Majalahnabawi.com –Mungkin kita pernah menanyakan hal-hal fundamental, apa itu kebaikan? Apa itu keburukan? Di Hadis ini, terdapat penjelasan terminologi nilai mendasar manusia tentang kebaikan dan keburukan.

بسم الله الرحمن الرحيم

عن النواس بن سمعان رضي الله عنه, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ والإثْمُ مَا حَاكَ فِيْ نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أنْ يَطَلِّعَ عَلَيْهِ النَّاسُ. (رواه ميلم)

وعن وابصة بن معبد رضي الله عنه قال, أتيتُ رسولَ الله صلى الله فقال: جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ؟ قلْتُ, نعم. قال: اسْتَفْتِ قَلْبَكَ, البِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إلَيْهِ الْقَلْبُ, والْإثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإنْ أفْتَاكَ النَّاسُ وَأفْتَوْكَ. (حديث حسن رُوِّيْناه في مسندي الإمامين أحمد بن حنبل والدارميّ بإسناد حسن)

Dari Nawas bin Sim’an ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: Kebaikan adalah akhlak terpuji dan keburukan adalah sesuatu yang kacau dalam dirimu sementara engkau tidak mau manusia mengungkitnya. (Riwayat Muslim)

Dari Wabishah bin Ma’bad ra., berkata, Aku pernah mendatangi Rasulullah kemudian dia bersabda: Apakah Kau datang untuk bertanya tentang kebaikan? Kujawab, iya. Beliau bersabda: Mintakan fatwa untuk hatimu. Kebaikan adalah sesuatu yang dapat menenangkan tubuh dan menentramkan hati. Dosa adalah sesuatu yang ada dalam jiwa dan bimbang dalam dada sekalipun satu manusia mengarahkanmu dan semua manusia mengarahkanmu. (Hadis Hasan yang kami riwayatkan dalam dua musnad Imam Ahmad bin Hambal dan ad-Darimi dengan sanad yang Hasan)

Apa Itu Kebaikan?

Kebaikan menyangkut semua aspek yang direlakan, disenangi, dan disukai oleh sifat murni manusia. Kebaikan mendasar sekaligus tertinggi adalah berakhlak terpuji. Yakni berakhlak mulia, beradab dengan adab-adab Allah yang telah terisyarat dalam syariat. Semua itu terkumpul menjadi dua, menjauhi larangan dan melakukan perintah. Sekalipun dalam syariat-syariat kita seakan tidak menemukan kerelaan jiwa, sebetulnya di sanalah nilai inti dari kepuasan jiwa. Akan tetapi, nilai tersebut jarang sekali dirasakan sebab faktor-faktor duniawi. Dalam sebuah Hadis, Nabi bersabda: Barang siapa yang tidak memiliki tiga hal ini maka ia tidak akan menemukan rasa iman. Ilmu yang dapat menghilangkan kebodohannya orang bodoh, wara’ yang membentenginya dari keharaman, dan akhlak yang membuat sikap halus kepada manusia. (Riwayat Thabrani). Artinya, akhlak merupakan salah satu kunci agar seseorang mendapatkan sensasi beriman. Jika syariat dilakukan tanpa penghayatan, tanpa disertai akhlak kepada sesama, tentu nilai keimanan tidak akan pernah  bisa dirasakan.

Apa Itu Keburukan?

Keburukan, dengan bahasa lain adalah dosa, yaitu sesuatu yang menyebabkan rasa gelisah, malu, khawatir, ketakutan, dan kebimbangan dalam jiwa. Sesuatu tersebut merupakan semacam aib, di mana yang mengalaminya tidak senang andai hal itu diungkit, ditampakkan oleh orang lain. Sesuatu di sini tentunya bukan bersifat duniawi, melainkan ukhrawi. Semisal keinginan mencuri, orang yang ingin mencuri menahan dirinya melakukan pencurian. Keinginan tersebut bisa ditahan dengan adanya rasa takut, bimbang, khawatir, dengan dampak yang ditanggungnya nanti. Dengan demikian, mencuri dianggap dosa oleh orang tersebut. Ini tidak berlaku dalam hal duniawi, seperti orang yang tidak ingin terlihat makan sesuatu yang menjijikkan. Pekerjaan tersebut sekalipun memberi efek malu, ia tidak dapat dikategorikan sebagai dosa.

Hadis ini dianggap sebagai jawami’ul kalam—inti semua kumpulan Hadis. Bahwa Islam juga dibangun di atas prinsip nilai ini.

Senada dengan Hadis di atas, terdapat Hadis yang diceritakan oleh Wabishah. Dia suatu ketika mendatangi Rasulullah.

Berawal dari niatnya, “Saya tidak akan memedulikan sesuatu entah itu baik atau buruk kecuali aku sudah menanyakan langsung kepada Rasulullah.” Kemudian ia berada di tengah-tengah kerumunan orang dan melewatinya.

Orang-orang berkata, “Untukmu, Wahai Wabhishah, dari Rasulullah. Pergilah kepada beliau”

Akhirnya, ia berada di sini Rasulullah. Demikian Hadis tersebut dimulai.

Nabi menyuruh Wabishah agar memintakan fatwa untuk hatinya atau jiwanya. Sebab, jiwa atau hati itu dapat merasa terhadap apa pun yang dianggap baik atau yang dianggap buruk menurut versi masing-masing perspektif individu. Maka yang diprioritaskan duluan harusnya ketenangan hati. Dengan demikian, ketenangan seluruh anggota tubuh pun ikut. Apapun yang dianggap baik oleh hati, itulah kebaikan. Jadi, ini lebih tentang prinsip.  

Demikian sebaliknya, apa pun yang dianggap belum pasti oleh hati, di sanalah potensi keburukan. Bahkan, sebanyak apapun manusia memberi nasihat, jika itu masih dirasakan bimbang oleh hati, tetap saja kebaikan tidak akan tercapai. Karena kebaikan bersifat relatif, tergantung siapa yang melihat.

Hal serupa pernah diceritakan juga oleh Watsilah bin Asqa’. Dia bertanya kepada Nabi tentang halal-haram, bagaimana caranya mengetahui itu ketika Nabi sudah wafat. Nabi bersabda: “Biarkan jiwamu memberimu nasihat” Watsilah bertanya, “Bagaimana caranya?” Nabi menjawabnya: “Tinggalkan apa yang membuatmu ragu menuju apa yang tidak Kauragukan meskipun banyak mufti berfatwa kepadamu” Watsilah bertanya lagi, “Bagaimana aku akan melakukan itu?” Nabi menjawab: Letakkan tanganmu di atas hatimu. Karena hati itu tenang dengan yang halal dan tidak tenang dengan yang haram.” (Riwayat Thabrani) Meskipun Hadis ini dikategorikan Hadis Dhoif, akan tetapi isi daripadanya sama dengan Hadis sebelumnya.