Tanpa diragukan lagi, Islam adalah agama praktis. Dengan demikian, perintah Islam adalah sesuai dengan kesanggupan dari setiap mukalaf. Fakta ini secara jelas tercantum di surah al-Baqarah, di mana Allah SWT berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggup-annya” (QS. Al-Baqarah: 286).

Konsep ini selanjutnya ditekankan oleh Hadis, Nabi SAW bersabda :
“Apapun yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah sebaik yang kamu bisa. Dan apapun yang aku larang kepadamu, maka jauhilah secara tuntas “

Dari hadis ini, sangat jelas bahwa Allah SWT tidak akan membebani setiap jiwa dengan masalah yang lebih berat dari apa yang bisa dia tangani, dan Nabi Muhammad SAW menasihati kita untuk membuat segala sesuatunya menjadi mudah, tidak susah (H.R. Al-Baihaqī dan Abū Ya’la).

Di samping itu, mendorong dan menekankan tindakan positif itu selalu menjadi bagian dari metodologi Nabi Muhammad SAW dalam membantu muslim untuk memenuhi komitmen mereka terhadap agama dan meningkatkan derajat keimanan dan keislaman.

Diriwayatkan oleh Thalhah bin Ubaidillah bahwa ada seorang laki-laki kaum Arab datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Nabi Allah, beritahukan padaku apa yang telah Allah perintahkan kepadaku dalam hal sholat?” Nabi SAW bersabda, “ Sholat lima waktu, kecuali jika kamu ingin melakukan shalat sunnah lagi.”

Laki-laki itu berkata, “Wahai Nabi Allah, beritahukan padaku apa yang telah Allah perintahkan kepadaku dalam hal puasa ?” Nabi SAW bersabda, “ Puasa di bulan Ramadan, kecuali jika kamu ingin melakukan puasa sunnah lagi.”
Laki-laki itu berkata , “wahai Nabi allah, beritahukan padaku apa yang telah Allah perintahkan kepadaku dalam hal zakat ?” Nabi SAW memberitahukan padanya.

Kemudian laki-laki itu berkata, “Allah yang telah memuliakanmu dengan kebenaran, saya tidak akan melebihkan atau mengurangi dari apa yang telah Allah perintahkan kepadaku.” Nabi SAW bersabda, “Orang ini akan mencapai kesejahteraan jika ia melakukan apa yang telah ia katakan untuk melaksanakannya. “

Ini menunjukkan bagaimana Nabi SAW menekankan sisi positif dari apa yang laki-laki itu katakan, dan mendorongnya. Nabi tidak memintanya untuk berbuat lebih banyak. Karena, jika seseorang mulai berlatih ibadah dengan cara yang tepat, akhirnya dia akan menemukan keindahan dan manisnya ibadah dan akan melakukan lebih banyak lagi atas kesadaran dirinya sendiri. Namun, jika Nabi Muhammad SAW memintanya untuk berbuat lebih banyak, dia mungkin sudah merasa bahwa dia telah sering melakukannya dan mungkin dia tidak akan mulai berlatih sama sekali.

Hal ini penting bagi orang tua agar menjalankan prinsip ini selama proses mendidik anak-anak mereka. Orangtua seharusnya hanya meminta anak untuk melakukan apa yang mereka mampu lakukan, dan orangtua sebaiknya memuji anak atas prestasi mereka. Ini akan mendorong mereka untuk berbuat lebih banyak. Dorongan adalah motivasi hebat yang menjamin keluhuran harga diri, kepercayaan diri, dan membantu anak agar siap dengan tantangan baru.

Ramadan merupakan momen yang tepat untuk mengaplikasikan metode ini, di mana banyak amalan-amalan kebaikan yang bisa dilakukan pada bulan ini, misalnya tarawih, qiyām al-lail, sholat tahajud, membaca al-Qur’an, sedekah dan lain sebagainya. Hal ini akan memupuk kebiasaan anak di masa depannya. Maka dari itu momen ini merupakan momen yang penting sehingga secara bertahap dengan dorongan dan ketegasan orangtua, anak mampu terbiasa oleh amalan-amalan baik yang sekayaknya dikerjakan oleh orang mukmin.

Teruslah mendorong anak Anda, misalnya, jika ia menghabiskan waktu untuk mewarnai gambar, tanggapan anda harus, “Masya Allah kamu dengan sekuat tenaga untuk menjalankan puasa selama satu bulan. Ini usaha yang sangat luar biasa sayangku.” Bahkan jika puasanya tidak full dan cenderung terdakang puasa terkadang tidak.. Sebaliknya, Anda harus menekankan upayanya untuk terus berpuasa. Kurangnya memberikan dorongan pada anak telah terbukti bisa mencegah mereka untuk mencoba jenis kegiatan yang sama lagi. Sebagai orang tua, anda tidak ingin mengecilkan hati anak anda dan berakhir dengan hasil tersebut .

Contoh umum lainnya dalam pengecilan hati anak yang sering terjadi yaitu respon dan komentar orang tua kepada anaknya ketika berlatih sholat. Biasanya, orang tua meminta anak untuk diam di shaf yang sama dengan jamaah sholat yang lain. Tentu saja, jangka memusatkan perhatian anak sangat pendek, dan sangat sulit baginya untuk berdiri diam dalam waktu yang lama.

Oleh karena itu, anak secara alami akan bergerak selama sholat. Kesalahan besar yang sering dibuat oleh beberapa orang tua adalah setelah selesai shalat, dengan segera, mereka akan menegur anak mereka dengan mengatakan, “berapa kali saya katakan tidak boleh bergerak selama shalat?” Inilah komentar yang mengecewakan. Momen seperti ini bisa menekan tindakan negatif anak.

Sebaliknya, orang tua harus mengatakan, “Masya Allah, kamu mampu berdiri diam saat rakaat pertama. ini sangat baik. Insya Allah waktu berikutnya kamu bisa melakukan dua rakaat.”

Selain Ramadan, momen yang tepat sebagai sacara mempraktikan metode ini adalah bulan Syawal. Setelah anak berusaha semaksimal mungkin di bulan Ramadan, maka pada awal bulan Syawal yaitu pada hari raya Lebaran, orang tua bisa mengapresiasi usaha yang telah dilakukan si anak dengan memberikan hadiah atau semacamnya. Hal ini penting untuk memotivasi anak supaya lebih giat dan semangat lagi menjalankan ibadahnya.

Di bulan Syawal juga, para orang tua dapat menekankan rasa tenggang rasa, rasa saling mencintai, dan saling menghormati kepada anak-anak mereka. Hal tersebut bisa dilakukan oleh orang tua dengan mencontohkan dan mengikutsertakan anak-anak mereka dalam amalan seperti memberikan zakat fitri, halal bi halal dan silaturrahim dengan sanak saudara, dan menekankan anak untuk memberi dan meminta maaf kepada orang lain.

Dengan hal tersebut anak akan merasa diakui oleh orang tua, sehingga kedekatan anak dengan orangtua tidak renggang. Dengan hal tersebut juga, anak dapat belajar bagaimana bersosialisasi dengan sesama, baik kerabat maupun tidak, baik itu dengan orang yang lebih tinggi strata sosialnya atau dengan orang yang lebih rendah strata sosialnya, sehingga di masa depannya, anak mampu menjadi manusia yang toleran, terhormat, dan pengasih kepada setiap insan.

Sumber Bacaan:
Buku Parenting Skills

By Admin

Media Keilmuan dan Keislaman