Pesantren, Sastra, dan Cinta
Majalahnabawi.com – Semangat menulis di kalangan pesantren adalah hal yang menarik untuk disimak. Semangat tersebut terus ada dari generasi ke generasi, mereka membawa satu idealisme yang sama dalam sastra.
Pertanyaannya, apa yang membuat kaum pesantren memiliki tekad bulat untuk bersastra? Bukankah mereka pergi dari kampung halaman untuk belajar ilmu agama?
Seperti yang diketahui, pembelajaran di pesantren adalah pembelajaran yang berkonsentrasi dalam mempelajari ilmu agama. Dalam belajar ilmu agama, para santri akan menggunakan referensi literasi karangan ulama dahulu di berbagai bidang. Tak hanya sebatas bidang agama, literasi yang mereka baca juga mencakup tentang politik, gender, sosial, bahasa, dan pastinya sastra. Nah, hal inilah yang menjadi penyebab mereka memiliki inspirasi untuk menulis sastra.
Novel Hasil Karya Santri
Jika dilihat perkembangannya, sekarang banyak sekali sastrawan di Indonesia yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren. Ayat-ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Surban. Kedua judul sastra tersebut masing-masing ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy dan Abidah El Khaliqy. Mereka berdua sama-sama pernah mengenyam pendidikan pesantren, Habiburrahman di Mranggen, Demak sedangkan Abidah di Bangil, Jawa Timur.
Antusiasme dari masyarakat terlihat sangat besar. Hal ini terbukti dengan larisnya buku Ayat-Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban di toko buku. Dua judul sastra tersebut juga diangkat menjadi film dengan judul yang sama dan animo masyarakat juga tetap besar.
Habiburrahman El Shirazy dan Abidah El Khaliqy hanyalah secuil dari sastrawan pesantren di era modern. Sebelumnya kita telah mengenal Emha Ainun Najib atau kerap disapa Cak Nun yang juga jebolan Pesantren Gontor Jawa Timur lalu ada Gus Mus seorang alim dari Leteh, Rembang. Gus Mus terkenal dengan puisi-puisinya yang berani dan juga jenaka. Yang terbaru ada Usman Arrumy salah satu jebolan Pesantren Kaliwungu kendal dan menjadi penulis puisi. Tak sekedar menulis saja, ia juga berhasil menterjemahkan salah satu karya dari Sapardi yakni Dukamu Abadi ke dalam Bahasa Arab dengan judul Hammuka Daimun.
Buya Hamka dan Karya Fonumentalnya
Kalau boleh menengok ke masa lampau, kita akan bertemu dengan Hamka seorang sastrawan ulung di balik Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, ada juga Suherman dan Muhammad Zaini Fudloli. Ketiga nama tersebut adalah sastrawan hebat pada masanya yang hidup di lingkungan pesantren di Sumatera dan Jawa. Karya mereka berkualitas tinggi. Bahkan sampai sekarang pun sastra karangan mereka masih banyak dikaji.
Jika dicermati lebih lanjut, karya sastra yang lahir dari seorang sastrawan pesantren tak pernah lepas dari unsur cinta di dalamnya. Di samping menjadi inspirasi untuk menulis sastra, kesamaan literasi yang dibaca oleh para santri juga memunculkan kesamaan identitas literasi yang ada. Mereka menulis sastra dengan satu pokok bahasan tetapi berbeda cara penulisan dan sudut pandangnya. Hal ini memberikan keunikan tersendiri bagi sastra pesantren.
Identitas literasi tadi memberikan sense of belonging dan juga menjadi penopang utama dalam mempertahankan eksistensi sastra pesantren. Entah itu cinta kepada ilmu, cinta pada seorang kiai atau bahkan cinta sesama santri. Menurut pandangan penulis, hal yang melatarbelakangi pemilihan tema cinta dalam sastra pesantren tak lain dan tak bukan adalah para sastrawan pesantren ingin mengungkapkan tentang kisah cinta dari dalam pesantren.
Novel Cinta Kegemaran Sebagian Santri
Seperti yang lazim diketahui dunia pesantren adalah dunia yang cukup keras apabila berbicara mengenai percintaan dan asmara. Tapi hal ini tidak berlaku bagi sastrawan pesantren, khusunya di era modern sekarang. Kita bisa lihat dari hasil karya mereka, Khilma Anis misalnya. Beliau adalah salah satu sastrawan pesantren yang berhasil menulis sebuah novel yang berjudul Hati Suhita. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta seorang putra kyai dan santriwati. Terdengar tabu, tetapi apabila kita membacanya dengan sungguh sebenarnya alur cerita novel ini memberikan banyak pelajaran yang bisa kita amalkan di kehidupan sehari-hari.
Ada juga Usman Arrumy, seorang sastrawan pesantren yang berhasil menulis banyak puisi tentang cinta. Yang menarik dalam setiap puisinya adalah ia berhasil menyampaikan ajaran Islam dengan bahasa yang puitis dan juga menarik.
Terakhir, kita sebagai generasi penerus haruslah bisa mempertahankan eksistensi sastra pesantren. Perlu diingat bahwa literasi adalah suatu hal yang sangat urgent. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasul kita adalah “Bacalah”. Pertanyaannya adalah apabila tidak ada tulisan, lantas apa yang akan kita baca?
“Bila Tuhan Maha Indah dan mencintai keindahan,
Apakah aib bila aku mencintaimu?”