Majalahnabawi.com-Dalam ilmu Hadis  istilah Jarh dan Ta’dil sangatlah masyhur dalam penilaian rawi pada sebuah Hadis. Dalam hal ini, masing-masing ulama memiliki ungkapan atau istilah tersendiri dalam memberikan penilaian terhadap seorang rawi. Misalnya, lafaz jarh yang ditujukan kepada rawi yang ke-dhabit-annya berkurang di akhir usianya diibaratkan dengan 3 lafaz ; “Taghayyara bi akhirih” (تغير بأخره), atau” taghayyara bi akhirah” (تغير بأخرة), atau “taghayyara bi akharah” (تغير بأخرة). Contoh lainnya, pada lafaz ta’dil;  “laa ba’sa bih” (لَا بَأْسَ بِهِ) atau “laysa bihii ba’sun” (ليس به بأس).

Dalam jarh wa ta’dil terdapat perbedaan lafaz yang para ulama gunakan, juga menunjukkan terdapatnya perbedaan tingkatan lafaz jarh wa ta’dil tersebut. Sebut saja, tingkatan lafaz ta’dil tertinggi menurut Imam al-Zahabi adalah “Tsubut Hujjatun”, “Tsubutun Haafizun”, “Tsiqaatun Mutqin”, dan “Tsiqqah Tsiqqah”. Sedangkan menurut Imam al-Sakhawi tingkatan lafaz ta’dil tertinggi adalah : lafaz yang menggunakan sighat tafdhil af’ala” seperti “awtsaq al-khuluq”, “atsbat al-naas”, “asdaqu man adraktu min al-basyar”, dan lain-lain.  Akan tetapi, perbedaan tingkatan lafaz di kalangan para ulama ini  tetap saja bermuara kembali pada 3 tingkatan asalnya, yaitu:

  • Tingkatan tertinggi ialah tingkatan shaalihun li al-ihtijaj (bisa/ layak menjadi hujjah)
  • Tingkat kedua (di tengah) ialah tingkatan i’tibar
  • Tingkatan ketiga (terendah) ialah tingkatan al-tark (tidak terkabul sebagai  hujjah)

Berikut tingkatan lafaz jarh dan ta’dil menurut beberapa ulama:

Tingkatan Lafaz Jarh dan Ta’dil menurut Imam al- Hafiz al-Zahabi  (w. 748 H)

Tingkatan Lafaz Ta’dil

1.Tingkatan tertinggi ; Tsubutun hujjatun, Tsubutun hafizun, Tsiqah mutqin, dan Tsiqah tsiqah

2. Tingkatan kedua; Tsiqah

3. Tingkatan ketiga; Shaduq, laa ba’sa biih, laysa bihi ba’sun

4. Tingkatan keempat: Mahalluhu al-shidqu, jayyid al-Hadits, salih al-Hadits,  Syaikh wasth, syaikhun hasan al-Hadits, shaduq insya Allah, dan shuwaylihun.

Tingkatan Lafaz Jarh

Tingkatan terendah; Yudha’afu, fiihi dha’fun, qad dhu’ifa, laysa bi al-qawiyy, laysa bihujjah, ta’rifu wa tankiru, fiihi maqalun, layyin, laa yuhtaju bih, dan lain-lain

Tingkatan kedua : dhai’fun, dhai’f al-Hadits, mudhtaribuhu.

Tingkatan ketiga : waahin bi marrah, laysa bi sya’in, dha’ifun jiddan, dha’ifun waahin, munkir al-Hadits.

Tingkatan keempat : Matruk, laysa bi al-Tsiqqah, sakatuu ‘anhu, zaahib al-Hadits, haalikun, saaqitun, dan lain-lain.

Tingkatan kelima : Muttahamun bi al-Kizib, Muttafaq ‘ala tarkihi.

Tingkatan keenam (paling parah) : Dajjal, kazzab, wadha’un, yadha’ al-Hadits.

Tingkatan keempat, lima dan enam dari lafaz jarh di atas, riwayatnya mardud tertolak. Berikutnya, tingkatan kedua dan ketiga maka riwayatnya dha’if. Sedangkan tingkatan jarh pertama (paling ringan) riwayatnya dha’fun yasiirun (sedikit dho’if) dan menurut satu pendapat riwayatnya boleh digunakan untuk berhujjah.

Tingkatan Lafaz Jarh dan Ta’dil Menurut Imam Ibn Abi Hatim (w. 327 H)

  1. Tingkatan Lafaz Ta’dil
  2. Tingkatan pertama (tertinggi); Tsiqqah, Mutqin tsubut, maka riwayatnya shahih dan boleh dijadikan hujjah.
  3. Tingkatan kedua : Shaduq, mahalluhu al-Shidqu, laa ba’sa bih.
  4. Tingkatan ketiga : Syaikhun.
  5. Tingkatan keempat : Shalih al-Hadits,
  6. Tingkatan Lafaz Jarh
  7. Tingkatan pertama (terendah) :Layyin al-hadits
  8. Tingkatan kedua : Laysa biqawiiyy
  9. Tingkatan ketiga : Dhai’f al-Hadits
  10. Tingkatan keempat (terparah) : Matruk al-Hadits, Zaahib al-Hadits, Kazzab.

Menurut Imam Ibn Abi Hatim, tiga tingkatan pertama dalam lafaz jarh di atas status riwayatnya masih bisa dii’tibar dengan hadits- hadits syawahid dan tawabi’ nya. Dan setiap lafaznya memiliki kekuatan yang berbeda satu sama lain. Dan pada tingkatan jarh keempat yakni jarh terparah, Imam Ibn Hatim menyamakan posisi matruk al-Hadits dengan Kazzab (padahal Kazzab lebih parah dibanding matruk al-Hadits) karena status riwayatnya sama-sama mardud laa yuktabu haaditsuhu.