mereka makan dalam posisi duduk, tidak berdiri atau jalan dan lari.]”

Setelah itu, beliau seperti biasa menceritakan kisah Kiai Idris Kamali, gurunya di Tebuireng, yang selalu menyebut para santri dengan teguran “Setan Sira! [Setan, kau!]” Saat melihat ada santri yang makan menggunakan tangan kiri. Dan seperti biasa, untuk yang ke sekian kalinya, beliau kemudian pasti memabacakan kepada kami hadis Nabi tentang hal itu.

Dari situ, kebijakan di Madrasah Darus-Sunnah kemudian menetapkan kebijakan rasio santri dengan pembina adalah lima belas sampai dua puluh berbanding satu (15-20 : 1). Artinya, setiap 15-20 santri, harus ada satu pembina yang intensif membimbing dan mengasuhnya. Saat tahun pertama, jumlah santri baru adalah 21 santri. Jumlah pembinanya ada dua orang. Hingga kini, saat Madrasah ini berusia lima tahun, bertepatan dengan 1000 hari wafatnya pak Kiai, rasio pembina dengan santri adalah 6 : 115 santri, alias 1 : 19. Setiap 19 santri ada satu pembina, ditambah satu pembina tambahan yang fokus mengurus kurikulum. Mereka semua bekerja 24 jam secara bergantian, kecuali saat tidur.

“Walâ ya’kul wa famuhû yaftah, crap…crap..crap…hâkadzâ, mitslal baqor.[(juga memastikan bahwa anak-anak) tidak makan seraya mulut terbuka dan akhirnya bersuara crap…crap…crap, seperti sapi.]” Tegas beliau sambil memeragakan crap..crap…crap… yang membuat kami tersenyum malu, karena kami pun belum bisa komitmen dengan cara itu. Setelah  itu, beliau pasti menyebutkan teladan beliau dalam hal makan dengan mulut tertutup saat mengunyah itu. Teladan beliau itu dalah guru beliau di Pondok Tebuireng dan Seblak kala itu, yaitu KH. Muhsin Zuhdi, (Rabbunâ yahfazhuhû wa matta’anallâhu bi thûli hayâtih). Alhamdulillah beberapa kali kami diberi kesempatan untuk makan satu meja dengan beliau dan menyaksikan sendiri bagaimana beliau dahar.

Begitulah beliau memberikan asupan keberkahan kepada para santri-santrinya, meskipun para santrinya tidak sadar bahwa itulah kebutuhannya, yang terlupakan dari keinginannya.

Tidak hanya itu, di setiap halaqah, setiap kali beliau menunjuk santri untuk membaca kitab di hadapan beliau, kemudian santri tersebut langsung membaca maqra’-nya, maka beliau pasti langsung mengingatkannya dengan kata “Bismillâhirrahmânirrahîm…..”dengan suaranya yang khas, mantap, tegas, dan keras seraya memandangi wajah santri tersebut. Terkadang, sebelum beliau mengingatkan, ada beberapa santri yang terlebih dahulu memberi kode kepada santri yang lupa itu agar membaca basmalah.

Ya Allah, semoga kami bisa meneladani tradisi baik beliau yang diambil dari sunnah-sunnah RasulMu itu, yang kini mulai banyak terlupakan…

By Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, MA

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences