Muhammad bin Basysyar, guru perawi hadis

Kata “ikhtilath” sudah tidak asing lagi di kalangan umum. Setelah mendengar kata ini, mungkin akan muncul bayangan kondisi yang campur-aduk antara laki-laki dan perempuan tanpa batas tertentu. Hal yang syariat melarangnya. Gambaran tersebut tidak salah, karena memang demikian pengertian ikhtilath dalam fikih.

Ikhtilath dalam Ilmu Hadis

Dalam pembahasan ilmu hadis, pengertiannya beda lagi. Ikhtilath merupakan kondisi menurunnya kualitas kedhabitan (hafalan) perawi yang terjadi karena beberapa hal. Seperti faktor usia, panca indra rusak, kitab-kitab terbakar, dan lain sebagainya. Rawi yang meangalami ikhtilath ternamai mukhtalith. Sedangkan hadis riwayatnya namanya hadis mukhtalath. al-Sakhawi dalam kitab Fath al-Mughits mendefinisikannya sebagai berikut:

فَسَادُ الْعَقْلِ وَعَدَمُ انْتِظَامِ الْأَقْوَالْ وَالْأَفْعَالِ

Rusaknya akal dan tidak teraturnya perkataan dan perbuatan.”

Ikhtilath menjadi sebab riwayat seseoang menjadi lemah, karena terdapat problem dalam kualitas hafalannya. Sebelum melangkah lebih jauh, ulama hadis membagi buruknya kualitas hafalan rawi (سُوْءُ الْحِفْظِ)  menjadi dua, yaitu:

  1. Buruknya hafalan yang sudah menjadi kualitas intelegensi rawi sejak awal (mulazim).
  2. Buruknya hafalan yang terjadi kemudian (thari’). Inilah yang tersebut dengan mukhtalith.

Bagian pertama disebut dengan perawi dha’if, sedangkan kedua merupakan rawi mukhtalith. Perbedaan mendasar keduanya adalah rawi mukhtalith mengalami degradasi kualitas hafalannya setelah terjadi beberapa hal tersebut tadi. Berbeda dengan rawi dha’if yang sedari awal tidak memiliki kapasitas untuk meriwayatkan hadis.

Rawi Mukhtalith dalam Sahih al-Bukhari

Tulisan ini bermaksud mengurai beberapa hal yang berkaitan dengan سُوْءُ الْحِفْظِ bagian kedua tadi. Tidak bisa terhindari bahwa terdapat sejumlah perawi yang terindikasi mukhtalith dalam kitab-kitab hadis. Termasuk Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Lantas bagaimana status hadis mukhtalath dalam dua kitab sahih tersebut?

Memang benar rawi mukhtalith bisa melemahkan suatu jalur riwayat. Apalagi jika dia meriwayatkannya setelah terjadi ikhtilath. Namun, riwayat perawi mukhtalith bisa saja diterima karena beberapa hal:

  1. Perawi tersebut meriwayatkan hadisnya sebelum kondisi ikhtilath.
  2. Ia meriwayatkan setelah ikhtilath, namun hadis yang ia riwayatkan memiliki mutaba’ah atau syahid (jalur periwayatan lain) yang menguatkan, sehingga hadisnya bisa diterima.

Dua hal di atas dikenal dengan intiqa’ yang biasa dilakukan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim. Dengan demikian kualitas hadis-hadis dalam kitab Sahihnya tetap terjaga.

Salah satu rawi mukhtalith dalam Sahih al-Bukhari adalah Suhail bin Abi Shalih al-Samman. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis darinya dan dari guru beliau yang lain, yaitu Yahya bin Sa’id al-Anshari dalam kitab Jihad. Selain itu, Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dua hadis mutaba’ah-nya (dari jalur yang lain) dalam kitab al-Da’awat.

Imam al-Bukhari juga meriwayatkan hadis dari Sa’id bin Abi ‘Arubah dari Qatadah bin Da’amah. Sa’id bin Abi ‘Arubah adalah rawi yang terindikasi mukhtalith. Namun, masih menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, Imam al-Bukhari kebanyakan mendengar hadis darinya sebelum terjadi ikhtiltath. Jadi hadis tersebut tetap berkualitas sahih.

Alasan Rawi Mukhtalith Tetap Meriwayatkan Hadis

Sudah terbahas sebelumnya, bahwa banyak hadis yang teriwayatkan dari jalur rawi mukhtalith. Yang menjadi pertanyaan, mengapa masih ada perawi yang mengambil hadis dari gurunya yang mukhtalith? Mengapa tidak ditinggalkan saja, atau minimal disimpan untuk diri sendiri dan tidak disampaikan ke orang lain?

Di sini ada berapa kemungkinan. Pertama, perawi tersebut mengambil hadis sebelum gurunya terjadi ikhtilath. Kedua, ia tidak mengetahui bahwa gurunya telah mengalami ikhtilath. Sangat tidak mungkin seorang perawi hadis tetap meriwayatkan hadis dari guru mukhtalith sementara ia mengetahuinya, mengingat amanah ilmiah dari periwayatan hadis sangatlah besar. Inilah alasan logis mengapa hadis-hadis mukhtalath banyak tersebar di kitab-kitab hadis.

Jarang sekali orang yang sudah masyhur sebagai mukhtalith dibiarkan begitu saja. Orang-orang sekitar -seperti anak atau murid-muridnya- pasti akan mencegahnya untuk menyampaikan hadis.

Jarir bin Hazim al-Azdiy merupakan rawi mukhtalith, namun tidak ada seorang pun yang meriwayatkan hadis darinya setelah terjadi ikhtilath. Hal ini tak lepas dari peran anak-anaknya yang mencegahnya untuk meriwayatkan hadis.

Banyak karya ulama yang dapat dijadikan rujukan dalam pembahasan rawi mukhtalith. Di antaranya adalah kitab al-Ightibath bi Ma’rifati Man Rumiya bi al-Ikhtilath karya Burhanuddin al-Halabi (w. 841 H) dan kitab al-Kawakib al-Nayyirat fi Ma’rifati Man Ikhtalatha min al-Ruwwat al-Tsiqat, karya Abu Barakat Muhammad bin Ahmad bin al-Kayyal (w. 939 H).

By Afrian Ulu Millah

Mahasanti Darus-Sunnah International Institute of Hadith Sciences