Majalahnabawi.comHalloween sudah menjadi momen yang tak asing di telinga. Acara tahunan setiap tanggal 31 Oktober ini biasa kita temukan di beberapa negara. Kegiatan saat Halloween meliputi trick or treat (hal terkait penyamaran dengan kostum seram), menghadiri pesta kostum Halloween, mendekorasi, mengukir waluh menjadi Jack-o’-lantern, menyalakan api unggun besar, permainan ramalan atau penenungan, apple bobbing, bermain lelucon praktis, mengunjungi atraksi berhantu, menceritakan dongeng menakutkan, dan menonton film horor. Namun apa jadinya bila festival semacam ini dilakukan oleh umat Islam? Padahal Islam tidak menganjurkan, pun tidak melarangnya, terlebih di daerah Islam seperti Arab Saudi.

Festival Halloween di Arab Saudi

Baru-baru ini, di hari Kamis dan Jumat tanggal 28-29 Oktober hingga pada tanggal 31 Oktober 2022, Boulevard Riyadh di Arab Saudi membuat netizen heboh. Bagaimana tidak, mereka merayakan festival Halloween yang biasanya kita sebut-sebut sebagai tradisi umat non-Islam. Pada festival saat itu, masyarakat Arab Saudi antusias untuk ikut serta dan memeriahkannya. Jalan-jalan dipenuhi orang-orang yang berkostum hantu sebagaimana festival Halloween pada umumnya. Pemerintah Arab Saudi juga tak lagi melarang masyarakat untuk memeriahkan festival tersebut. Mereka beranggapan selagi hal itu merupakan kesenangan dan kebahagiaan bagi rakyatnya maka silahkan saja. Lalu bagaimana respon Islam terhadap fenomena ini?

Bahagia dalam Al-Quran

Merupakan sebuah fakta bahwa Allah Swt. juga memerintahkan untuk senantiasa bahagia.  Allah Swt. berfirman dalam surat Yunus ayat 58

قُلۡ بِفَضۡلِ ٱللَّهِ وَبِرَحۡمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ ‌فَلۡيَفۡرَحُواْ هُوَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ 

“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Dan surat al Hajj ayat 32

ذَٰلِكَۖ وَمَن ‌يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ 

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”

Dari dua ayat di atas, Allah memerintahkan Nabi dan kaum muslimin untuk senantiasa gembira. Namun perlu kita perhatikan, bahwa cara kegembiraan tersebut harus berada di jalan-Nya yang benar. Dari sini lah, perlu adanya batasan dan syariat yang membarengi syiar kegembiraan tersebut sehingga sampai pada tujuan utama yakni meneguhkan dan meningkatkan takwa kita. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah festival Halloween tersebut bisa meningkatkan ketakwaan atau malah membuat lalai?

Rekontekstualisasi Makna “Perayaan” dalam Hadis

Mengutip dari kitab Shohih Bukhari, ada sebuah hadis riwayat Anas bin Malik (w. 93 H) tentang perayaan.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ، قَالَ: مَا هَذَا؟ قَالَ: إِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ، قَالَ: بَارَكَ اللَّهُ لَكَ، ‌أَوْلِمْ ‌وَلَوْ ‌بِشَاةٍ

“Dari Anas r.a bahwasanya Nabi pernah pernah melihat bekas kekuningan (karena wewangian dari minyak za’faran dan semacamnya) pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau bersabda: “Apa ini?”. Ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas. Beliau bersabda: “Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.

Konteks hadis tersebut adalah anjuran Nabi untuk seorang sahabat yang baru saja menikah dengan cara menyelenggarakan walimah. Walimah sendiri merupakan bentuk pesta atau perayaan dengan menyediakan berbagai macam hidangan makanan untuk para tamu secara cuma-cuma.

Bila kita kontekstualisasikan makna dalam hadis tersebut, secara umum segala hal gembira patut kita syukuri dengan cara apapun. Entah dengan merayakannya bersama keluarga, atau dengan teman, atau mungkin dengan orang lain. Namun jangan lupa, tujuan dari adanya perayaan tersebut -sebagaimana dalam hadis- agar Allah memberikan berkah sebab kita mensyukuri nikmat-Nya, bukan malah lalai dan terlena akan nikmat-Nya.

