Muhammad bin Basysyar, guru perawi hadis

majalahnabawi.com – Baca tahdid tidak selesai, telaah hadis tidak tuntas. Banyak ngarangnya, diskusi ke mana-mana. Ya, ini mendingan daripada gibah. Ya, kan? Baca satu dua hadis. Diskusi ke mana-mana. Atau, ketika sedang rajin, baca beberapa hadis, tapi tetap saja tahdid tidak selesai. Atau, tahdid selesai, asal baca, poin mualif tidak didapatkan. Poin didapat, tahdid selesai, tapi telaah hadis tidak tuntas. Banyak pengulangan, banyak pula yang ditinggalkan.

Mungkin pembaca sedang bingung dengan tulisan ini. Ngaji hadis itu apa? Ngaji kitab itu apa? Tiba-tiba bicara tahdid, pengalaman pribadi muzakarah (yang kolektif), ngaji hadis yang tidak tuntas. Apa maksudnya? Boleh lanjut, boleh ditinggalkan jika tidak tertarik.

Baiklah, kita lanjut untuk yang tertarik. Sederhananya, ngaji hadis itu ya menelaah sanad dan memahami isi hadis. Telaah dilakukan dengan bantuan al-kutub al-sittah (atau tis’ah) beserta syarahnya, bukan ngarang maksud hadis ke mana-mana. Sementara, ngaji kitab itu mencerna dengan singkat (atau mendalam) apa yang ingin mualif sampaikan. Jadi, ngaji kitab itu fokusnya bukan pada hadis (sanad dan matan secara keseluruhan), namun fokus pada Kitab-Bab-Isi Bab, sehingga bisa menangkap apa yang ingin mualif sampaikan: pemikiran mualif. Masih bingung? Oke, langsung ke contoh. Nanti, awal tulisan ini bisa dibaca lagi untuk lebih memahami kebingungan.

Contoh Ngaji Hadis & Ngaji Kitab

Contoh, Sabtu 28 Mei 2022, halaqah pagi Sahihain bersama Khadim Ma’had. Halaqah dilakukan dengan sistem munazara. Kelas dibagi dua kelompok lalu saling bertanya tentang suatu hadis. Hadis yang dibahas adalah hadis dalam tahdid yang dibaca oleh satu kelompok atas permintaan kelompok lain. Setelah tanya jawab hadis tersebut dianggap selesai, secara bergantian kelompok yang telah membaca meminta kelompok lain untuk membaca hadis kemudian dicecar pertanyaan. Dan begitu seterusnya sampai halaqah selesai. Tentunya, kadang ada pengarahan, tambahan, dan pelurusan dari Ustaz.

Pagi itu, hadis yang diminta oleh kelompok mitra untuk saya baca adalah hadis-hadis dalam Bab Hal Yuqal Ramadan Aw Syahr Ramadan (apakah disebut “Ramadan” atau “Bulan Ramadan”?) dalam Kitab al-Saum (Puasa) Sahih al-Bukhari. Ada tiga hadis di sana. Dua dari Abu Hurairah, satu dari Ibn Umar. Berikut tampilan penuh teks bab tersebut.

بَابٌ: هَلْ يُقَالُ: رَمَضَانُ أَوْ شَهْرُ رَمَضَانَ، وَمَنْ رَأَى كُلَّهُ وَاسِعًا، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، وَقَالَ: لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ

1898 .حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِي سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ

حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي أَنَسٍ مَوْلَى التَّيْمِيِّينَ، أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ، فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ. 1899

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمٌ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ. وَقَالَ غَيْرُهُ، عَنِ اللَّيْثِ، حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، وَيُونُسُ: لِهِلَالِ رَمَضَانَ. 1900

Teliti Sanad Hadis dan Matannya

Dengan contoh ini, kita perjelas secara praksis apa itu ngaji kitab dan apa itu ngaji hadis. Untuk ngaji kitab, mudah saja untuk membaca hadis-hadis ini. Hadis pertama dan ketiga ada kata “Ramadan” (tanpa syahr). Hadis kedua ada kata “Syahr Ramadan”. Sederhananya, sesuai judul Bab, Imam al-Bukhari seakan ingin menyampaikan dan berargumen dengan tiga hadis ini bahwa mau menyebut “Syahr Ramadan” atau “Ramadan” saja tanpa “syahr” itu boleh-boleh saja. Kemudian, langsung saja ke bab selanjutnya dengan cara baca yang sama sampai tahdid selesai dan poin mualif didapatkan. Ini yang saya maksud dengan ngaji kitab.

