Majalahnabawi.comBahtsul Masail (BM) didefinisikan sebagai forum yang membahas dan mengkaji problematika kontemporer yang berkembang di tengah masyarakat, yang kemudian dikorelasikan dengan nash-nash hukum syariat. Sementara dalam ART NU tahun 2004 pasal 16 dinyatakan, bahwa Lembaga Bahtsul Masail (LBM) bertugas membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mawdhu’iyyah (tematik) dan waqi’iyyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum.

Eksistensi Bahtsul Masail di Masa Kontemporer

Setelah menyinggung sedikit terkait esensi BM dalam kajian NU, hal ini juga selaras dengan penuturan Katib PBNU, Dr. KH Muhammad Asroroni, MA dalam sebuah acara “Melacak Akar Sejarah LBM NU; Jalan Tradisi Intelektual NU”. Menurutnya, Revitalisasi kegiatan dan tradisi akademik sebagai tanda Keberadaan jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah Nahdlatul Ulama’ sangat perlu untuk mengedepankan nilai norma agama yang khas.

Peran Bahstul Masail

BM berperan menjawab problematika masyarakat secara empiris atau riil, tidak hanya secara keagamaan dan tertulis, namun juga ready for use serta diaplikasikan lewat berbagai ruang dan waktu yang spesifik. Karena BM sangat melibatkan pendapat dan pandangan para ulama’ Fiqh terdahulu, menelaahnya hingga kemudian menjadikannya sebagai hujjah atau landasan dalam suatu permasalahan kekinian yang sejenis dengan kejadian di masa lampau.

Siapakah Aktor Bahtsul Masail ?

Peran para Kyai dan Ulama terdahulu terbukti dari terselenggaranya BM sejak tahun 1926-1999 dan telah mencapai 39 kali dan melahirkan 505 keputusan. Para peserta atau pengkaji dalam forum BM perlu paham konteks masalah serta mentashowwur-kan menu masalah dengan utuh, mengenali ruang dan waktu di mana masalah itu muncul, baru kemudian melakukan pendekatan nash.

NU dan Wacana Keberagamannya

Wacana Pertama

Ustaz Muhammad Hanifuddin, Ketua LBM PCNU Tanggerang Selatan, mengatakan banyak hal yang mempengaruhi karakter lembaga bahtsul masail. Pertama, NU tidak lepas dari keberadaan pesantren. Salah satu tradisi yang melekat pada pesantren khususnya yang berbasis kutubiyyah, adalah forum BM.

Mendalami ini, kata kunci yang menarik antara relasi antara NU dan pesantren, Pesantren mempunyai hardware dan software. Hardware merupakan fasilitas: bangunan pesantren, koleksi kitab. Sedangkan cakupan software : kurikulum pendidikan pesantren dan kitab kuning, sebagai rumpun Ilmu agama seperti nahwu shorrof yang menjadi pelajaran wajib untuk memahami kitab-kitab salaf.

Kedua : Relasi NU, Tasawuf-Tarekat Pesantren

Beliau juga menganalisis, relasi yang tercipta tidak selamanya memberi dampak negatif pada santri—Kurangnya critical thinking saat menghadapi permasalahan ilmiah. Hal ini mengatakan —critical thinking terlahir karena dominasi rasa sami’na wa atho’na dalam jiwa pemikir. Di sana beliau mengkritik, perdebatan yang terjadi merupakan ajang latihan dan keharusan dalam forum bahtsul masail.

Ketiga : NU dan Teologi Aswaja

Melestarikan kritisisme berlandas kutubus-salaf sehingga terhindar dari pemikiran-pemikiran menyimpang, seperti manhaj syiah.