Seperti Cendawan di Musim Hujan

Majalah Nabawi“Like Mushroom (seperti cendawan di musim hujan).” Jawab seorang WNI asal Sumatera Utara yang sudah tinggal di New York sejak tahun 1970. Ketika menanggapi pertanyaan kiai Ali tentang perkembangan Islam di Amerika pasca peristiwa serangan terorisme yang menghantam Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York City pada 11 September 2001. Peristiwa tersebut terkenal juga dengan istilah peristiwa Sebelas September (Belsep).

Sebelumnya, jumlah masjid yang ada di New York City hanya berkisar 25 masjid, kemudian pasca peristiwa Belsep tersebut, masjid yang ada di sana bertambah menjadi 70 masjid. Sedangkan di New York State jumlah masjid mencapai 250 masjid pada 2018. Dari  bertambahnya jumlah masjid, bisa disimpulkan bahwa agama Islam di sana berkembang dan pemeluknya pun bertambah banyak. Oleh karena itu, Islam di Amerika tergambar laksana cendawan di musim hujan, tumbuh banyak dan berkembang cepat.

Perkembangan Islam yang pesat di Amerika timbul karena banyaknya orang Amerika yang penasaran terhadap Islam. Terlebih pasca peristiwa Belsep, orang-orang menganggap Islam sebagai agama terorisme. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan rasa keingintahuan orang Amerika untuk mempelajari dan mengenal Islam lebih dalam. Sehingga mereka memperoleh kepastian bahwa Islam bukanlah agama teroris, melainkan agama yang mengajarkan kasih sayang, perdamaian, dan kerukunan kepada siapapun, termasuk kepada orang-orang nonmuslim.

Lembaga Pendidikan Islam di Amerika

Dengan bertambahnya pemeluk agama Islam, para muslim di Amerika pun tak kalah gencarnya membentuk komunitas muslim dan Islamic center agar memudahkan  orang-orang Islam dalam beribadah dan belajar Islam. Tak hanya itu, mereka juga mendirikan lembaga pendidikan bagi anak-anak dan remaja muslim di sana. Termasuk dari warga negara Indonesia yang tinggal di Amerika.

Dalam catatan Perjalanan safari Ramadan Kiai Ali ke Amerika pada 2008, di dalam bukunya yang berjudul Islam di Amerika beliau menceritakan dialog beliau dengan seorang WNI mengenai generasi muslim Indonesia di Amerika.

Percakapan itu terjadi saat kiai Ali berada di dalam mobil menuju kota Philadelphia bersama seorang WNI yang saat itu bertugas mengantarkan beliau. Kiai Ali menjawab pertanyaan seorang WNI tersebut tentang tanggapan beliau mengenai orang-orang Indonesia di Washington.

“Bang,” begitu kiai Ali mulai menjawab. Lalu beliau melanjutkan, “Di mana-mana yang namanya perantau di negeri orang itu punya kekhawatiran  atau kegelisahan yang sama.” Lalu kiai Ali lanjut menjelaskan bahwa gejala munculnya pusat-pusat Islam seperti Islamic Center di Amerika, Eropa, dan di negara-negara lain tidak lain berawal karena adanya kecemasan, kegelisahan, dan kekhawatiran akan hilangnya identitas sebuah generasi. 

Kiai Ali juga memberikan contoh, jika ada seorang remaja Indonesia yang tinggal di negeri minoritas muslim katakanlah Amerika dan tidak bisa berbahasa Indonesia itu merupakan sebuah kepunahan. Jika yang hilang adalah kemampuan berbahasa, maka masih bisa dia kejar dengan cara pulang ke Indonesia beberapa bulan. Akan tetapi jika yang hilang adalah identitas ke-Islamannya, maka hal tersebut menjadi permasalahan dan tak dapat ia kejar dalam waktu lima tahun. Begitu kiai Ali menjelaskan.

Keluwesan Kiai Ali dalam Interaksi dan Dakwah

Dalam perjalanan Safari Ramadan ke Amerika, keluwesan seorang kiai Ali Mustafa Yaqub sangat nampak. Beliau dengan mudah menempatkan diri sesuai kondisi dan keadaan ketika berhadapan dengan para jamaahnya. 

Salah satu contoh keluwesan kiai Ali ialah saat pertama kali tiba di Amerika. Ketika itu beliau disambut oleh seorang WNI yang berasal dari Ponorogo, Jawa timur. Saat makan siang tiba, kiai Ali diajak makan. Beliau pun terkejut karena menu makanan yang disajikan adalah menu Arab, padahal sedang berada di Amerika. Ada nasi kabsyah ayam, ada muluhiyah, dan lain-lain.

Kemudian kiai Ali bertanya siapakah kiranya yang memasak nasi kabsyah tersebut. Dan menjawablah WNI asal Ponorogo tadi bahwa yang memasak nasi kabsyah itu adalah ia . Sebab sebelum kiai Ali datang, ia membaca CV kiai Ali yang merupakan lulusan dari Saudi Arabia. Dan bertepatan pula dengan itu, WNI asal ponorogo itu pernah bekerja di Saudi Arabia selama 2 tahun. Setelah mendengar penjelasan tersebut, kiai Ali pun berujar dengan kata-kata khas Ponorogo , “Pyuh, pyuh, pyuh, kalau begitu terima kasih sekali semua ini masakan kesukaan kami.”

Contoh lain sikap keluwesan dakwah kiai Ali adalah ketika beliau mengisi ceramah di rumah Bapak Adi Purnomo di Falls, Virginia. Setiba di rumah tersebut, ibu-ibu dengan pakaian seragam dan wajah-wajah ceria sudah menunggu, layaknya majelis taklim di Indonesia. Ketika Pak Yai bertanya asal ibu-ibu tersebut, semuanya menjawab dari Jawa akan tetapi berbeda daerah. Akhirnya, kiai Ali pun menyesuaikan bahasa pengantar ceramah beliau dengan bahasa Jawa.

Dua contoh di atas memberitahu kepada kita sosok kiai Ali yang sangat pandai dalam bersikap sesuai kondisi. Sehingga jamaah dapat menerima dakwah yang beliau sampaikan dengan mudah.