rawi hadis

Majalahnabawi.com – Pada hari Sabtu malam, 5 Februari 2022, Lembaga Kajian dan Riset Rasionalika (Lemkaris Rasionalika), yang selanjutnya akan kami sebut dengan Rasionalika, mengadakan sebuah kajian yang mengupas otentitas Ilmu Hadis dari salah seorang ulama fikih dan tasawuf Islam, yaitu Imam al-Ghazali. Kajian tersebut diadakan di Perpustakaan Ma’had Darus-Sunnah, Ciputat dan dilakukan dengan membedah salah satu buku karya Dr. Muhammad Ardiansyah, M.Pd., yang berjudul “Otoritas Imam Al Ghazali dalam Ilmu Hadis: Satu Tinjauan yang Adil”.

Ketika masyarakat luas mengenal sosok dengan julukan hujjatul Islam dengan kajian di bidang tasawuf, fikih, dan akidahnya, maka Rasionalika dengan berani mencoba membedah, menelisik, serta mengkritisi keilmuan Imam al-Ghazali di bidang ilmu hadis. Kajian ini tentu sangat menarik untuk dibahas oleh para mahasantri Darus-Sunnah International Institute of Hadith Sciences, mengingat sebagian besar kajian keilmuan yang ada di ma’had ini mengarah kepada pengkajian seputar hadis dan ilmu hadis.

Dari kajian yang disampaikan oleh tiga mahasantri terpilih, yaitu Faiz Aidin (mahasantri semester 6), Bayu Saputra (mahasantri semester 2), dan Abdul Rofiq (mahasantri semester 8), penulis mendapatkan beberapa poin menarik yang tentunya sangat bermanfaat untuk disampaikan kepada khalayak umum melalui tulisan ini.

Sekilas Pandang Tentang Imam al-Ghazali

Imam al-Ghazali adalah seorang ulama masyhur yang hidup di masa pemerintahan Dinasti Bani Saljuk. Kondisi pemerintahan saat itu bisa dibilang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Disebutkan, kala itu penguasa Dinasti Bani Saljuk sedang berada dalam keadaan kacau. Selain itu, fanatisme mazhab tengah menjadi ‘top tranding’ masyarakat kala itu.

Imam al-Ghazali pun juga tercatat telah melakukan banyak pengembaraan. Setidaknya ada 4 daerah yang sempat beliau kunjungi dalam rangka melakukan rihlah ilmiah, yaitu Jurjan, Naisabur, Baghdad, dan Damaskus. Berdasarkan pemaparan yang disampaikan oleh pemateri, Naisabur dan Baghdad merupakan dua tempat yang sangat erat hubungannya dengan keulamaan seorang Imam al-Ghazali.

Di Naisabur, ia berguru kepada Imam al-Juwaini (Imam al-Haramain). Setelah mengabdi menjadi pengajar di Madrasah Nizhamiyah milik Imam al-Juwaini, Imam al-Ghazali pun diangkat menjadi pimpinan Madrasah Nizhamiyah pada usia 34 tahun. Pengangkatan al-Ghazali menjadi pimpinan terjadi setelah Imam al-Juwaini wafat. Sedangkan di Baghdad, Imam Al Ghazali pun mendapatkan gelar yang sangat fenomenal, yaitu hujjatul Islam.

Pro-Kontra Imam al-Ghazali di Bidang Ilmu Hadis

Dengan keilmuan yang luas, tentu wajar bila Imam al-Ghazali memiliki banyak karya tulis, terutama di bidang tasawuf, fikih, dan akidah. Darinya pula, wajar bila celah untuk mengkritisi pemikiran dan karya tulisnya sedikit demi sedikit mulai melebar. Celah ini melahirkan kritik-kritik tajam kepada Imam al-Ghazali. Walaupun begitu, banyak pula ulama yang kemudian ‘meng-counter’ kritik-kritik itu kepada pihak yang kontra terhadap Imam al-Ghazali.

Secara sederhana, pihak yang kontra terhadap al-Ghazali terbagi menjadi 2 klasifikasi, yaitu kritikus ekstrim dan kritikus moderat. Ibnu al Jauzi dan Abu Al Walid al-Qurtusy adalah contoh ulama yang tergolong menjadi kritikus ekstrim. Mereka beranggapan bahwa Imam al-Ghazali menulis karyanya dengan pendekatan sufistik dan karena ketidaktahuannya, ia pun melandaskan pemikirannya kepada hadis dhaif, bahkan maudhu’ (palsu). Di kelompok kritikus moderat, ada nama Tajuddin al-Subki. Ia berpendapat bahwa kelemahan Imam al-Ghazali terletak pada ilmu hadis.

Di lain sisi, ada juga ulama-ulama yang berada di pihak Imam al-Ghazali (kubu pro). Dua di antaranya adalah Imam Zainuddin al-Iraqi dan Imam al-Zabidi.

