Majalahnabawi.com – Seorang Nabi dari kalangan Bani Israil membuat suatu kriteria standar bagi seorang pemimpin negara. Bahwa mutlak bagi mereka yang akan memimpin suatu negara mempunyai kesempurnaan (basthah) dalam intelektual dan fisik, seperti terekam dengan baik dalam surat al-Baqarah: 247, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang sempurna.”

Pada masa Nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidin, kriteria ini dijadikan sebagai kriteria pokok pada setiap pengangkatan pejabat negara. Dalam catatan sejarah Islam. Kita mengenal nama-nama seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah dan Amr bin al-Ash.

Mereka dan Khulafa al-Rasyidin sendiri merupakan tokoh-tokoh dalam sejarah yang dikenal memiliki integritas intelektual yang luar biasa dan kegagahan fisik yang juga tak kalah hebatnya. Kehebatan strategi berperang dan intensitas ekspansi militer bermisikan dakwah yang mereka pimpin membuktikan kapasitas mereka. Sekaligus menunjukan bahwa kriteria ini layak dijadikan acuan dalam kehidupan bernegara.

Kriteria Pemimpin

Untuk melihat lebih jauh tipikal kepemimpinan masa depan, kiranya ada beberapa pertimbangan yang bisa kita jadikan tolak ukur sebagai kriteria pemimpin:

Membangun Ekonomi Kerakyatan

Istilah ekonomi kerakyatan menjadi begitu terkenal setelah bangsa kita dihantam krisis yang tak kunjung usai. Kalau sebelumnya perekonomian bangsa hanya diwarnai sistem ekonomi konglomerasi dan monopolistik oleh sebagian kecil orang. Sehingga menyemburlah ledakan-ledakan konflik sosial. Maka banyak ahli meyakini bahwa hanya ekonomi kerakyatan yang akan mampu menjadi “juru selamat” perekonomian bangsa.

Ekonomi kerakyatan sebenarnya lama diajarkan dalam Islam. Sebuah ajaran mendasar mengenai hal ini sangat jelas dipaparkan dalam surat al-Hasyr ayat 7 yang artinya: “Apa saja harta rampasan fai’i yang diberikan Allah pada Rasulnya (yang berasal) dari penduduk kota, maka hal ini diperuntukkan untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu tidak hanya berputar di kalangan kaya di antara kamu saja.”

Nabi Muhammad saw sendiri, di samping telah menciptakan lembaga ekonomi kerakyatan yang berpihak pada rakyat. Di mana nama bait al-mal, semacam lembaga kas negara. Beliau mengajarkan juga konsep pokok ekonomi kerakyatan yang banyak bertebaran di beberapa Hadis mu’amalat.

Seperti pada kasus riba, qiradl (pemberian modal untuk diputar dalam usaha, yang selanjutnya laba dibagi berdasarkan perjanjian), syirkah (perkongsian) dan muzara’ah (transaksi bagi hasil pertanian). Prinsipnya, ekonomi kerakyatan dalam agama memberi hak yang sama bagi semua orang. Tidak ada hal istimewa bagi sebagian orang dan lebih berpihak pada kaum lemah, mustadl’afin.

Menegakkan Keadilan Hukum

Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Nabi Muhammad saw pernah menuturkan bahwa di antara penyebab kehancuran bangsa-bangsa terdahulu adalah: jika yang mencuri itu adalah kalangan terhormat, sanksi ditiadakan. Tetapi, jika yang mencuri dari kalangan biasa, sanksi itu dilaksanakan. Demi Allah, seandainya Fatimah, putri Muhammad, mencuri, pastilah aku sendiri yang akan memotong tangannya.

Komitmen Nabi pada hukum sedemikian besar, sehingga bagi beliau tidak ada yang kebal di hadapan hukum. Meski itu putri beliau satu-satunya. Karena pengistimewaan dan penghormatan yang berlebihan, terutama dalam masalah hukum, hanya akan menjadikan embrio bagi lahirnya ketidakadilan. Pemimpin masa depan harus bisa menciptakan suatu hukum yang netral dan tegas dalam menjalankan fungsinya.

