Ramadan adalah bulan mulia dan istimewa. Dikatakan demikian, karena pada bulan Ramadhan inilah diturunkan al-Qur’an, serta dilipatgandakan ganjaran amal ibadah baik yang wajib maupun sunnah. Pada artikel kali ini kami akan membahas amalan wajib pada bulan Ramadhan, yaitu puasa. Puasa yang kami bahas kali ini pun hanya sebatas sejarahnya dalam kajian tafsir al-Qur’an dan Hadis.

Sebagai pendahuluan, ada baiknya kita mengetahui dalil yang melandasi kewajiban berpuasa;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kamu agar kamu bertaqwa (al-Baqarah : 183).

Ayat ini mungkin sudah melekat di kepala kita karena seringnya kita mendengar ayat ini pada bulan Ramadhan. Memang ayat ini merupakan ayat yang melandasi kewajiban berpuasa, tetapi puasa yang diwajibkan di sini adalah puasa sebagaimana puasanya umat terdahulu, jadi ayat ini tidak memutlakan kewajiban puasa Ramadhan seperti yang kita amalkan saat ini, melainkan melakukannya seperti puasa umat terdahulu.

Puasa Umat Terdahulu

Seperti yang disebutkan di atas, bahwa kita wajib berpuasa seperti puasanya umat terdahulu, Siapakah umat terdahulu itu? Bagaimanakah puasa umat terdahulu?

Pada dasarnya, substansi puasa umat terdahulu dan umat Islam masa kini tidak berbeda, yaitu menahan diri dari makan-minum dan tekanan syahwat selama sehari penuh. Para ulama sepakat akan hal ini, hanya saja mereka berbeda dalam pelafalan makna puasa itu sendiri. Selain itu perbedaan puasa umat terdahulu dan umat Islam saat ini hanya terdapat dalam kaifiyatnya saja.

Puasa umat Islam saat ini merupakan puasa yang paling mudah, setelah melalui berbagai tahapan perintah. Sebagaimana shalat, yang setelah melalui berbagai tahapan menjadi lebih ringan dibandingkan dengan asal jumlah diwajibkan shalat, dari lima puluh waktu menjadi lima waktu dalam sehari. Tahapan perubahan puasa tersebut juga akan kami bahas di sini sebagai pelengkap sejarah puasa dari dulu hingga kini.

Merujuk kepada riwayat Ibnu Abi Hatim dari Imam adh Dhohhak, yang dimaksud dari umat terdahulu adalah umat Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Puasa dari pendapat ini, menurut beliau, pertama kali dipraktekkan oleh Nabi Nuh As. Konon kaifiyat puasa mereka yaitu dengan berpuasa tiga hari tiap bulannya, dimulai dari malam hingga tiba malam lagi. Puasa tersebut dimulai setelah mereka tidur. Jika pada malam hari mereka belum tidur, mereka diperbolehkan makan-minum dan melakukan berbagai aktifitas lainnya yang dilarang ketika puasa. Namun jika mereka telah tidur walaupun di sore hari dan terbangun pada malam harinya, mereka tetap tidak dibolehkan melakukan hal-hal tersebut, karena puasa mereka dimulai “ketika tidur”. Puasa seperti ini juga dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya pada awal masa Islam.

Pendapat kedua, maksud dari “umat terdahulu” adalah ahlul kitab, umat Yahudi dan Nasrani. Umat Yahudi dan Nasrani diwajibkan pula atas mereka puasa Ramadhan, prakteknya sama dengan puasa umat Islam saat ini, hanya saja yang membedakan puasa mereka dengan puasa umat Islam adalah makan sahur.

(قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فصل ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحر (رواه مسلم

Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur (HR. Muslim)

Walaupun diwajibkan atas mereka puasa Ramadhan, tetapi umat Yahudi dan Nasrani mengubah tatacaranya. Umat Yahudi setelah diwajibkan atas mereka puasa ramadhan, mereka tidak mengamalkannya. Mereka hanya melaksanakan puasa sehari tiap tahunnya, dimana mereka meyakini bahwa hari tersebut adalah hari kematian Fir’aun, padahal mereka telah berdusta akan hal itu karena hari yang mereka maksud adalah hari asyuro sesuai tuntunan Rasulullah Saw. Sedangkan umat Nasrani berpuasa ramadan dan menambah puasa mereka menjadi lima puluh hari. Pendapat ini dikemukakan Imam Arrazi dalam tafsirnya melalui riwayat Imam Hasan al-Bashri. Pendapat ini juga seperti yang diungkapkan oleh Qatadah, as-Sya’bi juga Mujahid, sebagaimana yang dikutip Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya.

