Oleh: Ubaidillah

Majalahnabawi.com –Hadits ini membahas larangan marah.

بسم الله الرحمن الرحيم

عن أبي هريرة رضي الله عنه, أنّ رجلا قال للنبيّ صل الله عليه و سلم: أَوْصِنِيْ. قال: لَا تَغْضَبْ. فردّد مرارًا, قال: لَا تَغْضَبْ. (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah ra, bahwa seorang lelaki berkata kepada Nabi, ‘Berwasiatlah kepadaku’. Nabi berkata: Jangan marah. Kemudian si lelaki mengulangnya berkali-kali. Nabi tetap menjawab dengan satu jawaban: Jangan marah.

Asbabul Wurud

Tentang siapa lelaki yang bertanya kepada Nabi, masih terdapat banyak perbedaan pendapat. Ada yang bilang bahwa lelaki itu adalah Abu Darda’. Menurut pendapat lain, Sufyan bin Abdullah, Abdullah bin Umar, atau bisa jadi bukan mereka. Tidak ada penjelasan pasti mengenai siapa lelaki yang bertanya kepada Nabi di sini.

Lelaki ini meminta wasiat kepada Nabi. Tentu yang dimaksud wasiat bukanlah akad tabarru’ yang diorientasikan kepada mati, sebagaimana bab wasiat di fikih mu’amalat. Wasiat di sini adalah arahan, bimbingan, dan petuah yang dapat bermanfaat untuk kehidupan dunia akhirat. Lelaki ini meminta suatu petuah atau arahan kepada Nabi bagaimana hidupnya sukses dunia akhirat.

Permintaan lelaki diulang beberapa kali. ‘Berwasiatlah kepadaku.’ Di dalam riwayat Utsman bin Abu Syaibah, permintaan si lelaki diulang tiga kali. Wasiat Nabi terhadap masing-masing permintaan tetap sama. ‘Jangan marah.’ Dalam pengulangan wasiat ini, terdapat perhatian terhadap si penanya. Bahwa perkara marah benar-benar penting dan manfaatnya lebih umum (luas cakupannya).

Sebanding dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan oleh Anas. Ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rosulallah, ‘Ya Rosulallah. Sesuatu apa yang paling dahsyat dari semua hal?’ Nabi menjawab: ‘غَضَبُ اللهِ–Murka Allah.’ Kemudian lelaki ini bertanya lagi, ‘Lalu apa yang dapat menjauhkan murka Allah?’ Nabipun menjawab: ‘لَا تَغْضَبْ–Jangan marah.’ (Al-Jawahirul-Lu’luiyah: 177)

Penafsiran Ulama

Para ulama menafsirkan dua kemungkinan dari larangan marah: Pertama, larangan sebenarnya tertuju untuk faktor-faktor penyebab marah. Kedua, larangan sebenarnya tertuju kepada implementasi dari rasa marah itu sendiri.

Kalau anda memilih pendapat pertama, maka yang perlu diperhatikan adalah usaha menghindar terjadi marah. Di antaranya seperti berakhlak baik, sopan, malu, rendah diri, tidak meyakiti, memaafkan, dan memasang ekspresi meyenangkan.

Jika anda memilih pendapat kedua berarti anda memperhatikan atau mengontrol dampak dari kemarahan. Ketika anda mengalami suatu hal yang membuat anda marah, tidak mungkin rasa marah itu ditepis. Yang mungkin untuk ditepis adalah menyikapi rasa marah itu sendiri. Apakah anda akan mengekspresikan perasaan marah itu dengan membentak-bentak, membanting sesuatu, atau selain itu. Dan perlakuan itulah yang sebenarnya dilarang menurut pendapat kedua.

Pembagian Marah

Di aspek lain, marah memiliki dua sisi berbeda. Adakalanya buruk dan adakalanya baik. Dapat digolongkan buruk apabila faktor dan implikasi dari kemarahan tersebut bukan ditujukan kepada Allah. Jika ditujukan untuk Allah maka marah itu terpuji. Jadi, bukanlah keburukan jika marah sebab melakukan maksiat. Nabi Musa merupakan orang yang paling kuat amarahnya dan penolakannya demi kepentingan agama dan itu diperuntukkan tuhannya. Ketika beliau baru kembali dari munajat kepada Allah, kaumnya yang dulu beriman telah menyimpang. Oleh karena itu, Nabi Musa menarik rambut saudaranya, Nabi Harun, dengan tangan kanan dan menarik jenggot Nabi Harun dengan tangan kiri. Kemudian Nabi Musa menariknya. Ia menyangka Nabi Harun telah lalai menjaga umat dari penyimpangan. (Al-Jawahirul-Lu’luiyah: 180)

Terdapat juga hadits terkait, Nabi saw bersabda: ‘Barang siapa menahan perbuatan dari amarahnya, sementara ia mampu untuk melakukan sesuatu terebut maka Allah akan memanggilnya di hari kiamat di atas petinggi akhlak hingga Allah memberi pilihan bidadari yang ia mau.’ (Riwayat Abu Dawud: 4777) Dalam redaksi lain yang serupa: ‘Barang siapa menahan sikap amarah, sementara ia mampu melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan cahaya, rasa aman, iman, dan Allah akan menikahkannya kepada bidadari yang ia mau.’ (Kanzul Amal: 5822). Diriwayatkan pula, Nabi saw bersabda: ‘Ketika hari kiamat, nanti ada panggilan, “Siapa saja yang pahalanya untuk Allah, masuklah ke surga” kemudian ditanya, “Siapa orang yang dimaksud pahalanya untuk Allah?” maka berdirilah orang-orang pemaaf kepada manusia. Mereka masuk surga tanpa dihisab.’ (Kanzul Amal:7009)