Pertempuran Al-Suwaiq dan Perjalanan Nabi Muhammad Saw

Majalahnabawi.com – Al-Suwaiq merujuk pada campuran gandum atau jelai yang digoreng, kemudian digiling dan dicampur dengan air, ghee, atau madu. Makanan ini sering digunakan oleh masyarakat pada masa itu. Selain sebagai makanan, istilah Al-Suwaiq juga digunakan untuk menyebut pertempuran yang terjadi pada bulan Dzulhijjah, tepatnya pada hari Minggu, tanggal 5, di awal 22 bulan Hijriah. Pertempuran ini berlangsung setelah peristiwa perang bani Qaynuqa, sebuah konflik penting yang melibatkan umat Muslim dan suku-suku Quraisy.

Komunitas Muslim yang Mendampingi Nabi

Pada saat itu, Nabi Muhammad Saw memutuskan untuk berangkat dalam suatu misi strategis. Beliau didampingi oleh dua kelompok penting dalam komunitas Muslim: Muhajirin, yang merupakan orang-orang yang hijrah dari Mekah, dan Ansar, penduduk Madinah yang dengan sukarela membantu Nabi dan para Muhajirin. Bersama dua ratus orang Muhajirin dan Ansar, Nabi berangkat dengan tekad yang kuat, setelah sebelumnya menghadapi Kasra al-Hamza, atau Abu Sufyan, yang datang bersama dua ratus orang Quraisy.

Nabi Muhammad menunjukkan kebijaksanaan yang luar biasa dengan menunjuk sahabatnya, Abu Lubabah Basyir bin Abdi Mundzir, sebagai pemimpin komunitas Muslim di Madinah selama kepergiannya. Ini adalah langkah penting untuk memastikan stabilitas dan keamanan komunitas saat Nabi tidak berada di sana.

Tindakan Brutal Abu Sufyan

Di sisi lain, Abu Sufyan, yang sangat marah dan terprovokasi oleh kekalahan sebelumnya, melakukan tindakan kekerasan yang tidak terduga. Dalam keadaan yang penuh emosi, dia menyerang tanpa ampun, yang mengakibatkan kematian dua orang, salah satunya adalah Ma’bad bin Amr dari kaum Ansar. Tindakan brutal ini mencerminkan betapa dia merasa telah terbebas dari sumpah setia yang pernah diucapkannya. Meski dia bersumpah untuk tidak mendekati wanita sebagai bentuk komitmen moral, sebenarnya itu hanyalah metafora; fokusnya yang utama adalah pada niat untuk membalas dendam terhadap orang-orang musyrik yang terbunuh di Badar.

Menurut catatan sejarah yang disampaikan oleh Ibnu Ishaq, setelah peristiwa tersebut, Abu Sufyan berjanji tidak akan menyentuh kepalanya dengan air untuk bersuci dari kenajisan ritual sampai dia bisa menyerang Nabi Muhammad. Dengan tekad yang kuat, dia kembali ke Mekah, memimpin dua ratus pengendara Quraisy menuju arah Najdiya, dengan tujuan yang jelas untuk melawan Nabi.

Dalam perjalanan, mereka menuju sebuah gunung yang dikenal sebagai ‘Nib’, terletak tidak jauh dari Madinah. Dalam persiapan, Abu Sufyan membuang keropeng batang yang dia bawa, karena khawatir bahwa barang-barang itu bisa tersangkut di jalan. Tindakan ini menunjukkan betapa seriusnya dia mempersiapkan diri untuk pertempuran yang akan datang.

Pertemuan Abu Sufyan dengan Para Sahabat

Perjalanan dilanjutkan pada malam hari hingga dia tiba di Banu al-Nadir. Setibanya di sana, dia mendatangi Huyay bin Akhtab dan mengetuk pintunya, tetapi Huyay merasa takut dan tidak membukakan pintu. Ibnu Mishkam, yang merupakan penguasa Banu al-Nadir dan pemilik harta mereka, akhirnya memberikan izin untuk masuk. Setelah diizinkan, Abu Sufyan membacakan sesuatu kepada orang-orang yang hadir, mungkin untuk menyampaikan maksud dan tujuannya.

Setelah pertemuan tersebut, dia keluar di penghujung malam dan menemui sahabat-sahabatnya. Dalam suasana yang penuh ketegangan, dia mengirim orang-orang Quraisy ke Madinah, menuju wilayah yang mereka sebut. Dengan langkah yang hati-hati dan penuh perhitungan, mereka melanjutkan perjalanan untuk menjalankan rencana mereka.

Setelah itu, mereka bergerak ke al-Aridh dan melakukan tindakan yang sangat merugikan dengan membakar pohon palem di Aswar. Di sana, mereka menemukan seorang pria dari Ansar beserta sekutunya yang berada di ladang mereka. Tanpa belas kasihan, mereka membunuh pria tersebut. Setelah melakukan tindakan brutal ini, mereka kembali dan memperingatkan orang-orang tentang kejadian tersebut, memberi tahu tentang tindakan mereka yang kejam. Mendengar kabar ini, Rasulullah Saw keluar untuk mencari mereka, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Salat Idul Adha Pertama Secara Simbolis

Ketika Abu Sufyan kembali ke Mekah, dia mengumpulkan dalam bentuk jurab, seperti buku, menulis tentang bejana dan aturan umum rakyatnya. Tindakannya ini didorong oleh rasa takut kepada orang-orang yang mengalahkannya, yang memungkinkan akan mengejarnya dan menerornya di jalan. Dalam kondisi ini, umat Islam melihat peluang untuk memperkuat posisi mereka.

Setelah pertempuran tersebut ( pertempuran Al-Suwaiq), Nabi Muhammad Saw kembali ke Madinah dan melaksanakan salat Idul Adha di tempat salat. Momen ini sangat penting, karena ini adalah Idul Adha pertama. Ketika umat Islam kembali dari pertempuran, mereka dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah anda bercita-cita menjadi penakluk kami?” Dengan tegas, Nabi menjawab, “Ya,” menunjukkan visinya untuk membawa umat Islam menuju kejayaan dan memperluas ajaran Islam ke seluruh penjuru.

Similar Posts