Imam Thabrani meriwayatkan dari Ma’qil bin Handzalah, dari Nabi Saw. Berkata: bagi umat Nasrani kewajiban puasa ramadan, lalu raja mereka sakit, mereka berkata: seandainya Allah menyembuhkannya maka kami bernadzar akan menambah (puasa kami) sepuluh hari,lalu datang raja mereka yang lain sakit, mereka berkata: seandainya Allah menyembuhkannya maka kami akan menambah puasa kami tujuh hari. Dan ada dari mereka raja yang lain lagi, mereka mengatakan: tidaklah tiga hari ini meninggalkan apapun, maka kami menyempurnakannya dan kami jadikan puasa kami pada musim semi, lalu mereka kerjakan puasa tersebut menjadi lima puluh hari). Inilah makna dari ayat “dan mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka tuhan selain Allah” (at-Taubah: 31).

Dari dua pendapat ini, masing-masing memiliki konsekuensi, jika kita berpegang pada pendapat pertama, maka letak tasybih dalam kalimat “كما كتب على الذين من قبلكم” yaitu antara umat Islam saat ini dan umat terdahulu adalah kesamaan puasa secara mutlak, dengan berpuasa tiga hari tiap bulannya dimulai dari malam sebelum tidur hingga malam lagi. Dan penyerupaan tersebut mengalami pergeseran setelah turunnya kewajiban puasa Ramadhan.

Namun jika kita berpegang pada pendapat kedua, bahwa kewajiban puasa Ramadhan telah ada sebelumnya, maka tidak ada perbedaan kecuali hanya terdapat dalam kaifiyatnya saja, yaitu umat Islam melaksanakan sahur dan umat terdahulu tidak sahur.

Tahap Perubahan Praktek Puasa

Setidaknya, menurut sahabat Muadz bin Jabal, puasa umat Islam saat ini telah mengalami tiga kali perubahan dihitung dari pertama kali diwajibkannya atas umat Islam, yaitu pada tahun kedua hijriyah;

Pertama, ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, lalu Nabi Saw. berpuasa tiga hari tiap bulannya dan juga berpuasa Asyuro. Ketika Allah menurunkan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang ditentukan, maka siapa saja di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari (yang ditinggalkan itu) pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin, siapa saja yang dengan rela mengerjakan kebajikan (memberi makan lebih dari satu orang miskin untuk satu hari), maka itulah yang terbaik baginya, dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 183-184)

Saat itu umat Muslim diberi pilihan, bagi yang ingin berpuasa maka baginya berpuasa dan yang tidak ingin berpuasa maka baginya fidyah memberi makan orang miskin.

Lalu turun ayat lain,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Maka siapa saja yang hadir dalam bulan itu baginya berpuasa (QS. al-Baqarah: 185)

Maka saat itu, puasa diwajibkan secara mutlak untuk orang mukim yang sehat, dan diperbolehkan untuk tidak berpuasa bagi yang sakit dan bagi yang berpergian. Hanya saja mereka wajib mengganti puasanya di hari lain, dan ditetapkan bagi orang yang sudah tidak sanggup untuk berpuasa membayar fidyah memberi makan orang miskin, ini adalah tahap puasa kedua.

Disebutkan dalam satu riwayat bahwa Qais bin Shurmah al-Anshari adalah seorang petani, ia bekerja di ladang dalam keadaan berpuasa, hingga ketika sore hari ia pulang lalu sholat Isya’ dan tertidur karena kelelahan dalam keadaan belum makan dan minum. Malam harinya ia terbangun, karena ia sudah tidur, maka tetap diwajibkan atasnya puasa meski belum makan dan minum. Esok paginya kembalilah ia bekerja di ladang. Karena perutnya kosong dan belum terisi apa-apa, ia jatuh pingsan hingga ia ramai dibicarakan.

Juga dalam kasus lain, diriwayatkan bahwa sahabat Umar bin Khattab Ra. menggauli istrinya setelah bangun dari tidur. Nabi Saw. pun mengetahui kabar tersebut, lalu turunlah ayat:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ…

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa berhubungan seksual dengan istri-istrimu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampunimu dan memberi maaf kepadamu… (QS. al-Baqarah: 187).

Ketika ayat ini turun, dimulailah praktek puasa persis seperti puasa kita saat ini: dimulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Pada malam harinya kita dibebaskan melakukan hal yang halal ketika pada siang hari di luar bulan Ramadhan.

Rupanya, dengan puasa yang ringan saat ini pun masih banyak yang mencari alasan tidak berpuasa. Padahal dirinya sehat dan tidak dalam keadaan safar, juga tiada halangan berarti. Bayangkan jika praktek puasa saat ini seperti puasa umat terdahulu, mungkin hanya segelintir orang yang mengamalkan puasa, karena memang puasa umat terdahulu dan pada masa awal Islam hemat kami lebih berat dari puasa saat ini.

Begitulah tahapan sejarah puasa dimulai dari umat terdahulu sampai pada puasa umat Islam saat ini. Jadi, kewajiban puasa ramadan tidak hanya yang terdapat di al-baqarah ayat 183 saja, melainkan juga di ayat-ayat berikutnya, namun sungguh disayangkan, masih banyak dari kita yang belum mengetahui hal ini, oleh karena itu semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi jariyah bagi penulis. Wallahu a’lam bisshowab.

Baca juga: Meneladani Aktifitas Ramadhan Rasulullah atau tulisan lain dari Kenang Nurullah