Filosofi Darus-Sunnah
Majalahnabawi.com – Di tahun 2020, Indonesia mengalami masa genting untuk memerangi sebuah tentara tak kasat mata yang sering disebut dengan pandemi Covid-19 atau wabah virus corona. Sedemikian memastikannya wabah ini, di beberapa negara virus ini sudah menelan ribuan korban. Di Wuhan sudah mencapai 3.070 jiwa, di Italia 10.000 jiwa meninggal atas serangan mematikannya.
Sesampainya di Indonesia, pemerintah pun menutup beberapa akses perjalanan dari berbagai daerah dan menutup semua kegiatan masyarakat, lalu menghimbau masyarakat agar tidak keluar rumah untuk menghindari wabah mematikan ini. “Lockdown”, begitulah keadaan kita sekarang. Di Darus-Sunnah sudah melakukan lockdown terhitung sejak masa-masa corona berkembang biak dari berbagai daerah, di mana para santri di sana tidak diperkenankan keluar sedekat mungkin!
Para santri Darus-Sunnah dibuatnya terkurung oleh Covid-19 ini dan merasa jenuh setiap hari. Akan tetapi, santri Darus-Sunnah tidak kehabisan akal untuk melawan dan mematikan Covid-19. Rasa jenuhnya itu, mereka usir dengan melakukan kegiatan-kegiatan internal sendiri. Tertantang di saat masa lockdown berlangsung, di ujung sebuah masjid terdapat sebuah teras yang di mana menjadi poros revolusinya para santri. Salah satu dari mereka ada yang sedang membaca sebuah buku berjudul Filosofi Teras dan mendiskusikannya bersama beberapa kerabat santri sebagai tameng melawan rasa kejenuhan dan gelisah akan marabahaya situasi sekarang.
Mencoba Menyingkap Filosofi Darus-Sunnah
Dalam beberapa pertemuannya, saya sendiri memasak otak untuk berpikir dalam satu minggu agar tidak merasakan stres nan berlebihan di dalam pondok. Alhasil saya berhasil menghidangkan sebuah filosofi. Filosofi tersebut berkaitan dengan nama besar pondok kami Darus-Sunnah, yaa Filosofi Darsun. Filosofi ini dilahirkan atas kontemplasi diri, di sebuah teras masjid Munirah Salamah Darus-Sunnah.
Darsun, di balik nama tersebut terdapat sebuah filosofi yang sangat mengagumkan, seolah-olah membenarkan nama besar pondok pesantren Darus-Sunnah. Kata درس dalam bahasa Arab dapat diartikan belajar, dalam dunia filosofi, filsafat dari bahasa diartikan ke dalam bahasa Arab oleh beberapa filsuf (al-Kindi/ Ibnu Sina) mereka mengartikannya sebagai Hubbul Hikmah (Cinta kebijaksanaan). وَمَنْ يُؤْتَى الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا.
Di dalam bahasa India disebut darsana. Dalam kacamata sejarah Indonesia, dahulu di masa penjajahan wilayah, Indonesia masuk dalam bagian negara Hindia. Oleh sebab itu, tentara-tentara Belanda menyebut Indonesia dengan nama Hindia-Belanda, dalam masyarakat Indonesia khususnya di Jawa, ada yang bernama Darsono, satu akar dengan kata Darsun, dan mungkin Darsun bisa diartikan sebagai cinta kebijaksanaan, sangatlah menarik filosofi Darsun ini.
Kata para pemikir lainnya, yang paling tinggi dari segala-galanya adalah kebijaksanaan. Kebijaksanaan lahir di akhir, mereka yang memiliki sifat bijaksana akan merasa menang di akhirnya. Seperti baginda Nabi, bijaksana dalam perang dan memenangkan peperangan. Bijaksana itu pula melahirkan keharmonisan, keharmonisan melahirkan kasih sayang, dan kasih sayang melahirkan cinta.
Darsun tidak hanya tentang cinta kebenaran, cinta keharmonisan, cinta kasih sayang, dan lain-lain yang lebih tinggi. Akan tetapi Darsun adalah cinta kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang dilahirkan oleh seorang ayahanda Ali Musthafa Yaqub untuk kita semua santrinya. Terimakasih ayahanda. Kami menunggu kembali kebijaksanaanmu di sini.