Kalau mau ngaji hadis, coba lihat hadis pertama dan kedua, lihat sanadnya. Hadis pertama dari Rasulullah > Abu Hurairah > Bapaknya Abu Suhail > Abu Suhail > Ismail bin Ja’far > Qutaibah > al-Bukhari. Hadis kedua dari Rasulullah > Abu Hurairah > Bapaknya Ibn Abi Anas > Ibn Abi Anas > Ibn Syihab > Uqail > al-Lais > Yahya Ibn Bukair > al-Bukhari. Fokus pada dua rawi setelah Abu Hurairah. Ternyata, dua rawi di hadis pertama dan dua rawi di hadis kedua tersebut adalah orang yang sama. Ternyata, Abu Suhail bernama Nafi bin Malik bin Abi Amir. Malik punya anak bernama Anas. Artinya, Nafi adalah anak dari bapaknya Anas (Ibn Abi Anas). Tapi kenapa Anas yang disebut, tidak langsung Nafi saja. Saya tidak tahu, hehe, tanya Ibn Syihab kenapa menyebut gurunya dengan Ibn Abi Anas. Atau, tanya al-Bukhari kenapa menulis begitu. Mungkin saja karena Anas lebih terkenal daripada Nafi. Anas adalah bapaknya Malik. Ya, Imam Malik yang terkenal itu. Imamnya Mazhab Malikiah dalam fikih. Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir.

Perbandingan Perawi dan Riwayat

Jika tidak teliti, pembaca akan terkecoh dengan perbedaan penyebutan ini. Tapi pengkaji hadis seharusnya memang tidak terkecoh. Artinya, dua riwayat ini sama-sama dari Nafi bin Malik (Abu Suhail ibn Abi Anas). Yang pertama diriwayatkan oleh Ismail bin Ja’far, yang kedua dari Ibn Syihab. Itu sedikit tentang sanad untuk ngaji hadis. Kalau mau diperluas, bisa kita ngaji hadis itu dalam al-kutub al-sittah (enam kitab hadis). Atau, nanggung, sekalian al-kutub al-tis’ah (sembilan kitab hadis).

Selain dari Abu Hurairah, matan serupa diriwayatkan dari Anas bin Malik, Utbah bin Farqad, dan satu rawi mubham (tidak disebutkan namanya). Riwayat-riwayat dari selain Abu Hurairah ini terdapat dalam Sunan al-Nasa’i (2103, 2107, 2108) dan Musnad Ahmad (13474, 18694, 18795, 23491). Hanya saja, riwayat-riwayat dari selain Abu Hurairah ini dikomentari oleh Imam al-Nasa’i, “hadza khatha‘” (ini salah).

Dari sembilan kitab hadis, hanya dalam Sunan Abi Daud yang tidak ditemukan riwayat hadis ini. Delapan kitab hadis yang lain meriwayatkan dari jalur yang beragam dan matan yang beragam pula. Ini sedikit tentang sanad, pembahasan bisa lebih mendalam. Bentuk singkat tapi menyeluruh telah saya buat dalam bentuk pohon sanad.

Kita lanjut ke pembahasan matan. Jika dalam ngaji kitab, matan hadis dalam bab ini cukup difokuskan pada kata Ramadan dan Syahr Ramadan, maka dalam ngaji hadis, fokus juga tertuju pada seluruh isi matan dalam semua ragamnya. Tentunya, ini setelah diambil ragam yang sahih dari sisi sanad. Karena sanad dari selain Abu Hurairah tadi “salah” kata Imam al-Nasa’i, maka kemudian fokus pada sanad-sanad yang bagus. Sanad yang tidak bagus bisa sebagai perbandingan untuk pemahaman.

Riwayat Silsilat al-Syaithan

Agar pembahasan tidak terlalu panjang, kita ambil satu poin contoh dari hadis ini. Ada kata sulsilat al-syayatin dalam matan hadis. Ketika ngaji kitab dalam bab Hal Yuqalu Ramadan au Syahr Ramadan di atas, poin matan sulsilat al-syayatin ini tak perlu dibahas. Tapi, ketika ngaji hadis, poin ini perlu dibahas. Ternyata, riwayat yang persis sama juga tertulis dalam Sahih al-Bukhari kitab Bad’ al-Khalq (Permulaan Penciptaan) bab Sifat Iblis wa Junudih (Sifat Iblis dan Bala Tentaranya) nomor hadis 3277. Nah, di bab inilah dalam ngaji kitab kata sulsilat al-syayatin dibahas. Sementara dalam ngaji hadis, tuntaskan sekalian semua pembahasan dalam hadis: kesimpulan apa saja yang bisa diambil dari hadis itu.

Agar tidak ngawur, pertama-tama membaca bagaimana para mualif memahami hadis tersebut dengan melihat di bab apa saja hadis tersebut diletakkan oleh para mualif kitab hadis. Baru kemudian bisa baca syarah-syarah hadis. Meskipun tidak berarti semua hal dalam hadis telah dibahas, namun cukuplah dengan cara ini ngaji hadis dianggap tuntas. Di antara kesimpulan yang bisa diambil dari hadis di atas adalah setan -yang termasuk bala tentara iblis- diikat ketika Bulan Ramadan. Cukup terlihat ya, bedanya ngaji kitab dan ngaji hadis. Boleh diskusi kemudian lanjut eksekusi jika memang signifikan dan berkontribusi. Maaf dan terima kasih.

By Nurul Mashuda

Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences