Oleh: Diki Ramdani*

Islam sebagai agama yang komprehensif (syamil) menetapakan ibadah sebagai wujud loyalitas hamba terhadap Rabb-nya. Islam tidak hanya menetapkan ibadah yang bersifat individual (qashirah), dimana dampak dan manfaatnya hanya bisa dirasakan oleh pelakunya saja. Islam juga menetapakn ibadah yang bersifat sosial (muta’addiyah), dimana dampak dan manfaatnya bisa dirasakan oleh pelakunya dan orang lain.

Kedua sifat ibadah tersebut, dapat kita ketahui manakala kita memahami ajaran Islam secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong. Salah satunya adalah puasa Ramadhan. Puasa ini diwajibkan bagi umat Islam selama satu bulan dalam setahun, sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Surat Al-Baqarah:183)

Secara eksplisit, kita dapat mengetahui kedudukan ibadah puasa sebagai ibadah yang bersifat individual. Sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (W.261 H)

إِنَّ الصَّوْمَ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ
Artinya:
“..sesungguhnya puasa itu untuk Aku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya…”

Puasa adalah bentuk ibadah yang tidak terlihat pada tampak lahir pelakunya, sehingga mestinya jauh dari sifat ingin dilihat orang (riya) – kecuali jika ia memberitahu orang lain bahwa ia sedang berpuasa, ini dikhawatirkan dapat menimbulkan riya. Oleh karenanya, dalam hadis di atas Allah Swt. menyatakan bahwa hamba-Nya yang tulus menjalankan ibadah semata-mata untuk melaksanakan kewajiban dari-Nya akan mendapat “kemesraan” dari-Nya. Wahbah al-Zuhaili (W.1435 H) menyebutkan dalam kitab al-Tafsir al-Munir, puasa merupakan rahasia antara hamba dengan Rabb-Nya.

Hadis di atas jika dipahami secara tekstual, ibadah puasa adalah bersifat individual. Keuntungan, manfaat, dan dampaknya hanya bisa dirasakan oleh si pelakunya saja. Namun, secara implisit kita dapat menggali lebih jauh kedudukan ibadah puasa sebagai ibadah sosial. Untuk mengetahui hal tersebut, kita harus mengetahui tujuan dari puasa itu sendiri, yaitu untuk menjadi orang-orang yang bertakwa.

Dalam al-Qur’an Allah s.w.t menjelaskan ciri-ciri orang yang bertakwa, dalam dua surat. pertama dalam surat al-Baqarah ayat 3-4.

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُون

Yaitu (orang-orang yang bertakwa) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka (3) dan mereka yang beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum kamu. Dan mereka yakin akan adanya akhirat (4)

Dalam kandungan ayat ini bisa dipahami bahwa ciri orang bertakwa adalah memiliki kepedulian dengan sesama, semisal seseorang yang menginfakkan sebagian harta yang dimilikinya. Seakan-akan ayat ini membuka peluang bagi orang-orang yang mampu secara materiil, untuk melakukan ibadah sosial sebanyak-banyaknya dengan shadaqoh, zakat, nafkah. Sehingga, prestasi ibadah individual dan ibadah sosial dapat berjalan secara seimbang.

Kemudian yang kedua, dalam surat Ali-Imran ayat : 134-135

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134) وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Artinya :
Yaitu orang-orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan (134) dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau mendzhalimi diri sendiri, segera mengingat Allah s.w.t lalu memhohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedangkan mereka mengetahui (135)

Jika dalam surat al-Baqarah sebagaimana yang disebutkan di atas, ibadah sosial hanya terbatas kepada infaq melalui harta saja, di ayat ini Allah menyebutkan tiga rangkaian ibadah sosial, yang membuka kesempatan selebar-lebarnya untuk menggapai derajat ketakwaan, bagi yang mampu secara materiil maupun yang kurang mampu. Sebab, dalam ayat ini tidak disebutkan kata amwal (harta). Jadi, dari sini bisa dipahami bahwa infaq bisa dilakukan siapa saja, baik dengan harta, tenaga, dan apa saja yang dimilikinya.

Selanjutnya, masih ciri-ciri orang yang bertakwa yang terkandung dalam ayat di atas, yaitu orang-orang yang mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Hal ini selaras dengan pesan moral dari puasa itu sendiri, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (W.256 H) dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu (W.58 H)

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ.
Artinya :
“Puasa adalah perisai, apabila salah seorang kalian sedang berpuasa maka hendaknya tidak berkata kotor dan membangkang. Jika ada orang yang mengajaknya bertengkar atau mencacinya, maka hendaknya ia katakan, ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’.”.

Menurut al-Imam an-Nawawi (w.676 H) rahimahullah, orang yang berpuasa itu apabila ada orang yang mencaci dan mengajaknya bertengkar hendaknya ia mengatakan dengan lisannya ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’ karena diharapkan akan menguatkan hatinya untuk menyadari makna puasa.

Dari ayat al-Qur’an dan hadis di atas, korelasi antara puasa dengan ibadah sosial sekurang-kurangnya terdapat dua pelajaran :
1. Orang yang berpuasa harus lebih berhati-hati dalam berkata, jangan sampai keluar perkataan buruk dari mulutnya. Seperti berdusta, menghina orang lain, membicarakan ‘aib saudaranya dan perkataan membuat hati orang tersakiti. Setelah ia berpuasa ia terbiasa menjaga perkataannya dari hal-hal buruk tersebut. Orang yang berpuasa dilatih selalu memperhatikan keadaan sosial, agar ia tidak hancur disebabkan oleh perkataannya.

2. Orang yang berpuasa tidak makan dan minum seharian, setidaknya ia bisa menginsafi, bagaimana rasanya menjadi orang-orang kelas bawah yang hidupnya serba kekurangan dan kesulitan. Dengan lapar dan dahaga itu diharapkan, bisa terbangun rasa kepedulian terhadap sesama, lalu ia infakkan sebagian hartanya untuk orang-orang yang kurang mampu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Tafsir al-Munir: “Puasa melatih diri agar menumbuhkan rasa kasih sayang dengan faqir miskin dan orang yang sulit menemukan makanan. Sehingga termotivasi untuk memberi”. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah mahasantri semester 4 Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences asal Sukabumi, dan mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta.

Baca juga: Hikmah Moral Berpuasa

By Admin

Media Keilmuan dan Keislaman