Halakah Pagi; Bahasa Arab dan Bahasa Inggris

Tidak ada yang berbeda di pagi yang sejuk temaram ini. Lampu-lampu taman yang senantiasa menghantarkan cahaya sepanjang malam, juga pohon Kamboja sekedirian dua orang dewasa yang menggugurkan bunga-bunganya satu persatu; mengundang suasana tentram dan nyaman. Keindahan suasana ini selalu kami rasakan, berulang setiap pagi di Darus-Sunnah.

Semua berjalan sebagaimana biasa setiap harinya. Seusai salat Subuh berjamaah, para Mahasantri telah siap dengan kondisi duduk bersaf-saf dan mengenakan setelan koko dan peci putih. Masih seperti biasa, pembacaan Nazam Bayquniah sebagai pengantar halakah mulai dibacakan bersama. Sebagian mereka bersemangat membacanya dengan intonasi tinggi, tetapi adapula yang hanya setengah bersuara karena rasa kantuk yang tidak tertahankan. Sepagi ini, tinggi-rendah suara Mahasantri menyeruak dari seisi masjid ke lorong koridor dan asrama.

Bait-bait nazam itu juga menggenapi rasa takzim dan hormat kepada seorang Guru sekaligus sosok Ayah yang tengah berada di hadapan kami saat ini, Kiai Ali Mustafa Yaqub. Beliau memejamkan mata penuh khidmat. Sesekali menahan batuk, lalu meminum air hangat di atas mejanya beberapa tegukan. Kemudian beliau menghirup napas. Dalam. Tak dapat dipungkiri bahwa usia telah melahap sebagian tenaga dan kerapkali mengganggu kesehatannya. Kami hanya dapat menghantarkan doa, semoga Allah Swt senantiasa memberikan keberkahan untuknya.

Minggu ini memasuki pertemuan keempat dari jumlah kesuluruhan pertemuan yang wajib diikuti oleh seluruh Mahasantri di semester ganjil. Kebetulan, halakah kali ini saya duduk di barisan kedua dari depan. Minggu ini pula memasuki program English Week, di mana Pak Kiai akan menerangkan serta menjelaskan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim menggunakan bahasa Inggris. Namun, di samping itu, jika ada pembahasan yang mendalam dan spesifik, Beliau akan menyertakan penjelasan menggunakan bahasa Arab agar memudahkan pemahaman kepada para Mahasantri.

Mungkin Anda akan bertanya, “Bagaimana, sih, mempelajari Hadis kok pakai bahasa Inggris? Apa tidak menyulitkan? Apalagi yang dipelajari sekaliber Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim yang menjadi rujukan sumber hukum Islam. Apa nggak takut salah pemahaman?”

Baik, kita semua dapat memahami hal itu. Terlebih jika salah satu dari kita berasal dari kalangan pesantren salafiyah atau tradisional yang tidak terbiasa menggunakan dwi bahasa. Sebab, harus diakui, tidak semua Mahasantri berasal dari pesantren yang menerapkan bahasa asing, sehingga butuh banyak penyesuaian untuk terbiasa dan fasih melafalkannya.

Saya salah satunya. Saya termasuk salah seorang santri yang kurang serius dalam mempelajari bahasa Inggris ketika berada di kelas Tsanawiyah dan Aliyah. Hal ini tentu salah dan berujung penyesalan. Dibandingkan teman-teman lain, kapasitas berbahasa saya masih sangat jauh. Tak jarang selepas halakah, saya kembali bertanya kepada teman yang lebih paham. Karena ada beberapa vocab dan keterangan yang belum saya pahami dengan baik.

Dawuh Pak Kiai; Bahasa Francis dan Bahasa Urdu

Masih lekat dalam ingatan saya, pada agenda beberapa waktu lalu yang dihadiri oleh seluruh Mahasantri dan Mahasantriwati. Pak Kiai memberikan sebuah wejangan di masjid Muniroh Salamah. Di antara isi ceramahnya, Beliau mengimbau para santri untuk aktif dan membiasakan diri bercakap menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Program aktif berbahasa Inggris, diawali oleh seluruh asatiz yang mengajar di halakah pagi.

Selain itu, Beliau juga bercerita tentang bagaimana pengalaman berbincang langsung bersama Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama beserta Istrinya, Michelle Obama. Beliau menjelaskan perihal keharmonisan serta keberagaman umat beragama di Indonesia, salah satunya diwujudkan dalam bentuk berdampingannya Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral. Perbincangan mereka berlangsung tanpa dibantu Juru Terjemah.

