Pak Kiai sebagai Budayawan; Sebuah Wacana1

Majalahnabawi.com – Dari sekian banyak buku Pak Kiai yang telah diterbitkan dan mendapat sambutan luas, sampai saat ini saya justru masih dibuat terpesona dengan sebuah buku yang amat tipis dan cenderung tidak mendapat perhatian besar publik, bahkan oleh santri Darus-Sunnah sendiri. Buku ini nyaris terlupakan dan tidak banyak diperbicangkan. Sebuah buku berukuran saku yang tebalnya tidak lebih dari 30 halaman; tanpa ISBN, dibiayai dari wakaf Bank Syariah Bukopin, dan belum pernah dicetak ulang sejak 15 tahun lalu pertama kali diterbitkan.

Buku itu berjudul: Kidung Bilik Pesantren. Meski terasingkan, bagi saya buku ini seumpama mutiara berkilau yang tersembunyi di laut pengetahuan. Butuh upaya yang tekun dan serius untuk menemukan betapa kaya gagasan progresif dari sosok Pak Kiai. Buku yang mengantarkan pembaca untuk dapat memasuki dimensi lain dari pemikiran beliau yang begitu luas dan beragam.

Selama ini, beliau dikenal sebagai pakar Ilmu Hadis dan Hukum Islam. Namun, sedikit sekali—atau mungkin belum ada (?) kelompok studi yang coba membincangkan beliau sebagai sosok kiai yang memiliki kontribusi serta menaruh perhatian besar terhadap budaya dan sastra. Atau, jika boleh menggunakan bahasa yang agak hiperbolik, membincangkan beliau sebagai ulama yang memiliki identitas lain, yakni sastrawan sekaligus budayawan.

Memang, butuh argumentasi lebih lanjut untuk memperkuat klaim ini agar tidak sekadar bualan belaka. Maka, penting bagi para pengkaji, terutama para santri Darus-Sunnah sendiri, untuk mulai membuka perbincangan tentang kontribusi Pak Kiai dalam bidang budaya dan sastra.

Kesempatan mengisi kajian telaah pemikiran Pak Kiai yang dilaksanakan selama bulan Ramadan tahun ini, menjadi pintu masuk bagi saya untuk dapat memperkenalkan, membuka ruang diskusi, serta menyebarluaskan pandangan beliau tentang konsep kebudayaan islam yang moderat, humanis, dan penuh kreativitas.2 Budaya Islam yang menyatu dengan tradisi masyarakat lokal. Budaya Islam yang menggunakan bahasa dan gaya bertutur yang indah sebagai salah satu metode dalam berdakwah. Sehingga, kita bisa mengkaji lebih jauh dari pemikiran dan gagasan beliau, bagaimana sesungguhnya Islam, budaya, dan sastra saling menyublim dan berpadu-padan.

Pak Kiai, Sunan Kalijaga, dan Dhandanggula

Dalam kata pengantarnya, Dakwah Berbasis Kultural, Pak Kiai mengawali bagian paragraf pertama dengan mengutip sebuah buku yang ditulis Dr. Purwadi berjudul Dakwah Sunan Kalijaga yang menjelaskan bahwa salah satu upaya menyebarkan agama Islam di Jawa, Sunan Kalijaga menciptakan beberapa karya, baik dalam bentuk gubahan musik dan syair yang dinyanyikan, di antaranya: Gamelan Nagawilaga, Gamelan Guntur Madu, Gamelan Nyai Sekati, Gamelan Kiai Sekati, Wayang Kulit Purwa, Tembang Dhandhanggula, Syair-Syair Pujian Pesantren.

Menurut kesaksian Pak Kiai, di kalangan masyarakat Jawa sendiri, khususnya kaum santri, syair-syair pujian itu masih kerap dilantunkan dengan lagu Jawa hingga sekarang. Hal yang cukup menarik adalah syairnya bercampur antara bahasa Arab dan bahasa Jawa. Pernah pula, ketika saya mengikuti salat berjamaah di daerah Bogor, Jawa Barat, syair-syair pujian yang dilantukan seluruhnya bahkan menggunakan bahasa Sunda.

Isi dari syair-syair tersebut nyaris serupa: tentang keimanan, motivasi agama, dan akhlak. Syair-syair pujian itu dilantunkan menjelang salat berjamaah, sembari menanti kedatangan imam dan jemaah yang sedang melaksanakan salat sunnah. Tidak diketahui siapa sebenarnya yang mula-mula menciptakan syair-syair tersebut. Satu hal yang pasti, syair-syair itu diwariskan dari generasi ke generasi, dihafal oleh orang tua hingga anak-anak.

