Mengenal Karakter Ibadurrahman (Hamba Yang Maha Pengasih) (1)
Mengenal Karakter Ibadurrahman (Hamba Yang Maha Pengasih) (1)
Manusia dan jin diciptakan ke dunia ini semata-mata hanyalah untuk menyembah Allah Swt, dengan menghamba kepada-Nya . Al-Qur’an dengan gamblang mengisyaratkan hal demikian, sebagaimana tertuang dalam surat al-Dzariyat ayat 17 :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk menyembah-Ku semata.”
Ada banyak cara agar kita menjadi hamba Allah yang baik dan sesuai dengan tuntunan-Mya. Dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 63-74 Allah menerangkan secara rinci karakter hamba-Nya. Dalam rangkaian ayat ini Allah menggunakan redaksi Ibadurrahman (hamba Yang Maha Pengasih). Ada 10 karakter yang disebut oleh Allah Swt yang menjadi ciri Ibadurrahman.
Pertama, karakter Ibadurrahman adalah yang rendah hati dan membalas keburukan dengan kebaikan.
Allah berfirman :
وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka, hamba-hamba Allah, senantiasa berjalan di muka bumi ini dengan tenang dan berwibawa tanpa ada unsur kesombongan dalam dirinya. Beliau juga menegaskan bahwa sikap rendah hati tidak mesti diekspresikan dengan menunduk yang dibuat-buat, akan tetapi berjalan sebagaimana biasa namun dengan penuh ketenangan.
Dan, apabila ada orang bodoh berlaku buruk padanya, ia tidak membalasnya dengan keburukan, akan tetapi memaafkannya. Tidak berkata-kata kepada mereka melainkan perkataan yang baik, hal ini sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Kedua, karakter Ibadurrahman adalah menghidupkan malamnya untuk beribadah kepada Allah Swt.
Allah Swt berfirman :
وَٱلَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَٰمًا
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.”
Yakni mereka yang bermalam, beriktikaf, menghidupkan malam harinya untuk Tuhan mereka dengan shalat baik itu dengan bersujud atau tegak berdiri di atas kaki mereka. Dalam tafsirnya, Imam Husain bin Mas’ud al-Baghawi dalam tafsirnya, Ma’alim a-Tanzil, menyitir sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang shalat Isya berjama’ah maka ia laksana menghidupkan setengah malam, siapa yang shalat subuh berjama’ah maka ia seakan menghidupkan malam seluruhnya.”
Tentu hal tersebut juga bisa dimakknai dengan menegakkan shalat sunnah tahajjud, witir dan shalat sunnah-sunnah malam lainnya. Mereka yang melakukan amalan ini oleh Allah juga digolongkan sebagai laku orang yang beriman pada ayat-ayat-Nya, hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat As-Sajdah ayat 15-16.
“Orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, hanyalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengannya (ayat-ayat Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, dan mereka tidak menyombongkan diri (15). Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka (16).”
Yang ketiga adalah mereka yang berdoa “Semoga Allah jauhkan azab Jahannam dari kami!”
Allah berfirman,
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
65. Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. (Al-Furqon : 65)
Ibadurrahman (hamba Allah yang Maha Pengasih) adalah mereka yang menginsafi kadar kelemahan dirinya sebagai hamba Allah yang dhaif, yang penuh dengan kekeliruan, untuk itu mereka senantiasa berdoa agar dijauhkan dari siksa neraka yang mengerikan dan agar terhindar dari azab-Nya. Imam at-Thabari dalam Jami’ul Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an menegaskan hal ini saat menafsirkan ayat tersebut.
Panjatan doa mereka agar dihindarkan dari tempat yang buruk tersebut juga dilandasi dari cita-cita utama mereka hidup di muka bumi ini, yakni menjadi kekasih-Nya, menjadi hamba yang dikasihi Sang Maha Pengasih. Tentu, masuk ke dalam siksa-Nya jauh bertolak belakang dari yang mereka citakan serta berpotensi menghalangi mereka mendapat kasih-Nya.
Yang keempat adalah yang menginfakkan harta dengan proporsional
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
67. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Menginfakkan harta di jalan Allah merupakan bagian dari ibadah yang disenangi oleh Allah Swt, hal tersebut juga dikategorikan sebagai ciri orang bertakwa (lihat surat al-Baqoroh ayat 3). Memperinci amal ibadah tersebut, Allah Swt menegaskan bahwa berinfak tidak boleh berlebihan atau bahkan minim sekali, berinfak secara proporsional adalah hal yang lebih bijak.
Allah Swt memaklumi bahwa kendati kita sangat bersemangat berinfak di jalan Allah Swt, tetap ada kewajiban-kewajiban duniawi lain yang mengharuskan kita menyisihkan sebagian harta-harta kita, untuk itu Allah menegaskan agar jangan berlebihan. Bagi mereka yang jarang sekali berinfakpun Allah menegur agar jangan terlalu kikir dalam memberi, bagaimanapun di sana ada hak yang harus ditunaikan berupa infak di jalan Allah.
Al-Qutrhubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menegaskan bahwa bertindak proporsional dalam berinfak merupakan bagian dari adab syariat. Atas hal ini beliau pernah mengabaikan (tidak mengindahkan) Abu Bakar radiyallahu anhu yang ingin menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, Nabi juga melarang hal ini kepada para sahabat yang lain.