Perselisihan mengenai Imam al-Ghazali setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah:

1. Imam Al Ghazali tidak memiliki karya tulis di bidang ilmu hadis

Karya tulis yang ia hasilkan lebih condong pada pengkajian seputar tasawuf, fikih, dan akidah. Padahal pada masa itu terdapat sederet ulama hadis yang memiliki karya fenomenal di bidang hadis. Beberapa di antaranya adalah Imam al-Hakim (pengarang kitab Mustadrak al-Hakim), Khatib al-Baghdadi, dan Abu Nuaim al-Asbahani.

2. Kuantitas hadis pada kitab Ihya Ulumuddin yang criticable

Beberapa hadis yang ada pada kitab tersebut justru memiliki makna yang tak sesuai dengan logika (parakontra).

  • Menghadirkan teks yang merujuk pada sumber tertentu tanpa menyebutkan sanadnya.
  • Ia mengkaji Shahihain (2 kitab shahih, yaitu Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) di akhir hayatnya.
  • Adanya pengakuan dari Al Ghazali bahwa ia tidak memiliki keilmuan yang memadai di bidang ilmu hadis.

Perselisihan ini hadir dari celah-celah yang ditemukan oleh pihak kontra terhadap Imam Al Ghazali, khususnya di bidang hadis dan ilmu hadis. Walaupun begitu, ada beberapa sanggahan yang bisa menambal celah-celah yang ditemukan oleh pihak kontra. Sanggahan-sanggahan yang ada terbagi menjadi 5 bagian (karena ketertinggalan informasi, penulis hanya bisa menyampaikan 3 bagian saja), yaitu:

al-Ghazali dan ilmu hadis

Memang benar bila dikatakan bahwa Imam al-Ghazali tidak memiliki karya tulis di bidang ilmu hadis. Namun, perlu diingat bahwa ia telah mengklasifikasikan hadis berdasarkan 3 pembagian, yaitu al-iqtishor (kajian Shahihain ala kadarnya), al-iqtishad (kajian dengan kitab-kitab masanid sebagai sumber rujukannya), dan al-iqtisho’ (kajian rinci terhadap hadis-hadis nabi).

Selain itu, Imam al-Ghazali mengutip 4.048 hadis pada karya-karyanya. Jumlah ini adalah jumlah yang lebih banyak dari jumlah hadis yang dituliskan oleh Imam al-Tirmidzi (3.957) dan Ibnu Majah. Dari hadis-hadis itu, Imam al-Subki menyatakan 20% hadis (900-an hadis) tidak memiliki sanad dan 80% sisanya merupakan hadis bersanad yang terdiri dari hadis sahih, hasan, dan daif. Bahkan Imam Al Iraqi menyatakan bahwa hanya 6% hadis yang tidak bersanad.

Dari sini kita mendapati bahwa meskipun Imam al-Ghazali tidak memiliki karya tulis yang khusus membahas ilmu hadis, namun kita bisa mengetahui dari jumlah hadis yang beliau kutip bahwa keilmuannya di bidang ilmu hadis tidaklah sembarangan dan tidak bisa dianggap remeh karena hal tersebut bukanlah sebuah pekerjaan mudah yang bisa dikerjakan oleh sembarang orang.

  • al-Ghazali dan hadis di akhir hayatnya

Memang benar bahwa al-Ghazali mengkaji Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim di akhir hayatnya, namun belum ditemukan bukti bahwa baru saat akhir hayatnya itulah ia mengkaji kedua kitab itu. Toh, bila memang betul al-Ghazali baru mengkaji kedua kitab tersebut di akhir hayatnya, maka ia melakukannya demi menyempurnakan keilmuan yang telah ia miliki.

al-Ghazali dan pengakuannya tentang kapasitas keilmuannya di bidang ilmu hadis

Imam al-Ghazali memang pernah mengakui bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan yang memadai di bidang ilmu hadis. Namun tidak ada bukti yang mengatakan bahwa kalimat yang dilontarkan langsung olehnya itu menunjukkan makna denotatif (asli). Justru dirasa logis bilamana kalimat tersebut adalah kalimat bermakna konotatif (kiasan). Hal tersebut mengingat adanya ketawadhuan pada diri seorang al-Ghazali akan keilmuan yang ia miliki. Hal tersebut pun juga menjadi sebuah kewajaran yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Syafii yang menolak dikatakan sebagai orang saleh dan Imam Ahmad bin Hanbal yang tak mengakui pujian Imam al-Syafii kepadanya.

Setelah pemaparan materi, diadakan sesi tanya jawab antara pemateri dengan para audien. Tanya jawab dan diskusi pun berlangsung dengan menarik dan memakan waktu yang relatif lama. Di tulisan selanjutnya kami akan memaparkan hasil diskusi yang terjadi di sesi tanya jawab pada kajian yang berakhir di hari Ahad dini hari, 6 Februari 2022 pukul 01.30 WIB.