Pentashihan Hadis Menurut Ulama Muta’akhirin
www.majalahnabawi.com – Dalam rangka menyeleksi hadis-hadis yang dapat diterima (maqbul) dan yang ditolak (mardud), para ulama telah melakukan studi kritis dan ilmiah terhadap hadis guna mengupas permasalahan ‘illah (kecacatan) dalam setiap hadis, sehingga dapat diketahui status atau hukum hadis tersebut serta mampu menyingkap hakikat yang tersirat dalam sanad maupun matan hadis. Mereka seolah-olah hidup dan bergaul dengan para perawi itu serta mentransfer matan-matan hadis di sela-sela majelis riwayat. Sejak dahulu pula pembahasan dan kesimpulan mereka selalu menjadi rujukan bagi para ulama setelahnya.
Penilaian Terhadap Suatu Hadis
Penilaian shahih atau hasannya suatu hadis harus dikembalikan kepada penilaian para imam ahli hadis dalam karangan-karangan mereka yang mu’tamad dan populer yang sudah aman -karena popularitasnya- dari perubahan (taghyir) dan penyimpangan (tahrif).”
Menilai suatu hadis tidaklah semudah menghitung angka dalam matematika dan tidak bisa dilakukan hanya dengan membolak-balik buku di perpustakaan saja, sebagaimana dipahami sebagian orang. Oleh karena itu, Imam al-Suyuthi mengatakan, “Langkah yang paling hati-hati dalam masalah seperti ini adalah melabeli hadis semacam itu dengan label shahih al-isnad (sanadnya shahih) tanpa memastikan pen-shahih-an secara mutlak karena masih adanya kemungkinan ‘illah yang tersembunyi di dalam hadis itu.” Beliau melanjutkan, “Dan berapa banyak hadis dha’if atau wahi (lemah) yang sanadnya shahih.”
Pendekatan ini telah mewariskan kemudahan dalam pen-tashih-an oleh ulama mutakhirin. Di antaranya yakni mereka yang dianggap berasal dari bidang fikih, seperti Imam al-Baihaqi, al-Mundhiri, Nuruddin al-Haythami, al-Suyuti, dan lain-lain.
Tashih Imam Al-Bayhaqi dan Imam Al-Suyuti
Hadits tentang memperbanyak anak di hari Asyura adalah hadis yang munkar, dan tidak diketahui riwayat shahih dan hasannya. Tapi hadis tersebut tidak sampai ke tingkat dha’if. Tetapi saya menemukan Imam al-Baihaqi menyebutkan metodenya dalam “Shu’ab al -Iman” lalu ia berkata:
“هذه الأسانيد وإن كانت ضعيفة، فهي إذا ضم بعضها إلى بعض أخذت قوة”
Artinya: “Sanad perawi ini, meskipun dhaif, maka jika digabungkan satu sama lain, Aku akan mengambil yang paling kuat.”
Al-Suyuti mengikutinya dalam “Al-La’ali“.
Tashih Al-Mundziri
Al-Mundziri lebih ketat daripada Imam Al-Suyuti. Tetapi dalam hal pen-tashih- an dan pen-tahsin-an saja. Meskipun dalam hal yang lain beliau termasuk ulama yang mutasahil.
Sering dianggap bahwa Ibn Hibban mendokumentasikan para perawi, bahkan jika tidak ada yang mengikutinya dalam dokumentasi itu, dia mungkin melewatkan jarh di beberapa perawi. Jadi dia mentashihkan riwayatnya atau memperbaikinya.
Begitu juga dalam kritik mazhab fikih yang jarang diperhitungkan perbedaan dalam metode.
Hadis Abu Darda r.a. : Dari Nabi Saw., beliau bersabda:
الدنيا ملعونة، ملعون ما فيها إلا ما ابتغي به وجه الله تعالى
Artinya: “Dunia terkutuk, dan segala isinya terkutuk kecuali untuk apa yang dicari karena wajah Tuhan Yang Maha Esa.”
Al-Mundziri berkata : “Diriwayatkan oleh al-Thabrani dengan sanad yang baik.”
Saya berkata : Ini adalah hadits dha’if, dan Syekh Al-Albani menyebutkannya dalam kitab “Da’iif al-Jami‘”.
Hadis Abu Hurairah r.a. : Dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda: ((انما يبعث الناس على نياتهم))
Artinya: “Manusia hanya dibangkitkan menurut niatnya.”
Al-Mundziri berkata : “Diriwayatkan oleh Ibn Majah dengan sanad yang hasan.”
Aku berkata: “Itu menurut Ibn Majah (H. 4229), dan terdapat qoul yang sama, yakni Laith bin Abi Salim, dan mereka berdua menghukumi hadis itu dhaif“.
Tashih Al-Haythami
Hal yang sama berlaku untuk al-Haythami, bahkan jika al-Haythami lebih lunak dari Al-Mundziri. Jika dia tidak menindaklanjuti dokumentasi, dan juga tidak dianggap berselisih dengan perawi dalam sanad.
Hadis Marfu’ Abdullah bin Amr r.a. : “Maha Suci Tuhan dan segala puji bagi-Nya, pohon kurma ditanam untuknya di surga.”
Al-Haythami mengatakan : “Itu diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanad yang bagus.”
Saya berkata: “Sebaliknya, menurut al-Bazzar sanad tersebut terdapat kelemahan, kebingungan, dan interupsi“.
Dan siapa pun yang meninjau hukum al-Haythami dalam “Majma’ Al-Zawa’id” menjadi jelas baginya bahwa dia memperluas tashih, tahsin, dan tautsiq.
Tashih Al-Hafizh Ibn Hajar
Al-Hafiz Ibn Hajar mungkin mengalami keringanan hukuman yang sama ketika tidak menyetujui beberapa hadis.
Dan lebih dari satu orang berilmu berbicara tentang kecamannya. Adapun al-Hafiz -semoga Allah merahmatinya-, dia memiliki hadis yang baik, seperti dalam bukunya “Answers on the Hads of the Lamps.”
((انا مدينة العلم، وعلي بابها))
Hadis Nabi Saw: “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.”
Hadis tersebut dinilai oleh orang-orang dari kritik ketidakabsahan dan status.
Imam al-Tirmidzi mengatakan: “Gharib Munkar”, dan dilaporkan bahwa al-Bukhari menyangkalnya. Ibn Mu’in berkata dalam “Pertanyaan Ibnu al-Junayd untuk dia“: “Ini adalah hadits palsu yang tidak memiliki dasar.”
Demikian pula, diriwayatkan darinya oleh Ahmad bin Hanbal, seperti dalam “Al-Jarh wal-Ta’dil”. Dan dia mempercayainya.
Demikian pula, al-Dzahabi menilai dia berbohong. Adapun al-Hafiz, dia berkata dalam “Ajwab al-Masabih“: “Dhaif dan boleh diperbaiki.”
Dan kesaksian dari apa yang telah kami sebutkan adalah bahwa peneliti harus menyusun aturan penelitian dan penyelidikan ketika mempelajari isnad, dicerahkan oleh keputusan para imam ulama sebelumnya. Kemudian, dengan mempertimbangkan bahwa beberapa dari mereka mungkin jatuh ke dalam kelonggaran dalam putusan, dan kelonggaran ini bervariasi menurut ulama yang berbeda, beberapa dari mereka memiliki karakteristik ini, dan beberapa dari mereka adalah diperlukan dalam beberapa hadis tanpa yang lain.