حدثنا أحمد بن محمد, أخبرنا عبد الله بن المبارك, حدثنا الربيع بن مسلم, حدثنا محمد بن زياد, عن أبي هريرة, قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (مَنْ لَا يَشْكُرُ النَاسَ لَا يَشْكُرُ اللهَ). رواه الترمذي.

Hadis ini berisi tentang kewajiban berterima kasih kepada orang-orang yang telah berbuat baik kepada kita. Hal itu diperintahkan karena mereka merupakan perantara Allah dalam menyampaikan nikmat dan rezeki-Nya kepada kita. Jadi bentuk syukur kita kepada Allah tidak akan sempurna kecuali disertai dengan berterima kasih dan bersyukur kepada orang-orang yang Allah jadikan perantara dalam menyampaikan nikmat dan rezeki-Nya kepada kita.

Namun menurut Ibnu Arabi, terdapat perbedaan riwayat pada bacaan hadis tersebut. Dikatakannya bahwa ada 4 riwayat pada bacaan. Berikut kutipan pendapat Ibnu Arabi pada kitab Faidul Qodir:

مَنْ لَا يَشْكُرُ النَاسَ لَا يَشْكُرُ اللهَ قال ابن العربي: روي برفع الجلالة والناس ومعناه من لا يشكره الناس لا يشكره الله وبنصبهما أي من لا يشكر الناس بالثناء بما أولوه لا يشكر الله فإنه أمر بذلك عبيده أو من لا يشكر الناس كمن لا يشكر الله ومن شكرهم كمن شكره وبرفع الناس ونصب الجلالة وبرفع الجلالة ونصب الناس ومعناه لا يكون من الله شاكرا إلا من كان شاكرا للناس وشكر الله ثناؤه على المحسن وإجراؤه النعم عليه بغير زوال . فيض القدير: ج. 2 ص. 240)

Ibnu Arabi berkata:

  1. Hadis tersebut diriwayatkan dengan merofa’kan lafadz jalalah (الله) dan lafadz الناس, maknanya adalah barang siapa yang tidak bersyukur kepada Allah, maka Allah tidak akan bersyukur kepada mereka.
  2. Dengan menashabkan keduanya (lafadz الله dan الناس), maknanya adalah barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang-orang yang telah berbuat baik kepadanya, maka Allah tidak akan bersyukur pula kepadanya, karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk senantiasa berterima kasih kepada sesama. Atau makna lainnya adalah orang yang tidak bersyukur terhadap sesama seperti orang yang tidak bersyukur kepada Allah. Dan orang yang bersyukur terhadap sesama seperti orang yang bersyukur kepada Allah.
  3. Menashabkan lafadz الله dan merofa’kan lafadz الناس atau sebaliknya (merofa’kan lafadz الله dan menashabkan  lafadz الناس), adapun maknanya adalah seseorang tidak dapat dikatakan bersyukur kepada Allah kecuali ia telah bersyukur kepada sesama manusia. Adapun yang dimaksud “Allah beryukur” adalah pujian-Nya kepada orang-orang yang berbuat baik dan memberikan mereka nikmat tanpa kehilangannya.

Walaupun terdapat perbedaan periwayatan, namun hadis tersebut memiliki tujuan dan pemahaman yang sama, yaitu kewajiban berterima kasih kepada sesama manusia. Kita harus senantiasa berterima kasih kepada orang-orang yang berbuat baik kepada kita, baik secara secara sikap, lisan, ataupun perbuatan (membalas kebaikannya). Tidaklah sempurna rasa syukur kepada Allah atas segala karunia-Nya kecuali dengan juga bersyukur kepada perantara-perantara yang Allah pilih untuk menyampaikan segala nikmat dan rezeki-Nya kepada kita.

Wallahu a’lam bish-shawabi

By Afrian Ulu Millah

Mahasanti Darus-Sunnah International Institute of Hadith Sciences