Majalahnabawi.com – Dalam literatur Arab, cinta disebut sebagai “شَرَابٌ بِلَا رَي” (minuman yang tidak akan menghilangkan dahaga). Sekali engkau tengguk, semakin pula kau haus, semakin kurang dan ketagihan ingin tambah. Dalam dunia sufi, cinta termasuk sebagai maqam tertinggi setelah apapun.

Seorang salik (istilah untuk para penganut tariqah) tentunya tidak asing lagi dengan istilah cinta—istilahnya “Mahabbah“. Namun, tidak menutup kemungkinan —karena fitrah manusia adalah cinta dengan lawan jenis— kalau makna cinta terhubungkan lekat dengan itu. Coba perhatikan bagaimana kisah Nabi Yusuf dan Siti Zulaikha yang termaktub dalam al-Quran, lalu epos kisah cinta Romeo dan Juliet, Majnun—yang di dalam beberapa literatur tercatat sebagai kisah nyata— dan Layla, bagaimana mereka, para pecinta, memandang cinta adalah perkara suci. Namun, di sini kami akan membahas bagaimana perspektif Maulana Jalaluddin Rumi memandang dan memaknai cinta. Meskipun tidak lebih dari seciprat perspektif pemaknaan beliau tentang cinta yang menyamudera, mungkin akan mewakili kedangkalan saya dalam memaknai kata “cinta”, lalu mendistorsi hati saya untuk mengikuti jejak-jejak beliau.

Sefik Can, foundamental’s of Rumi’s Thought menjuluki Maulana Jalaluddin Rumi sebagai “rajanya para pecinta” (The Sultan of Lovers), karena gagasannya yang dalam: Jalan Nabi kita adalah cinta. Kita adalah anak-anak cinta. Ibu kita adalah cinta. (Can, 2005: 150)

Cinta menurut Maulana Rumi di sini adalah cinta yang memunculkan kebaikan-kebaikan dan menimbulkan energi positif. Bukan yang memantik kepuasan-kepuasan hasrat dan materialis. Karena cinta yang berasumsi sebagai kepuasan hasrat, sejatinya bukan cinta. Namun nafsu yang terselubung; sama halnya mawar yang pucuknya adalah bunga, tapi durinya menyakitkan.

Konsep Cinta

Rumi sebagai tokoh sufi yang ajarannya terdasari dengan cinta. Maka wajar semua puisi-puisi, prosa-prosanya lekat dan sarat pembahasannya dengan “cinta.” Sebut saja salah satu contoh ungkapannya yang sarat makna di dalam Ruba’iyat: “Barangsiapa mati tanpa membawa cinta, maka ia tak lebih dari seekor bangkai.” Di sini jelas, bahwa Maulana Rumi mengartikulasikan cinta sebagai sesuatu yang hidup abadi di dalam hati para pecinta: dua yang satu. Artinya, seorang pecinta tidak akan lepas dari kekasihnya. Sehingga, siapapun yang cintanya karena materi, fisik, dan keindahan-keindahan duniawi belaka, maka bukan meraih cinta, melainkan nafsu yang terselubung.

Dari sini kita faham, bahwa esensi cinta yang haqq (absolut) adalah mencintai Sang Maha Cinta (Allah Swt). Karena barangsiapa mencintai Allah, maka tiada apapun penghalang tabir-tabir yang mampu menghalangi rindu tersebut. Karena Allah ada di dalam setiap hati hamba-Nya.

Tentang itu, Maulana Rumi menyifati di dalam Matsnawinya: “Semua tentang yang dirindukan. Seorang perindu adalah sendiri dalam (kungkungan) tabirnya, sementara yang dirindukan adalah Sang Maha Hidup, sehingga (perindu) merindukan kematian (untuk bertemu kekasih). Andai bukan karena perlindungan dari kerinduan, niscaya perindu tak ubahnya seekor burung tanpa sayap: celakalah ia!.” (Mastnawi, 1:38). Maka cinta apa lagi yang akan bisa diatasnamakan sebagai “nafsu”, jika yang kau cintai adalah bentuk cinta itu sendiri: Allah Swt?

اللّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