Mengenal Sosok Pendiri Wahabi dan Idiologinya

Muhammad bin Abdul Wahhab, itulah nama sosok pendiri Aliran Wahabi atau yang dikenal dengan wahabisme. Wahabisme merupakan aliran yang banyak ditentang oleh masyarakat muslim dari berbagai penjuru dunia.   Sosok Muhammad bin Abdul Wahab terlahir dari keluarga ulama bermazhab Hanbali di daerah Uyainah, Nejd pada tahun 1703 M. Ayahnya bernama Syekh Abdul Wahab yang merupakan salah satu Qadhi (hakim) di negeri hnya adalah guru pertama dalam mempelajari berbagai ilmu agama seperti fiqh , tafsir, hadits dan pendapat-pendapat ulama tentang dasar-dasar islam.

Rihlah ilmiah sosok pendiri wahabi ini, tentu tidak berhenti hanya sebatas dari keluarga dan ulama di  negeri kelahirannya saja. Banyak ikhtilaf sejarawan mengenai rihlah ilmiah sosok Muhammad bin Abdul Wahab, diantaranya ada yang berpendapat bahwa beliau sempat belajar ke negeri Hijaz ( Makkah-Madinah) , Syam , Basrah (Irak) ,dan lain-lain. Keluarga ulama yang masyhur dan terpandang menjadi salah satu faktor pendukung rihlah ilmiah Muhammad bin Abdul Wahab ke berbagai negeri.  Kakeknya adalah kepala ulama di Nejd sekaligus rujukan para ulama Nejd dimasanya. Ayahnya adalah seorang Qadhi di Uyainah. Pamannya merupakan seorang Khatib terkenal.

Salah satu guru Muhammad bin Abdul Wahab ialah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif, sosok ulama bermazhab Hanbali. Dari beliaulah, Muhammad bin Abdul Wahab banyak mengenal dan membaca karya-karya Ibnu Taimiyah yang kemudian hari menjadi pelopor ideologinya. Prof. Azyumardi Azra menyebutkan “setidaknya ada dua orang guru Muhammad bin Abdul Wahab selama di Hijaz, yakni Abdullah bin Ibrahim bin Saif dan Syekh Muhammad Hayat as Sindi Al Hanafi”.

Masalah utama yang mempengaruhi pemikiran atau ideologi  sosok Muhammad bin Abdul Wahab ialah masalah “tauhid”. Ia ingin kembali memurnikan ajaran tauhid dan memberantas bid’ah-bid’ah. Saat berada di negeri Hijaz , beliau melihat banyaknya umat islam di Madinah yang datang ke makam Nabi dan makam para waliyullah untuk berdo’a dan memohon sesuatu, dari kejadian ini Muhammad bin Abdul Wahab menyimpulkan bahwa banyak masyarakat muslim yang sudah melanggar syari’at Islam dan berbuat syirik. Beliau beranggapan hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan pemeluknya untuk tidak meminta kepada selain Allah Swt.

Begitu juga saat berada di Irak, Muhammad bin Abdul Wahab banyak melihat tradisi-tradisi masyarakat Irak yang melenceng dari ajaran Islam, diantaranya mereka menghormati dan memuliakan makam Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan anaknya Sayyidina Husain. Karena menentang hal ini, akhirnya sosok Muhammad bin Abdul Wahab diusir dari Irak. Demikianlah jiwa sosok Muhammad bin Abdul Wahab yang selalu memikirkan tentang kemurnian ajaran aqidah yang jauh dari syirik. Inti dakwah dan gerakannya  ialah “tidak adanya sumber hukum islam kecuali Al Qur’an dan Sunnah”.   Bahkan salah satu  kelompok pembela aliran Wahabi, menganggap Muhammad bin abdul Wahab termasuk sebagai sosok agung pembela dakwah Salafiyah (bukan Ahlusunnah wal Jama’ah), karena keberhasilannya memajukan ajaran Wahabi yang berkembang sampai sekarang.

Sebenarnya, pokok dakwahnya bukanlah ajaran baru. Melainkan ia hanya mengikuti seorang alim besar di abad ke– 7 Hijriyah, yakni Ibnu Taimiyah yang juga bermazhab Hanbali dan melandaskan seluruh pendapatnya sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Nabi saja. Sama halnya seperti Ibnu Taimiyah yang mengajak untuk melawan bid’ah , hanya berpegang pada Al Qur’an dan sunnah, memohon hanya kepada Allah saja bukan dengan mendatangi makam para wali dan lain-lain, begitu juga seruan dari seorang Muhammad bin Abdul Wahab ia melarang pembacaan maulid, ziarah kubur dan lain-lain yang itu semua adalah bid’ah menurut pemikirannya.

Penyebaran ideologi Wahabi bagi pendiri Wahabi sendiri tentu tidak cukup hanya dengan berceramah dari podium ke podium atau hanya dengan kolaborasi dalam politik di Kerajaan Arab Saudi, Muhammad bin Abdul Wahab juga sadar akan pentingnya penyebaran  ideologi wahabinya melalui karya-karya tulis baik berupa kitab maupun risalah-risalah. Banyak pendapat mengenai jumlah karangan Muhammad bin Abdul Wahab , ada yang mengatakan 12, 15, 17 jilid dan lain-lain. Karya-karyanya dijadikan sumber suci bagi pendukung aliran ini.

Namun, seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa aliran Wahabi ini banyak ditentang oleh muslim dari berbagai penjuru dunia, baik di masa pendirinya Muhammad bin Abdul Wahab masih hidup ataupun dimasa sesudahnya yakni periode Dinasti Arab Saudi pertama, kedua, dan ketiga, bahkan hingga sekarang. Aliran ini tetap memiliki banyak penentang.

Wallahu a’lam.

Similar Posts