Sementara tembang Dhandhanggula, kendati sekarang masih eksis dan dapat didengar di mana-mana, namun tampaknya ia sudah pindah tangan. Dhandhanggula sudah diambil orang. Entah mengapa kaum santri justru tidak dapat merawat kidung ciptaan Sunan Kalijaga itu, apalagi mengembangkannya.

Dari Tradisi Maca ke Kidung Bahasa Asing

Pak Kiai menjelaskan, dari zaman dahulu di kalangan masyarakat Jawa dikenal budaya Maca. Secara harfiyah, Maca berarti membaca. Maca secara terminologis adalah melantunkan lagu-lagu yang isinya petuah-petuah keagamaan, atau cerita-cerita para Nabi (Anbiya). Karenanya, tradisi ini di belahan Jawa bagian selatan juga disebut ngambya, yang diambil dari kata anbiya.

Beliau mengamati tradisi ini di beberapa daerah, khususnya di Jawa Tengah. Dan beliau mendapati bahwa tradisi ini sudah mulai ditinggalkan masyarakatnya. Padahal, menurut beliau, dari segi dakwah dan budaya, tradisi maca memiliki nilai yang sangat luhur. Kini masyarakat lebih senang mendengarkan dan melantunkan syair lain yang isinya terkadang justru berseberangan dengan ajaran agama Islam.

Terilhami oleh faktor-faktor tersebut, beliau berpendapat bahwa apa yang telah diciptakan oleh para wali, khususnya Sunan Kalijaga, yaitu berdakwah dengan basis kultural perlu mendapat perhatian dan harus tetap dilestarikan. Tradisi maca perlu dihidupkan kembali di era kini, karena berdampak positif dan dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan etika masyarakat.

Hal ini selaras dengan konsep dasar sastra Islam yang muncul sebagai media dakwah dan berlandaskan kepada norma ajaran Islam serta bertujuan menyempurnakan akhlak manusia

Tak ayal atas dasar itulah beliau menyusun dan melantunkan beberapa kidung dengan untaian puisi yang bernuansakan religius. Beliau menyusun sepuluh judul kidung yang uniknya, tidak hanya berbahasa Jawa dan Indonesia, melainkan bahasa Arab dan Inggris. Kidung-kidung itu disadur dari Kidung Dhandanggula hingga hasil kontemplasi beliau sendiri.

Adapun penamaan judul buku ini, beliau menyatakan:

“Diberi nama Kidung Bilik Pesantren, karena ia lahir dari bilik pesantren, di samping isinya memang ajaran-ajaran yang lazim dikenal di pesantren. Sementara tembangnya adalah perkawinan antara lagu Jawa dan lagu Qashidah khususnya Selawat, antara gambang dengan rebana. Inilah barangkali sesuatu yang baru dalam Kidung Bilik Pesantren ini.”

Dakwah Melalui Karya Sastra; Sebuah Gagasan

Dalam kata pengantar buku kumpulan pantun Pak Kiai, Ada Bawal Kok Pilih Tiram, Beliau menyatakan bahwa berdakwah melalui puisi, bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam.

Hal ini karena para ulama, seperti Imam Syafi’i, Imam al- Iraqi, Imam Suyuti, dan lain-lain dalam menyampaikan ajaran Islam juga antara lain melalui bentuk karya puisi, yang dalam terminologi pesantren biasa disebut manzhumat.

Bahkan al-Quran sendiri kendati bukan sebuah karya sastra, namun ia mengandung nilai sastra yang sangat tinggi.

Tak hanya itu, dalam beberapa peristiwa, Nabi Muhammad saw juga menuturkan untaian-untaian kata yang puitis. Misalnya, sabda Nabi Saw ketika sedang bersama para sahabat sewaktu terjadinya perang Khandaq:

اللَّهُمَّ إِنَّ الْعَيْشَ عَيْشُ الْآخِرَهْ 

فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَهْ 

Wahai Tuhanku, hidup yang benar Hanyalah kehidupan akhirat,

Maka ampunilah orang Anshar Dan orang-orang yang datang hijrah.

Untaian kata puitis Nabi saw ini tercantum dalam kitab Shahih al-Bukhari, Bab Du’a al-Nabi Shalallah Alaihi Wasalam, juz 3, halaman 31. Para sahabat pun langsung menyambut sabda Nabi saw ini dengan untaian kata yang tak kalah puitis:

نَحْنُ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا مُحَمَّدَا

عَلَى الْجِهَادِ مَا بَقِيْنَا 

Kami adalah orang berjanji Pada Muhammad seorang Nabi,

Untuk berjihad membela Islam Selama hayat ada di badan.

