Pra Bahtsul Masail sebagai Bukti Kontribusi Ma'had kepada Masyarakat

Majalah Nabawi.com-Dalam rangka menyelenggarakan kegiatan Haul ke-6 Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Yaqub, MA., dan sebagai bukti kontribusi ma’had kepada masyarakat, Rasionalika bersama Lembaga Bahtsul Masail Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (LBM PCNU) Kota Tangerang Selatan mengadakan Pra-Bahtsul al-Masail untuk Santri-Mahasantri Darus-Sunnah. Kegiatan tersebut berlangsung pada hari Sabtu, 5 Maret 2022 di Aula Idris Kamali Ma’had Darus-Sunnah Ciputat.

Dengan mengundang segenap elemen yang ada di Ma’had Darus-Sunnah, mulai dari santri, mahasantri, hingga khadim ma’had, diharapkan kegiatan pra-bahtsu al-masail ini mampu memantik kontribusi civitas akademika ma’had terhadap masyarakat sekitar, terutama dalam mengkaji isu-isu terkini yang erat kaitannya dengan dunia keislaman.

Pra-Bahtsul al-Masail yang mana sebagai bukti kontribusi ma’had kepada masyarakat ini mengangkat tema “Mengupas Problematika Penggunaan Speaker Masjid”. Tema tersebut muncul setelah keluarnya komentar-komentar masyarakat yang bervariasi setelah Menteri Agama Republik Indonesia mengedarkan Surat Edaran Nomor Se. 05 tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Komentar masyarakat tampaknya memanas setelah Menteri Agama memberikan konferensi pers mengenai surat edaran tersebut. Situasi itulah yang kemudian menggerakkan Rasionalika untuk menjawab problematika tersebut dengan melakukan kajian ilmiah dengan melibatkan segenap pihak.

Kegiatan Pra-Bahtsu al-Masail

Pra-Bahtsul al-Masail dimulai pukul 21.30 WIB. Ustadz Fikrul Horri yang bertindak selaku moderator memulai kegiatan tersebut dengan membacakan desktripsi masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan sail ajukan. Moderator kemudian memberikan izin kepada Muhammad Dhiya Ulhaq (mahasantri semester 4) yang memosisikan diri sebagai sail untuk menjelaskan 3 pertanyaan yang ia ajukan kepada forum, yaitu:

  1. Apa hukum membunyikan muratal melalui speaker masjid atau musala sesuai deskripsi di atas?
  2. Apa hukum pemerintah mengeluarkan Surat Edaran untuk mengatur penggunaan speaker di masjid dan musala?
  3. Bagaimana pandangan fikih terkait dengan sikap yang seharusnya dilakukan pengurus masjid dan musala setelah dikeluarkannya surat edaran pemerintah di atas?

Sesi ‘jual-beli’ pendapat pun berlangsung setelah moderator mengizinkan hadirin untuk menyampaikan aspirasinya. Delegasi Majalah Nabawi menjadi pihak pertama yang memberikan aspirasinya. Mereka mengkritisi beberapa konten pada deskripsi masalah maupun pertanyaan yang mereka anggap kurang jelas maupun rancu. Kemudian setelahnya delegasi dari Rasionalika yang membuat diskusi pada malam itu mulai memanas.

Moderator pun menengahi diskusi soal deskripsi masalah dan pertanyaan dari sail yang kian memanas. Dengan bimbingan dewan perumus, forum pun kemudian beralih ke sesi penyampaian pendapat hukum dan ibarot dari setiap delegasi, mulai dari Rasionalika, Majalah Nabawi, Rabbani, Anshori, Auliya, hingga Intelligent.

Alur kegiatan Bahtsu al-Masail

Sesi ini dengan membahas pertanyaan pertama yang sail ajukan. Pada sesi ini, mayoritas berpendapat bahwa hukum azan adalah sunah. Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa hukum azan adalah mubah. Pendapat dari delegasi Rabbani menjadi yang paling tersorot pada forum tersebut. Pasalnya, mereka mengatakan bahwa hukum azan adalah haram. Sementara itu, hal-hal di luar azan, seperti pembacaan murottal, iqomah, dan lain sebagainya rata-rata menghukuminya dengan mubah, walau sebagian delegasi menyatakan hukumnya makruh.

Sesi pun beralih pada pembacaan ibarot dan sesi kritik argumentasi. Dengan pendapatnya yang cukup kontroversial, delegasi Rabbani mendapatkan banyak interupsi dan kritik dari delegasi lain. Tukar pendapat antara delegasi Rabbani dengan kubu lain terjadi selama sekitar satu jam. Karena tak menemui jalan keluar, dewan perumus pun meminta moderator untuk mengalihkan sesi pada pembahasan yang lebih esensial.

Atas permintaan dan beberapa masukan dari dewan perumus, moderator mengalihkan pembahasan kepada pembahasan tambahan. Dewan perumus menambahkan topik pembahasan seputar kemutlakkan sunah menggunakan speaker ketika azan. Untuk mengawali sesi ini, dewan perumus menyampaikan bahwa Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dalam surat edarannya mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan kegiatan masjid, khususnya yang berkaitan dengan speaker, mulai dari pengumandangan azan hingga tarhim, baik dengan speaker dalam maupun luar.

Pandangan dari berbagai kalangan

Setelah moderator mempersilahkan untuk berargumen, beberapa delegasi pun menyampaikan pendapatnya mengenai pembahasan tambahan yang dewan perumus sampaikan. Pada sesi ini, setidaknya ada 3 delegasi yang turut serta memberikan pandangannya soal kemutlakan sunah azan dengan speaker, yaitu Itqon, Infinity, dan Rasionalika. Berikut rincian pandangan dari masing-masing delegasi tersebut:

  1. Itqon

Dalam masalah ini, Itqon memperinci deskripsi masjid jami’ dan masjid lainnya. Mereka berpendapat bahwa hukum mengumandangkan azan dengan speaker di masjid jami’ adalah sunah dan masjid lainnya tidak. Dan ketika lokasi masjid jami’ dan masjid lainnya berdekatan, maka azan cukup tanpa speaker.

  • Infinity

Hampir senada dengan Itqon, Infinity berpendapat bahwa mengumandangkan azan dengan speaker adalah sunah selama tidak menyebabkan dharar. Pada sesi ini pun mereka juga mengomentari aturan Kemenag RI yang memutlakkan suara speaker untuk seluruh wilayah di Indonesia.

  • Rasionalika

Rasionalika berpendapat bahwa kesunahan azan bersifat mutlak dan mengikuti aturan hakim atau waliyul amr adalah wajib. Menurut mereka, azan adalah panggilan sholat (i’lam) yang senantiasa harus ada. Dan terakhir, mereka berpandangan bahwa penggunaaan mic dalam maupun luar bergantung pada kebiasaan warga sekitar masjid.

Malam pun semakin larut. Atas arahan dewan perumus, kegiatan Pra-Bahtsu al-Masail ini pun berakhir. Untuk menutup sesi ini, Ustadz Ulin Nuha yang menggantikan posisi dewan mushahih memberikan pandangannya mengenai diskusi pada malam itu. Beliau berpendapat bahwa hukum azan adalah sunah dilihat dari kacamata teologis. Di lain sisi, kebijakan yang disampaikan Kemenag RI melalui surat edarannya dilandaskan pada pendekatan sosiologis berdasarkan survei/penelitian lapangan. Kebijakan tersebut pun tidak memengaruhi kesunahan azan. Itulah beberapa gambaran terkait acara tersebut yang nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pra-bahtsu al-masail ini sebagai bukti kontribusi ma’had kepada masyarakat.