Beliau juga bercerita betapa pentingnya bahasa Inggris ketika Beliau kerap diundang untuk Safari Dakwah rutinan di negara-negara Eropa. Kecakapan berbahasa Inggris, menjadi suatu keharusan. Beliau dengan tegas menyampaikan pendapat berkenaan tentang hukum mempelajari bahasa Inggris. Sebab, masih ada beberapa kalangan Mahasantri yang menilai sebelah mata terhadap bahasa tersebut. Beliau mengatakan:

إِنَّ اللُّغَةَ الْإِنْجِلِيْزِيَّةَ لَيْسَتْ بِدْعَةً، بَلْ هِيَ سُنّةٌ مِنْ سُنَنِ رَسُوْلِ اللهِ. فَلَا بُدَّ لِكُلِّ طَالِبٍ يُقَدِّرُوْنَ عَلَى أَرْبَعَةِ اللُّغَاتِ: اللُّغَةُ الْعَرَبِيَّةُ وَاللغةُ الإنجليزيةُ واللُّغَةُ الإندونسية واللُّغَةُ المَحَلِّيَّةُ

Bahwasanya mempelajari bahasa Inggris bukanlah Bid’ah. Bahkan, mempelajarinya merupakan salah satu sunnah dari sekian sunnah Rasulullah Saw lainnya. Maka, dianjurkan semua Mahasantri setidaknya harus menguasai 4 bahasa sekaligus: bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Daerah.”

Setelah mendawuhkan hal tersebut, Beliau menambahkan dan bercerita lagi, bahwa kini Beliau tengah mempelajari dua bahasa asing baru; bahasa Urdu dan bahasa Prancis. Kemudian tiba-tiba saja saat itu, tanpa diperkirakan sebelumnya, Beliau melayangkan sebuah pertanyaan kepada salah seorang Mahasantri yang duduk berada paling depan:

“Parlez-vous français?” tanya Beliau dengan dialek kejawa-jawaan yang terdengar cukup khas di telinga kami. Kami baru pertama kali mendengar Beliau mengucapkan itu.

Jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris, pertanyaan Beliau kurang lebih memiliki arti: “Do you speak French?”Akan tetapi, nampaknya bahasa Prancis masih terasa asing bagi kami, juga mahasantri tersebut. Ia hanya tersenyum-senyum sendiri sembari menengok ke belakang, tidak tahu harus menjawab apa. Sedangkan kami, hanya tertawa kecil.

Kami tentu sempat terkejut. Betapa tidak, di paruh usianya yang terbilang tak lagi muda, Beliau masih memiliki Himmah kuat untuk mempelajari bahasa asing baru. Di Darus-sunnah, Kami beruntung sekali memiliki sosok Kang Aziz yang bersedia meluangkan waktu setiap minggunya “direpotkan” untuk mengajar bahasa Prancis, meski tidak semua Mahasantri tertarik mengikutinya, karena pelajaran bahasa Prancis hanya kelas tambahan.

Sedangkan mempelajari bahasa Urdu? Itu merupakan bahasa yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam kepala saya selama ini. Namun, Pak Kiai justru berkeinginan kuat untuk bisa mempelajari dan menguasainya. Rasanya malu sekali kita yang masih muda dan penuh ambisi tidak mempunyai semangat, sekurang-kurangnya sama seperti Beliau.

Zaid bin Tsabit; Juru Tulis Nabi Saw Seorang Poliglot

Pak Kiai mengambil dalil dari sebuah hadis Sahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi yang mengisahkan bahwa salah seorang Sahabat yang paling cerdas sekaligus Juru Tulis Nabi Saw, yaitu Zaid bin Tsabit, diutus oleh Nabi Saw untuk mempelajari bahasa Ibrani yang digunakan kitab Taurat. Zaid mempelajarinya agar dapat saling berkirim surat, berdialog, serta memahami maksud dari tujuan-tujuan kaum Yahudi dalam menjalin hubungan diplomasi.

Nabi Saw memang cukup memberi perhatian pada bahasa asing selain Arab. Mengutip kisah dalam Hayatush Shahabah yang dinukil oleh Syekh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi, bahwa Nabi Saw menginstruksikan secara langsung kepada Zaid bin Tsabit yang saat itu masih sangat muda dan produktif untuk mempelajari dan menguasai bahasa Ibrani.

Hal itu bermula ketika suatu hari orang-orang yang tengah menghadap Nabi berkata bahwa ada seorang anak dari Bani Najjar –salah satu suku Yahudi yang mendiami Jazirah Arab– telah menghafal 17 Surat al-Quran. Nabi pun takjub setelah mendengar anak tersebut mampu menghafalnya dengan baik. (Muchlishon, Saat Nabi Perintahkan Zaid bin Tsabit Mempelajari Bahasa Yahudi, NU Online).

Setelah itu, Nabi Saw memerintahkan Zaid yang saat itu berada di sampingnya untuk mempelajari bahasa Ibrani, baik lisan maupun tulisan. Alasannya, agar Zaid menerjemahkan kata-kata yang disampaikan Nabi Saw ketika berinteraksi dengan orang Yahudi, baik dalam hal surat-menyurat atau pun berpidato di hadapan mereka.