Untaian kata puitis para shahabat ini pun tercantum dalam kitab Shahih al-Bukhari, Bab Hafr al-Khandaq, juz 3, halaman 31.

Rekaman Kidung; Cita-Cita Belum Tercapai

Dalam sebuah rekaman video berdurasi 2:45 detik di kanal youtube, terlihat sosok Pak Kiai berada di atas podium, begitu piawai membawakan syairnya yang unik dengan diiringi tabuhan rebana. Potongan syair itu berbahasa Inggris, tetapi iramanya disadur dari tembang Jawa. Syair yang berjudul Don’t be Arrogant itu pernah dibawakan langsung di sela pengajian beliau di Pati Jawa Tengah, Mangkuyudan Solo, dan Kowloon Hong Kong.

If a handsome is not prayings

Is he really very handsome?

Prophet Yusuf was very handsome

But he always prayed to God

If beautiful is not praying

Is she really so beautiful?

Siti Fatimah was very beautiful

But she always prayed to God

صَلِّ وَسَلِّمْ دَائِماً عَلَى أَحْمَدَ

وَالْآلِ وَالْأَصْحَابِ مَنْ قَدْ وَحَّدَ

Dengan suara pas-pasan dan rasa canggung yang tak bisa disembunyikan karena disaksikan keluarga besar Darus-Sunnah, saya pernah membawakan ulang syair ini demi mengenang kembali Pak Kiai dalam acara Family Gathering yang diadakan tahun lalu di Villa Larasjati, Bogor.

Sebagaimana yang Pak Kiai sampaikan di penutup buku Kidung Bilik Pesantren, bahwa kidung adalah tembang, sekar, alias nyanyian. Oleh karena itu, membaca kidung-kidung yang terdapat dalam buku tersebut rasanya belum sempurna tanpa mendengarkan kidungnya itu sendiri. Sayang, ketika buku ini diterbitkan hingga sekarang, kidung-kidung itu belum pernah direkam.

Harapan beliau, semoga rekaman kidung-kidung tersebut dapat terbit  dan disebarluaskan—meski entah kapan. Sejauh ini, memang masih terkendala karena sulit mencari vokalis yang dapat menghayati lagu Jawa, tetapi fasih melafalkan bahasa Arab, dan fluent in English.

Ciputat, 13 Maret 2024


<1> Esai ini disarikan dari “Dakwah Berbasis Kultural; Sebuah Kata Pengantar” yang ditulis Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub di dalam buku kumpulan syair Kidung Bilik Pesantren, Pustaka Darus-Sunnah, September 2009 dan buku kumpulan pantun Ada Bawal Kok Pilih Tiram, Pustaka Firdaus, Juni 2008.

<2> Kelas Pemikiran Kiai Ali Mustafa Yaqub; Perspektif Seni, Budaya, dan Sastra

Pengampu: Imam Budiman

(19—25 Maret 2024)

  1. Pengantar; Pak Kiai sebagai Budayawan dan Sastrawan

Budaya dan Sastra sebagai Metode Dakwah Pak Kiai

Metode: Materi Pengampu, Diskusi dan Tanya-Jawab

2. Topik: Sastra-Puisi/Pantun

Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008)

Kidung Bilik Pesantren (2009)

Metode: Presentasi, Diskusi, Tanya-Jawab

3. Topik: Sastra-Memoar

Islam di Amerika: Catatan Safari Ramadan 1429 H (2009)

25 Menit Bersama Obama (Masjid Istiqlal Jakarta 2010)

Cerita dari Maroko (2012)

Metode: Presentasi, Diskusi, Tanya-Jawab

4. Topik: Sastra-Naratif

Pengajian Ramadan Kiai Duladi (2003)

Ramadan Bersama Ali Mustafa Yaqub (2011)

Metode: Presentasi, Diskusi, Tanya-Jawab

5. Topik: Sastra-Biografi

Meniti Dakwah di Jalan Sunnah (2018)

Khodimun Nabi (2016)

Metode: Presentasi, Diskusi, Tanya-Jawab

6. Ceramah Pak Kiai “Islam dan Budaya” dalam Acara Sarasehan Seniman dan Budayawan Muslim (https://www.youtube.com/watch?v=lOi_bk1-wbc)

Metode: Rangkuman, Diskusi, Tanya-Jawab

7. Penutup; Kiat Pak Kiai Aktif dan Produktif dalam Berkarya

Kecerdikan Gaya Bahasa Pak Kiai dalam Buku-bukunya

Pak Kiai, Sahih Bukhari, Bahasa Asing (Esai Pengampu)

Metode: Materi Pengampu, Diskusi dan Tanya-Jawab