Majalahnabawi.com – Ian G. Barbour, dalam bukunya “Religion and Science” (1986) mengklasifikasikan hubungan agama dan ilmu pengetahuan ke dalam empat corak; konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Dua corak yang pertama dinilai oleh Prof. Amin Abdullah sebagai paradigma yang sering memicu timbulnya ketegangan antara agamawan dan ilmuwan. Setidaknya ada dua penyebab mengapa tegangan ini terus terjadi. Meskipun tidak selalu konstruktif.

Penyebab Ketegangan antara Agamawan dan Ilmuwan

Pertama, penafsiran sains dan teologi jarang, bahkan, menolak untuk saling berdialog dan berkomunikasi. Keduanya merasa tafsirannya terhadap realita adalah paling benar. Independensi keduanya adalah sesuatu yang penting, namun bukan berarti tidak mungkin untuk saling dengar.

Kedua, ketidakmampuan berpikir kreatif (creative imagination) antara agamawan dan ilmuwan. Karenanya, sains, teknologi, dan teologi sering saling curiga dan salah sangka. Bahkan terus dipertentangkan. Padahal, masih dimungkinkan untuk menggunakan paradigma dialog dan integrasi.

Dengan cara pandang yang dialogis dan integratif, sangat dimungkinkan sains, teknologi, dan teologi bertemu untuk saling menopang. Memaksimalkan keduanya untuk memahami realita. Lebih utuh dan menyeluruh. Agamawan akan terkayakan cara pandangnya melihat kondisi objektif di masyarakat. Diterangi oleh ilmu pengetahuan dan penelitian empirik. Di satu sisi, ilmuwan juga akan mendapatkan insight transedensi dari laku empirisnya. Jalinan ini sebagaimana dulu diwartakan oleh ilmuwan Yahudi, Albert Einstein (1879-1955); “Religion without science is blind. Science without religion is paralyzed” (Agama tanpa ilmu adalah buta. Ilmu tanpa agama adalah lumpuh).

Pandemi Covid-19

Hingga saat ini, pandemi Covid 19 belum diketahui kapan berakhirnya. Berbagai upaya terus dilakukan. Doa terus dipanjatkan. Dengan harapan, sinergi antara ikhtiar dan doa dapat menjadi jalan terbaik menghadapi musibah pandemi. Bagi seorang mukmin, musibah adalah sebuah sunnatullah. Kepastian Allah ta’ala bagi hamba-Nya. Musibah merupakan ujian bagi kualitas keimanan. Dalam surat al-Ankabut ayat 2-3, Allah menegaskan bahwa seorang hamba tidak cukup berkata telah beriman, seraya tidak diuji. Allah akan menurunkan ujian dalam bentuk musibah untuk mengetahui ketulusan iman.

Dalam surat al-Baqarah ayat 155, musibah ini dapat berupa rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, ataupun buah-buahan. Dalam situasi pandemi Covid-19, pasti di antara kita merasa khawatir dan was-was dengan kesehatan pribadi ataupun keluarga. Aktivitas di luar rumah sangat terbatasi. Kondisi perekonomian mengalami resesi. Namun demikian, jika kita sabar, yakni dengan terus menyeimbangkan ikhtiar dan tawakal, maka Allah ta’ala menjanjikan berita gembira. Di antaranya adalah pengampunan dosa.

Maka tidak aneh jika dalam hadis shahih riwayat Imam Muslim (204-261 H), kanjeng Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa adalah sebuah kebaikan yang besar jika seorang mukmin ditimpa musibah, lantas menerimanya dengan sabar. Karena itu, Syekh Abdul Qadir al-Jilani (470-561 H), sempat berwasiat kepada putranya; “Wahai putraku, musibah bukanlah untuk merusak dan membinasakan-mu, tetapi musibah tidak lain adalah untuk menguji kesabaran dan keimanan-mu.”

Semoga kita dapat bijak menyikapi dan menghadapi musibah pandemi.

By Muhammad Hanifuddin

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences