Penjelasan Hadits Arbain Part-20
Majalahnabawi.com – Hadits ini menjelaskan bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman
بسم الله الرحمن الرحيم
عن أبي مسعود عُقْبة بن عمرٍو الأنصاريّ البدريّ رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: إنَّ مِمَّا أدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الأُولَى ‘إذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ‘. (رواه البخاريّ)
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri ra berkata, Rasulallah Saw. bersabda: “Sesunggunya termasuk perkara yang diketahui manusia dari ajaran para Nabi dulu yaitu ‘Kalau tidak malu, lakukanlah semamumu”. (H.R. Bukhari)
Ajaran para Nabi dulu adalah Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Ajaran itu telah ada sejak syari’at Nabi Adam, terus berlangsung kepada Nabi-Nabi setelahnya dan tidak mengalami nasakh (revisi). Sebab, ajaran ini telah diketahui kebenarannya, nampak efektifitasnya, jelas keutamaannya, sesuai dengan akal sehat, dan seluruh umat menerimanya.
Tafsiran Para Ulama Mengenai Lafadz اصنعْ—Berbuatlah
Ulama berselisih pendapat mengenai kalimat amar (perintah) dalam hadits ini. Kalimat اصْنَعْ adalah bentuk amar yang mengindikasikan perintah. Artinya, berbuatlah atau lakukanlah. Menurut pihak satu, kalimat amar itu berfungsi Tahdid (ancaman) dan Taubikh (celaan). Sehingga menghasilkan makna; “Jika rasa malu telah lenyap darimu, lakukanlah apapun yang nafsumu inginkan. Karena Allah telah membolehkanmu melakukannya.” Tentu saja ada unsur ancaman di sini. Di samping itu, bisa dibilang Allah telah membiarkan orang semacam ini berbuat sesukanya. Artinya, Allah tidak lagi peduli, tidak mengasihi, tidak mengurus, dan tentunya tidak ada rahmat untuknya. Na’udzubillah
Menurut pihak kedua, kalimat اصْنَعْ memang berbentuk amar. Secara tekstual ia berbentuk perintah. Akan tetapi, secara makna berfungsi Khabar (informasi). Sehingga, menghasilkan makna; ““Jika kau telah kehilangan rasa malu maka kau pasti berbuat sesukamu sehingga terperosok ke dalam perbuatan keji dan mungkar.” Karena tidak punya rasa malu dapat berdampak kepada sikap terbiasa, meremehkan, dan akhirnya terlena dalam kondisi tidak terpuji.
Klasifikasi Malu Dalam Islam
Malu dalam bahasa arab memiliki dua istilah berbeda dengan konotasi yang berbeda pula. Istilah yang pertama menggunakan kata الحَيَاء yang berarti malu dengan konotasi baik. Definisi الحياء secara etimologi adalah inqibadh (rasa tertekan), khasyah (takut), yang tidak disukai manusia ketika ia mempunyai posisi (berkelas/elit). Secara terminologi adalah makhluq yang diutus untuk menjadi Control System yaitu meninggalkan keburukan dan melaksanakan perbuatan mulia. Nabi bersabda untuk kategori malu yang baik:
الحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّه (رواه مسلم: 37),
“Rasa malu itu baik seluruhnya.” (H.R. Muslim: 37) dan
الحَيَاءُ لا يَأْتِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ (رواه البخاري: 10/521),
“Rasa malu tidak muncul kecuali untuk kebaikan.” (H.R. Bukhari: 10/521).
Contoh rasa malu yang baik adalah melaksanakan shalat, puasa, dan seluruh kebaikan dengan semata rasa malu kepada Allah. Ia tercegah bebas untuk mengabaikan semua aturan syari’at sebab rasa malunya. Rasa malu yang benar dapat mengantarkan perbuatan seseorang menjadi baik.
Sifat Malu Dalam Konotasi Buruk
Istilah malu yang kedua adalah الخجل dengan konotasi buruk. Malu yang buruk berimplikasi kepada sikap malas-malasan dan enggan melaksanakan hak Allah atau hak hamba-Nya. Pada hakikatnya, rasa malu yang buruk bukanlah malu melainkan karakter penakut dan hina. Penggunaan kata الخجل sama dengan الحياء hanya sebatas majaz karena perilaku dan sifatnya sama walaupun objeknya berbeda.
Untuk rasa malu yang tercela dan berefek pada akhirat contohnya seperti gengsi thalabu al-‘ilma (mencari ilmu), enggan melaksanakan amar ma’ruf, nahi mungkar (menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran). Malu tercela yang berdampak pada perkara dunia seperti gambaran si A didatangi orang. Orang tersebut bukanlah teman dekat, tidak akrab, dan si A tahu ia bukan orang baik. Orang itu meminta pinjaman uang kepada si A. Muncullah rasa tidak enak di hati si A jika tidak memberinya pinjaman hingga akhirnya dia memberi pinjaman. Rasa tidak enak itulah yang kemudian diistilahkan malu di sini.
Jadi, kata malu dalam bahasa arab lebih luas daripada malu dalam bahasa Indonesia. Karena di dalamnya mencakup rasa sungkan, tidak enak, malas, dan rasa yang mencegah kita melakukan sesuatu. Dalam hadits sahih menjelaskan bahwa suatu ketika Ummu Sulaim ra mendatangi Rasulullah saw. Ummu Sulaim berkata “Sesungguhnya Allah tidak membuat malu dengan kebenaran. Apakah wanita wajib mandi ketika mimpi basah?” Nabi menjawabnya “Iya jika engkau melihat air.” (H.R. Bukhari: 1/288) Maksudnya itu air mani. Pertanyaan tersebut adalah hal memalukan bagi kaum wanita ketika itu. Akan tetapi, Ummu Sulaim tidak merasa malu demi kemaslahatan agamanya.