“Wahai Zaid, pelajarilah untukku aksara Yahudi, karena demi Allah, aku tidak merasa aman dan percaya terhadap suratku dari orang Yahudi,” ucap Nabi Saw kepada Zaid.

Zaid bin Tsabit kemudian mempelajari bahasa Ibrani. Dalam kurun waktu setengah bulan saja, Zaid berhasil menguasainya dengan baik, baik lisan maupun tulisan. Jika Nabi Muhammad hendak mengirimkan surat kepada komunitas Yahudi, maka Zaid menuliskannya. Zaid juga yang menerjemahkan ketika Nabi Saw menerima surat dari mereka.

Pengalaman mempelajari bahasa asing dikisahkan oleh Zaid bin Tsabit sendiri dalam sebuah riwayat dari Sunan al-Tirmidzi, Kitabul Isti`dzan wal Adab, Nomor 2639.

“Nabi Saw memerintahkan kepadaku mempelajari bahasa lbrani untuk menerjemahkan surat orang-orang Yahudi,” ungkap Zaid. “Demi Allah, akan kubuktikan kepada kaum Yahudi, bahwa aku mampu menguasai bahasa mereka,” lanjutnya lagi.

“Setengah bulan berikutnya aku pun mulai mempelajarinya dengan tekun. Setelah aku menguasainya, aku menjadi Juru Tulis bagi Nabi Saw. Apabila Beliau berkirim surat kepada mereka, akulah yang menuliskannya; dan apabila Beliau menerima surat dari mereka, akulah yang membacakan dan menerjemahkannya.”

Tidak hanya itu, Nabi Saw juga memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa asing lainnya seperti Aksara Suryani, yaitu aksara yang digunakan untuk membaca bahasa Aram Suriah dan digunakan Komunitas Kristen Arab pada masa itu untuk membaca kitab Injil. Karena pada saat itu, Nabi Saw tengah menerima surat dari suku yang berbahasa Suryani. Sementara para sahabat tidak seorang pun memahami bahasa tersebut.

“Telah datang kepadaku surat, dan aku tidak ingin dibaca sembarang orang. Bisakah engkau mempelajari aksara Ibrani—atau Beliau mengatakan; aksara Suryani?” tanya Nabi Saw. Zaid menyanggupi permintaan Nabi Saw. Dia kemudian berhasil menguasai bahasa tersebut setelah mempelajarinya selama 17 hari.

Lantas, terlintas di benak kita sebuah pertanyaan: Apa tujuan utama mempelajari serta menguasai semua bahasa asing itu? Pak Kiai memberikan pernyataan:

نَدْرُسُ اللُّغَاتِ لِأَجْلِ الدَّعْوَةِ

Kita mempelajari beragam bahasa bertujuan untuk Dakwah

Ya, semua itu tak lain bertujuan untuk dakwah. Dengan mempelajari beragam bahasa, Kita mampu menyampaikan ajaran serta hukum Islam secara universal. Selain itu, diharapkan pula pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh siapa pun, terlebih bagi orang-orang yang tertarik mengkaji Islam lebih jauh, baik dari kalangan muslim maupun nonmuslim. Kita dapat menjelaskan yang sebenarnya dengan baik dan mampu memahami apa yang mereka utarakan.

Beliau juga seringkali bernasihat tentang betapa pentingnya memiliki kemampuan berbahasa asing yang baik. Bahkan Beliau sangat menganjurkan, agar nanti para Mahasantri tidak hanya dikirimkan untuk berdakwah di Papua saja, melainkan dapat dikirimkan pula ke berbagai negara di Eropa yang membutuhkan pengetahuan tentang Islam.

Beliau tidak pernah bosan memberikan motivasi kepada para Mahasantri untuk terus belajar, terutama dalam mempelajari bahasa. Beliau berharap para Mahasantri pandai dan mumpuni dalam masalah agama, serta mampu menyampaikannya dengan beragam bahasa.

Beliau mengatakan, banyak sekali orang-orang yang pandai dalam masalah agama selevel ulama, berasal dari kalangan pesantren, akan tetapi acapkali merasa kesulitan ketika harus menyampaikan ide dan gagasan mereka di media Internasional. Maka dari itu, menurut Beliau, mempelajari bahasa tentulah sangat penting untuk setiap individu seorang muslim, terutama bagi para Mahasantri agar dapat mendakwahkan Islam dan jalan menuju Allah Swt.

Darus-Sunnah, 4 September 2014—20 Januari 2022

(Ditulis ulang dengan beberapa penambahan untuk menyemarakkan kembali program bahasa English and Arabic Week di lingkungan Madrasah Darus-Sunnah dan SMA Adzkia Daarut Tauhiid)