Respon Ulama Fikih

Mengutip dari pendapat Sayyid Alawi Al-Maliki Al-Hasani (w. 1391 H) dalam kitabnya Majmu’ Fatawa wa Rasail, beliau berkomentar:

وَأَمَّا مَا كَانَ خَاصًّا بِالْكُفَّارِ وَزَيًّا مِنْ أَزْيَائِهِمْ الَّتِي جَعَلُوْهَا عَلَامَةً لَهُمْ كَلَبْسِ بَرْنِيْطَةٍ وَشَدِّ زِنَّارٍ وَطَرْطُوْرٍ يَهُوْدِيٍّ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَمَنْ لَبِسَهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ رِضًا بِهِمْ وَتَهَاوُنًا بِالدِّيْنِ وَمَيْلًا لِلْكَافِرِيْنَ فَهُوَ كُفْرٌ وَرِدَّةٌ وَالْعِيَاذُ بِاللهِ وَمَنْ لَبِسَهُ اسْتِخْفَافًا بِهِمْ وَاسْتِحْسَانًا لِلزَّيِّ دُوْنَ دِيْنِ الْكُفْرِ فَهُوَ إِثْمٌ قَرِيْبٌ مِنَ الْمُحَرَّمِ وَأَمَّا مَنْ لَبِسَهُ ضَرُوْرَةً كَأَسِيْرٍ عِنْدَ الْكُفَّارِ وَمُضْطَرٍّ لِلُبْسِ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَكَمَنْ لَبِسَهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ أَنَّهُ زِيٌّ خَاصٌّ بِالْكُفَّارِ وَعَلَامَةٌ عَلَيْهِمْ أَصْلًا لَكِنْ إِذَا عَلِمَ ذَلِكَ وَجَبَ خَلْعُهُ وَتَرْكُهُ

“Sesuatu atau atribut dan tanda yang khusus bagi non-muslim seperti memakai topi, mengikat sabuk dan peci tinggi seperti kaum Yahudi dan selainnya, siapa pun orang muslim yang mengenakannya seraya bahwa dirinya rela akan mereka, serta ada unsur meremehkan agama (Islam) dan condong kepada mereka maka hal itu adalah kufur dan murtad ­-na’udzu billah-.”

Siapa pun juga yang mengenakannya karena untuk menghina mereka namun menganggap indah hal tersebut bagi dirinya maka dosanya sama saja mendekati keharaman.

Dan siapa pun yang mengenakannya karena bahaya terpaksa seperti takut menjadi tawanan, atau terpaksa mengenakannya maka hal itu tak mengapa. Sebagaimana orang yang mengenakannya karena tidak tahu sama sekali bahwa itu merupakan atribut khusus mereka, namun bila mengetahuinya maka wajib melepasnya.

Dari kutipan di atas, memang ada beberapa unsur bagi orang muslim yang merayakan festival Halloween agar diklaim non-muslim. Di antaranya adalah; (1) Ia merayakannya karena rela akan kaum non-muslim (2) Ia merayakannya untuk menghina agama Islam (3) Ia merayakannya karena kecondongannya pada kaum non-muslim.

Kesimpulan

Dengan demikian, kita kembalikan pada diri masing-masing. Setiap orang memiliki hati dan ketakwaan yang berbeda-beda. Orang yang memiliki ketakwaan kuat akan berkeyakinan bahwa hal itu merupakan hal yang tidak patut bagi seorang mukmin karena bisa merusak ketakwaannya. Adanya agama Islam berawal dari Arab bukan berarti semua yang dari Arab harus kita ikuti. Karena tentunya, setiap negara memiliki umat islam dan aturannya masing-masing. Maka satu-satunya yang menyatukan umat islam di seluruh dunia ini adalah semua ajaran para-Nabi dan pewarisnya, bukan apa yang menjadi budaya, adat, aturan, dan sebagainya yang bersumber dari Arab.