Menciptakan Rasa Aman

Salah satu butir deklarasi sementara hak asasi manusia PBB adalah pembebasan dari rasa takut. Lima belas abad silam butir yang sama telah lebih dahulu dideklarasikan Al-Quran dalam surat Quraisy ayat 4 yang artinya “(Dia) menamankan mereka dari rasa takut.”

Seorang pemimpin masa depan mutlak harus mampu melindungi rakyatnya dari ketakutan. Mulai ketakutan politik, ekonomi, budaya, hukum, sampai ketakutan moral. Fungsi basthah dalam intelektualitas di sini menjadi sangat penting. “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu pekerjakan, ialah orang yang fisiknya kuat dan dapat dipercaya. (QS. al-Qashash: 26).

Meski harus tetap memperhatikan pendekatan lin al-qalb (persuasif) dan meninggalkan praktik ghaliz al-qalb (represif), sebagaimana yang dituturkan Ibnu Taimiyah, seperti dikutip Muhammad al-Ghazali dalam Kayfa Nata’amal ma’al al-Qur’an, memahami ayat ini dengan luar biasa. Beliau katakan, ketika seorang memiliki kekuatan (quwwah) tetapi tidak mampu menggabungkan dengan sifat terpercaya (amanah). Ia lebih layak untuk kepemimpinan militer. Dan sebaliknya, orang yang memilki amanah tetapi lemah fisiknya, ia hanya pantas untuk aktivitas ekonomi saja.

Mengembangkan Fungsi Dialog

Nabi Muhammad saw adalah pemimpin teragung yang sangat mengedepankan dialog (musyawarah). Bahkan dalam catatan sejarah hanya dalam beberapa masalah saja, selama hidupnya, beliau mengambil keputusan sendiri tanpa adanya proses dialog dengan para sahabat. Apalagi setelah turunnya perintah Allah, yang dicatat dalam Q.S. Ali Imran: 159, yang artinya: “Dan musyawarahkanlah segala urusan dengan mereka.”

Untuk menciptakan masyarakat masa depan yang madani, pemimpin masa depan perlu memulainya dengan membuka piranti terpenting demokrasi, yaitu menghidupkan iklim dialog di setiap ruang berbangsa.

Masyarakat masa depan tidak akan menerima lagi pemimpin otoriter. Karena mereka telah cukup tercerahkan secara intelektual, ekonomi, moral, hukum, dan budaya. Disinilah letak pentingnya penerapan metode ghaliz alqalb dalam irama kepemimpinan seorang pemimpin.

Melindungi Kaum Minoritas

Pada wasiat terakhir Umar bin al-Khaththab ditemukan pesan sebagai berikut: “Aku sangat berharap khalifah penggantiku nanti memperhatikan kaum dzimmi (non muslim yang diberi perlindungan dalam Islam), supaya mereka itu tetap menikmati perlindungan Allah telah menepati janjinya, dan tidak membebani mereka dengan beban yang tidak mampu mereka pikul.”

Dalam Islam, kaum minoritas diberikan hak perlindungan keamanan. Karena sesungguhnya mereka adalah saudara kita sendiri. Dalam kehidupan masa depan, kebijakan seorang pemimpin harus dijauhkan daru pola-pola diskriminatif dengan dalih SARA. Pemberian perlindungan kepada kaum minoritas sesungguhnya menguntungkan dari tinjauan ekonomis.

Selama mereka tidak melakukan perongrongan terhadap pemerintahan yang ada. Dan kebijakan ini sekaligus merupakan sumbangan nyata dunia Islam terhadap proses perdamaian dunia, di samping toleransi yang dikembangkan berdasar kerangka saling menguntungkan.

Beberapa minggu lagi, bangsa Indonesia akan menentukan pemimpinnya. Pemilu kali ini disebut-sebut sebagai pemilu penentu bagi wajah Indonesia masa depan. Semua kontestan pemilu selalu menawarkan janji. Untuk melihat berapa jauh keunggulan “sang” kontestan, mungkin di antaranya, kita bisa melihat sari beberapa identitas di atas. Semoga kita bisa menemukan pemimpin masa depan yang kita harapkan. Amin.